03: Kehidupan Yang Berubah

1528 Kata
Pemuda tampan itu tak malu celingukan kesana-kemari saat melangkah masuk ke dalam rumah, sepertinya ini pertama kalinya ia masuk ke dalam rumah semewah ini. Namun sekali lagi tatapannya tertuju pada wanita di depannya, wanita anggun berkelas yang sangat cantik, ia masih tidak percaya hanya dalam beberapa jam kehidupannya jadi berputar 180 derajat seperti ini. Ia sampai mengira sedang halusinasi saking frustasinya. "Kamu bisa pakai kamar ini, jika butuh sesuatu kamu minta sama dia." Ujar wanita itu mengarahkan dagu kepada seorang bodyguard di belakangnya. Erik tersenyum canggung, karena bingung harus merespon apa ia pun mengangguk saja. "T-terimakasih." Ah sialan, saking gugupnya suaranya sampai terbata-bata. Wanita itu menatap penampilan Erik sejenak, lalu tak lama memberi kode membuat bodyguardnya itu langsung mendekat paham. "Layani dia dengan baik." Titahnya menunjuk tubuh Erik yang memang masih basah kuyup akibat hujan. "Baik Nyonya." Lalu bodyguard itu menuntun Erik untuk mengikutinya membuat Erik mau tidak mau ikut, namun saat berbalik ingin menanyakan sesuatu wanita tadi sudah hilang entah kemana. "Ada apa?" tanya bodyguard itu. Erik terkesiap, "ah, t-tidak apa-apa." Lalu mereka melanjutkan langkahnya. 'Bodoh, aku lupa tanya nama wanita itu!' gerutu Erik membatin. *** Debora Stasya Kusuma, wanita cantik, dewasa, dan karir yang genap berusia 35 tahun. Meskipun umurnya sudah cukup matang tapi Debora tidak terlihat seperti termakan usia, bahkan mungkin jika ia berdandan layaknya ABG pasti tidak akan ada yang ngeh kalau usianya sudah cukup matang. Debora lahir dan besar di keluarga pebisnis terkemuka, pengalaman gagal menikah membuat wanita itu sudah mati rasa dengan semua pria namun tuntutan keluarga yang menginginkan penerus membuatnya mau tidak mau harus mencari suami. Awalnya liburannya ke daerah pedesaan yang cukup terpencil ini cuma untuk refreshing tapi siapa sangka ia justru bisa mendapatkan calon suami. Tentu saja yang sesuai kriterianya. Lelaki penurut dan tidak mungkin memanfaatkan kekayaannya. "Pacaran hampir 5 tahun dan diselingkuhi Adik tiri sendiri, Ibu kandung meninggal lalu Ayah menikah dengan Ibu tiri yang jahat. Yah ... kisah hidupnya ternyata cukup tragis." Gumam Debora selesai membaca laporan tentang Erik. Tok tok tok. "Masuk!" Terlihat bodyguardnya itu berjalan masuk, "katakan." Titah wanita itu masih sibuk dengan berkasnya. "Pemuda itu ingin bertemu dengan Nyonya." "Hm, katakan nanti aku yang akan menemui dia." Balas Debora masih berkulik dengan dokumen di tangannya. "Maaf, tapi dia memaksa." Debora menghela napas panjang, menaruh berkasnya ke atas meja. "Memang bocah, tidak sabaran sekali." Gumamnya mulai beranjak dari kursi, "biar aku temui dia, kamu persiapkan saja untuk keberangkatan kita ke kota besok." Bodyguard itu menunduk hormat, "baik Nyonya." Selanjutnya Debora melangkah menuju kamar Erik, pemuda yang baru dua kali ia temui, lantas kenapa ia berani mengajaknya menikah? Tentu saja karena Debora adalah wanita yang bergerak sesuai keinginannya, sekalipun itu hal yang aneh ia tak peduli. "Seharusnya kamu tidur bukan malah keras kepala ingin bertemu dengan saya." Erik yang sedang memainkan kuku jari tersentak kaget, melihat kedatangan Debora pemuda itu langsung berniat berdiri. "Disitu saja!" cegah Debora membuat Erik mengurungkan niatnya, Debora lalu melangkah mendekati Erik dan duduk di sebelah lelaki itu, dengan tenang Debora menghadap Erik. "Jadi kenapa ingin bertemu dengan saya?" Erik