Suara lenguhan sexy terdengar ketika dua bibir yang tengah menyatu itu terlepas, Erik membuka matanya dengan jantung menggila dahsyat. Gila! Dapat keberanian dari mana dia sampai berani mencium Tante Debora seperti tadi.
Erik makin deg-degan tremor saat Debora juga membuka matanya, jarak yang masih sangat tipis membuatnya makin gemetar.
"I-itu saya.." Erik gelagapan, menggaruk tengkuk mencoba mencari alasan yang masuk akal, tapi otaknya benar-benar tidak bisa diajak kerja sama.
"Saya kira kamu belum pernah berciuman, ternyata jago juga." Gumaman tenang Debora itu membuat Erik menegak kaget.
"Saya memang belum pernah berciuman Tan!" balasnya cepat-cepat mengklarifikasi.
Debora tersenyum geli, menekan kening Erik dengan telunjuknya sehingga pemuda itu jadi sedikit terhuyung mundur. "Mana ada lelaki umur 20-an belum pernah berciuman."
"Saya serius Tan, saya belum pernah berciuman bibir, kalau sekedar pipi atau kening .. m-memang pernah." Cicitnya malu sendiri.
Debora mengernyit, melihat kejujuran di ucapan Erik membuatnya diam-diam memiliki perasaan bangga tersendiri, itu artinya ia yang menjadi pertama bagi pemuda ini.
"Hm, sama mantan kamu itu?" tanya Debora jadi tertarik.
Erik mengerjap, menunduk dengan wajah tak terbaca, ia tidak menjawab tapi mengangguk sebagai balasan.
"Kenapa gak pernah ciuman sama mantan kamu?"
"Saya harus banget jawab, Tan?" tanya Erik agak sangsi.
Debora mengangguk tegas, "harus, kan kamu calon suami saya."
Erik jadi menghela napas, membasahi bibirnya beberapa saat. "Saya mau menjaga dia sampai pernikahan, tapi ternyata dia tidak sebaik itu."
"Oh, berarti kamu cium saya karena kamu gak mau jaga saya sampai pernikahan nanti?" tembak Debora membuat Erik berjengkit kaget.
"B-bukan begitu maksud saya! D-dia usianya dibawah saya jadi saya ngerasa punya tanggung jawab lebih, k-kalau Tante sudah dewasa saya ngerasa saya harus menyeimbangkan diri dengan Tante, s-saya gak bilang Tante tua atau gimana ya, ini maksud—"
"Shuuut iya-iya saya ngerti." Debora sampai menutup mulut Erik karena pening dengan cerocosan lelaki itu yang belibet, tapi kalau melihat segitu paniknya pemuda ini karena dirinya membuat hatinya tersentuh. "Saya tadi cuma bercanda, lagian saya malah seneng kamu berani kayak tadi, jadi setidaknya saya tidak perlu ngajarin kamu satu-persatu kayak ngelatih bocah." Debora lalu menghadap lurus ke depan, dan mulai menjalankan mobilnya.
Dengan Erik yang merah padam di tempatnya. Astaga gimana nih, jantungnya sepertinya mau meledak!
***
"Ehem, saya masuk kamar ya Tan." Pamitnya kikuk, setelah adegan ciumannya tadi ia benar-benar canggung dengan Tante Debora.
"Sebentar!" Debora tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya, "saya baru ingat ada sesuatu yang harus saya katakan sama kamu." Imbuhnya.
Erik terdiam, entah kenapa memiliki firasat tidak enak, "apa?"
"Saya akan ke luar negeri 4 harian untuk urusan bisnis, jadi selama itu saya gak bisa pulang."
Erik terkesiap kaget, "Tante mau kemana?"
"Amerika."
Pemuda itu langsung menarik napas dalam, rasanya sangat kaget karena tiba-tiba Tante Debora mau pergi. Ia merasa gelisah.
"Sudah malam, kamu cepat istirahat." Debora mengelus kepala Erik sesaat lalu beranjak pergi dari sana.
Meninggalkannya yang tercenung sendirian.
***
Erik tidak bisa tidur, setiap memejamkan mata semua isi kepalanya seperti buyar tak karuan. Adegan ciumannya tadi dan ucapan Tante Debora perihal kepergiannya ke luar negeri benar-benar mengganggunya.
"4 hari ... lama banget," bibir Erik mencebik, rasanya baru membayangkannya saja sudah berat bagaimana nanti ketika ia menjalankannya.
Ia menyibak selimutnya, berjalan menuju balkon untuk menyegarkan pikiran. Ia menaruh dagunya di pagar besi pembatas dengan mata menatap langit malam. Kira-kira kalau ia meminta agar Tante Debora tidak lama-lama di luar negeri gimana ya?
"Ck, aku mikir apasih!" Erik mengumpati pemikirannya sendiri, "sepertinya aku benar-benar terlena dengan semua kenyamanan ini sampai lupa diri," ia menyendu, entah keberapa kali ia harus mengingatkan diri sendiri kalau ia tidak sedang ada di posisi dimana bisa meminta hal-hal lancang seperti itu.
Ia harus tau diri, tau posisi.
Erik menghela napas berat, perlahan beranjak keluar kamar. Tenggorokannya rasanya kering, ia berjalan menuju dapur dan sudah benar-benar sepi disana. Para pekerja memang diharuskan kembali ke kamar mereka diatas jam 7 malam kecuali para pengawal yang bertugas di luar rumah. Itu peraturan wajib dari Debora.
Ctak!
Erik hampir menjatuhkan botol dari tangannya kalau tidak segera mengapitnya, jantungnya memompa dahsyat karena terkejut. Ia sudah sepeti maling yang habis kepergok.
"Kamu haus?" Debora yang tadi menyalakan saklar lampu berjalan mendekat dengan tenang.
Erik gelagapan, "iya, saya cuma mau ambil minum saja."
"Kamu belum tidur?"
"Sudah, tapi tadi saya terbangun." Erik jelas bohong, daritadi aja ia gak bisa tidur.
"Bohong!" tukas Debora lalu merebut botol di tangan Erik. "Wajah kamu gak kelihatan kayak orang bangun tidur."
Erik jelas makin gugup, ia lupa kalau Debora itu sangat peka.
"Iya saya belum bisa tidur sejak tadi." Akhirnya Erik mengaku.
"Kenapa?"
"Ah, c-cuma gak ngantuk."
"Kamu kepikiran soal ciuman kita tadi?" Erik seketika melotot bulat mendengar pertanyaan frontal Debora, "atau kepikiran soal ucapan saya tentang kepergian saya ke luar negeri?" imbuhnya membuat Erik hanya mampu mematung diam, apakah Debora punya kemampuan membaca pikiran?!
Melihat Erik yang cuma mendiam bisu di tempat membuat Debora menghela napas panjang, "jadi karena keduanya ya.." gumamnya pelan. "Kamu tidak perlu pusing mikirin hal-hal kayak gitu, lakukan saja hal yang kamu suka, saya berkata begini karena menurut saya kamu terlalu memikirkan hal yang tidak perlu dan acuh pada dirimu sendiri."
Erik jadi sedikit menunduk, Debora menatap Erik sejenak sebelum akhirnya membalik badan. "Tidurlah, ini sudah benar-benar malam, gak baik begadang." Padahal dirinya sendiri sering begadang demi pekerjaan.
Grep.
Debora kaget, Erik menahan ujung piyama yang dikenakannya, "apakah Tante memang harus pergi selama itu?" Erik mungkin habis ini akan sangat menyerapah pada diri sendiri karena melanggar janjinya tadi, permasalahannya ia benar-benar tidak tahan.
"Kamu bukan anak kecil, jangan merengek seperti itu."
Erik tersentak, buru-buru melepas cekalannya di piyama tidur Debora dengan malu.
"Saya pergi untuk bekerja, dan mungkin saya harus mengatakan ini sekarang supaya kamu paham. Kalau setelah menikah nanti mungkin saya juga akan sering melakukan dinas ke luar kota atau luar negeri."
Erik mengangkat wajah, sudah tidak dapat menutupi ekspresi kagetnya. Tapi ia tidak bisa mengatakan apapun, hanya bisa tunduk dibawah aura mengintimidasi Debora. Ia benar-benar pria yang memalukan.
Namun hal yang tidak pernah ia duga terjadi, Debora mendekat dan memeluknya yang tentu saja membuat Erik menegang kaku di tempat.
"Kalau kamu seperti ini saya jadi kepikiran buat ninggalin kamu," gumam perempuan cantik itu melenguh, Erik di posisinya benar-benar seperti ingin meledak saking gugupnya.
"Maaf ... saya jadi seperti anak kecil."
"Kamu kan memang anak kecil." Balas Debora mengangkat wajah membuat pandangan keduanya beradu, Erik tentu saja mendelik kecil yang malah dibalas Debora dengan senyuman samar.
"Kamu mau ikut saya?" tanya Debora tiba-tiba.
"Maksud Tante?!" kagetnya.
Debora mengangkat tangannya dari perut Erik, menyibak poni lelaki itu lembut. "Kalau kamu mau saya bisa ajak kamu pergi ke luar negeri buat kerja."