menelan ludah, entah hanya perasaannya saja atau memang aura wanita di depannya ini sangat dominan. "Bukankah Anda yang harus menjelaskan semuanya ke saya." Debora mengernyit, tak lama mengangguk paham. "Jadi bagaimana? Kamu setuju kan menikah dengan saya, soalnya besok kita akan ke kota." "B-besok ke kota? Buat apa?!" kaget Erik. "Tentu saja pulang, saya disini hanya liburan beberapa hari." Erik lagi-lagi ketar-ketir, "tapi saya tidak punya kenalan di kota, saya juga tidak punya uang." Debora terdiam, cukup lama membuat Erik jadi sedikit menciut. "Memangnya uang buat apa?" "Ha?" Erik balas cengo, Debora menghela napas. "Tadi katamu gak punya uang memangnya kamu butuh apa? Jika perlu apapun tinggal bilang ke saya, berapapun akan saya kasih." Bukan hanya tercengang, tapi level kekagetan Erik sudah sampai jantungan. "Kenapa?" cicit Erik tanpa sadar menundukkan kepala, Debora yang mendengarnya malah mengernyit. "Kenapa apa?" tanyanya ingin tau maksud ucapan lelaki di depannya ini. Erik mengangkat wajah, kali ini berani menatap kedua bola mata indah Debora. "Kenapa saya yang dipilih? Memangnya saya melakukan apa sampai mendapat kebaikan seperti ini, apakah saya perlu membayar budi dengan hidup saya?" Tak ayal ucapan Erik membuat Debora hampir tertawa geli, "kamu terlalu banyak menonton drama picisan anak muda," Debora balik menyorot mata Erik, sepasang bola mata milik pemuda itu cukup disukai Debora. "Selama ini kamu hidup dengan menderita jadi anggap saja Tuhan mengirimkan perantara untuk membantu kamu, mulai sekarang kamu tidak akan menderita lagi, apapun yang kamu butuhkan akan saya kabulkan tentu saja dengan satu syarat." Erik menunggu penasaran, "kamu harus mau menikah dengan saya." "Anda serius mengajak saja menikah, Anda bahkan belum tau seluk beluk tentang hidup saya." Debora tersenyum tak terbaca, "saya sudah tau semuanya, bahkan tentang perselingkuhan yang dilakukan mantan pacar dan Adik tirimu." Deg! Erik melebarkan bola matanya. "Bagaimana—" "Saya bisa mendapatkan apapun selama saya mau jadi tidak perlu kaget." Potong Debora cepat, lalu menunduk melihat arloji di tangan kanannya. "Sudah cukup malam tidurlah, besok kita akan melakukan perjalanan panjang." Debora beranjak. Namun Erik langsung menggenggam pergelangan tangannya, tentu saja membuat Debora kaget, Erik yang tersadar buru-buru melepaskan cekalan tangannya karena sudah berbuat lancang. "I-itu ... saya boleh tau alasan Tante mengajak saya menikah?" Debora terdiam beberapa saat sampai tak lama berkedip tiga kali, dan akhirnya mengangguk kecil. "Karena saya mau." Erik terlihat tak paham, Debora membuang muka. "Bukankah sebelumnya sudah saya jelaskan saya bisa mendapatkan apapun selama saya mau, dan itu juga termasuk dirimu." Erik terdiam, membuat keheningan panjang sempat melanda. "Tidurlah." Itulah ucapan terakhir Debora sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya. Dengan Erik yang masih tampak merenung di posisinya. Namun tiba-tiba ia teringat sesuatu lagi, "kenapa aku bodoh banget sih, aku lupa lagi menanyakan namanya!" gemasnya mengacak rambut. *** Sinar matahari menyilaukan mata pemuda itu, dengan wajah bantal Erik duduk terbangun dari tidurnya. "Jam berapa ini, aku harus kerja!" kaget nya melihat matahari sudah sangat terik, namun setelah beberapa langkah pemuda itu tiba-tiba terdiam. Iya juga sekarang ia bukankah dirinya yang dulu. Erik mengedarkan kepalanya, masih tidak percaya jika dalam semalam kehidupannya bisa berubah drastis. Ia tau kisah Cinderella, tapi tidak pernah menyangka jika dirinya bisa berada di posisi si Cinderella itu. Tok tok tok! Erik menoleh, berjalan menuju pintu dan membukanya, terlihat pria gagah memakai setelan hitam lengkap, dia bodyguard yang semalam ditugaskan menjaga dirinya. "Tuan, mari turun, Nyonya sudah menunggu di meja makan." Erik terkesiap, "ah iya, t-tunggu sebentar aku bersihkan muka dulu." Ujarnya tergesa ke kamar mandi, mana mungkin ia menemui wanita itu dengan wajah bantal begini, jangan-jangan malah ada iler lagi di pipinya. Setelah membersihkan muka dan gosok gigi ala kadarnya Erik langsung bergegas turun, ia tidak sempat mandi dan ganti baju, harusnya ia tadi bangun lebih pagi. Padahal biasanya ia akan bangun subuh karena harus membersihkan rumah sebelum berangkat kerja, mungkin karena baru pertama kali tidur di kasur seempuk itu ia jadi keenakan. "Bagaimana tidurmu?" Erik duduk di depan Debora hati-hati, bodyguard yang mengawalnya tadi entah pergi kemana menyisakan mereka berdua saja di meja makan sebesar ini. "Sangat nyenyak." Jawab Erik dengan wajah fresh. Debora mengangguk, "makanlah, jika ada yang tidak kamu sukai bilang, nanti saya akan bilang ke Chef." Erik berkedip-kedip horor, masalahnya makanan yang dihidangkan di meja makan ini mewahnya bahkan tidak pernah Erik bayangkan sekalipun, jadi mana mungkin ia tidak suka. "Saya suka kok, tidak perlu diganti." Debora melirik Erik beberapa saat sebelum menunduk dan mereka berdua mulai ritual sarapan. Diam-diam Erik selalu mencuri lirik pada Debora, wanita itu sangat anggun dan berkelas, bahkan dari caranya makan saja membuat Erik terpesona. "Pernikahan kita," Debora tiba-tiba berbicara membuat Erik langsung duduk tegak, "saya tidak mau kamu main-main." "Maksudnya?" Erik kebingungan. Debora menghentikan aktivitasnya, memusatkan pandangan pada Erik sepenuhnya. "Setelah kita menikah tidak ada kata cerai kecuali jika ada sesuatu yang mengharuskan, dan meskipun saya terkesan tidak serius dengan pernikahan ini tapi saya ingin pernikahan ini tetap sakral. Karena itu setelah kita menikah kamu tidak boleh selingkuh hal itu juga berlaku buat saya, kamu juga tidak perlu khawatir masalah uang karena saya yang akan bekerja tugas kamu hanya diam di rumah dan habiskanlah uang semau kamu." Mendengar penjelasan panjang lebar dari wanita itu hati Erik justru kurang tenang, ia merasa seperti lelaki simpanan. "Ada apa?" tanya Debora melihat wajah tak suka Erik. Erik mengerjap, menggeleng kecil. "Katakan jika ada yang tidak kamu sukai, saya tidak mau terkesan memaksa." Erik menghela napas panjang, menaruh sendok ke atas piring dan menatap serius Debora. "Apakah tujuan Tante menikahi saya untuk dijadikan lelaki simpanan?" "Apa?!" Debora melotot, "saya tidak pernah mengatakan seperti itu!" bantahnya. "Tapi dari penjelasan Tante tadi sudah menggambarkannya. Saya hanya boleh diam di rumah dan mendapatkan uang tanpa bekerja, bukankah maksud Tante saya harus menjadi pelepas nafsu saja?" "Saya bukan wanita seperti itu!" Debora berdiri dengan kesal, membuat Erik sampai kaget karena suara gebrakan meja terdengar cukup nyaring. "Kamu pikir saya wanita apaan, saya cuma ingin kamu diam di rumah karena biar saya yang kerja, lalu kamu gak perlu jadi pemuas nafsu saya jika kamu memang gak mau, lagian saya bukan w************n!" Debora kemudian berbalik pergi, dengan emosi masih terkumpul. Meninggalkan Erik yang terdiam di tempatnya, entahlah, tapi melihat kemarahan wanita itu ia jadi merasa bersalah. Apakah ia tadi salah paham?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN