Ksatrio menyemprotkan cologne secara asal ke jaket denim yang ia kenakan hari itu. Sekali lagi mematut dirinya di cermin dan Ksatrio sudah siap untuk berangkat.
Ksatrio lalu tertawa miris, meledek dirinya sendiri. Memangnya dia mau pergi kencan? Dia hanya mau mengajari Anin naik kendaraan umum kok. Bukan kencan. Ksatrio masih tau diri, kalau cewek yang mau ia ajak pergi adalah pacar kembarannya sendiri.
Ksatrio Adiswara: Gue otw rumah lo nih
***
Ksatrio Adiswara: Gue otw rumah lo nih
Anin terbangun dari posisi rebahnya. Ia nyaris lupa dengan janjinya pada Ksatrio hari ini. Masalah keluarganya membuat Anin tidak bisa memikirkan macam-macam selain keadaan kedua orang tuanya.
Apa ia batalkan saja janji hari ini? Tapi berdiam diri di rumah tante dan omnya hanya akan membuat Anin terus kepikiran Ayah dan Bunda.
Aninda P Baniansyah: Gue lagi di rumah om gue
Ksatrio Adiswara: ohh...terus ga jadi?
Aninda P Baniansyah: jadi juga boleh. Nanti gue sent location
Ksatrio Adiswara: oke
Setelah Anin mengirimkan lokasi rumah omnya kepada Ksatrio, Anin bergegas ganti baju dan bersiap.
Ketika Anin sedang menyapukan lip balm, Devan masuk ke dalam kamar dengan dua buah buku di tangan. Sepertinya adik lelakinya itu habis mengerjakan PR.
"Mau ke mana, kak?" tanya Devan sambil meletakkan buku-bukunya di atas meja. Bocah SMP itu lalu duduk di tepi tempat tidur.
"Mau pergi." Anin menjawab singkat.
"Sama bang Satria?"
Dang! Rasanya seperti ada sebuah palu yang memukul kepala Anin saat itu juga. Bahkan sejak kemarin Anin sama sekali tidak memikirkan Satria. Ya Tuhan, Anin merasa bersalah tiba-tiba.
"Jangan mentang-mentang ayah nggak ada kak, kakak bisa pergi seenaknya."
Anin menoleh ke arah adiknya itu, seketika merasa jengkel. "Kok kamu ngomongnya gitu, dek?"
Devan lalu berdiri menatap sang kakak. "Ya karena kalau ada ayah, kakak mana mungkin pergi-pergi kayak sekarang. Jadi selama ayah nggak ada, aku yang harus jagain kakak."
Anin tidak tau harus merasa terharu atau kesal pada adiknya ini. Sepertinya sifat protektif ayah memang menurun kepada Devandra. Hanya saja, Devan tidak pernah menunjukkan itu selama ayah ada.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka, menampilkan sesosok laki-laki yang seumuran dengan Anin di sana. Dia adalah Kafka, sepupunya. "Oy Nin, ada yang nyari tuh!" ucapnya.
"Cowok?" sambar Devan sebelum Anin bahkan sempat bereaksi.
Kafka mengangguk. "Iya. Ksat..."
"Ksatria?" sambar Devan lagi.
"Kayaknya. Tau dah gue lupa. Eh, btw dia nyariin kakak lo dek, kok malah lo yang lebih semangat?" tanya Kafka bingung melihat reaksi Devandra.
Bukannya menjawab, Devandra malah langsung berlari keluar kamar melewati Kafka yang masih tidak mengerti apa yang terjadi.
Anin pun langsung bergegas mengejar. Meninggalkan Kafka sendiri dengan kebingungan. "Kakak adek nggak jelas."
***
Devan menatap lelaki yang ia sangka pacar kakaknya itu sengit. Tapi ada yang berbeda. Meskipun rupa lelaki di depannya ini nyaris sama, Devan tau kalau dia bukanlah orang yang sama. "Lo bukan bang Satria?" Itulah kata pertama yang Devan lontarkan kepada Ksatrio.
"Bukan."
"Terus ngapain lo ngajak jalan kakak gue?"
"Devan!" Anin setengah berlari menghampiri Devan dan Ksatrio di ruang tamu. "Jangan nggak sopan gitu. Dia kembarannya Satria."
"Kak, cowok lo aja masih suka nggak diizinin sama Ayah buat ngajak lo jalan. Apalagi dia yang bukan siapa-siapa."
Bukan siapa-siapa. Duh, rasanya Ksatrio pengen banget menjewer telinga bocah di depannya ini. Kalau ngomong suka bener.
"Dia temen gue. Bahkan sebelum gue jadian sama Satria, gue kenal Rio lebih dulu." Anin lalu menarik Devan, membawanya ke tengah rumah menyingkir sejenak dari hadapan Ksatrio. "Dek, kamu tenang aja kakak nggak macem-macem sama dia. Kami cuma ada urusan."
"Bang Satria tau?" tanya Devan to the point.
Dan pertanyaan itu sukses menyentak Anin. Haruskah Ksatria tau? Lalu jika memang ia tau, apakah mungkin Ksatria mengizinkan? Karena rencana mereka hari ini sudah keluar dari konteks 'titip' yang dimaksud Ksatria.
"Jam lima. Jam lima kakak harus udah balik!" Akhirnya Devan memberikan izinnya untuk sang kakak. "Tapi bilang sama om Petra dulu. Dan kasih tau bang Satria."
Anin mendengus, ini berasa dia yang adiknya kalau begini. "Iya."
Akhirnya setelah drama adik protektif berhasil dilalui, Anin dan Ksatrio pun berangkat diiringi tatapan tajam Devan yang seolah mengirimkan pesan tak terucap pada Ksatrio. 'Macem-macem sama kakak gue, abis lo!'
Tidak cuma ayahnya, ternyata adiknya Anin pun sama protektif dan galaknya. Ksatrio jadi semakin prihatin kepada kembarannya. Pasti kalau kelak kembarannya itu ingin melama Anin, dia harus mampu meluluhkan hati dua laki-laki itu.
Gue juga siap, sih... Ksatrio langsung menggeleng cepat. Pikirannya mulai ngaco.
Ksatrio sengaja datang ke rumah om Anin hari ini menggunakan ojek. Karena hari ini ia akan berpetualang dengan Anin menggunakan angkutan umum. Dimulai dari angkot.
Ksatrio menghentikan angkot yang nantinya akan membawa mereka ke stasiun kereta terdekat. Setelah duduk di dalam angkot, Ksatrio mulai menjelaskan rute-rute angkot yang melewati rumah dan sekolah mereka.
"Kalau naik angkot emang agak ribet karena nggak ada yang persis lewat depan komplek perumahan kita. Jadi lo harus jalan dari pertigaan dulu," ujar Ksatrio menerangkan. Anin pun menyimaknya dengan seksama.
Mereka turun di depan stasiun kereta. Ksatrio langsung memesankan tiket. "Nih, sekarang sistemnya pake kartu. Lo bayar misalnya dua belas ribu, nah nanti pas udah sampe tujuan tiketnya dituker sama uang lagi. Semacam jaminan gitu."
Anin mengangguk paham sambil memegang kartunya. Ia pun berjalan lebih dekat ke arah Ksatrio ketika memasuki kawasan stasiun yang lebih ramai. Mungkin karena weekend, banyak orang yang ingin berjalan-jalan menggunakan kereta sehingga suasana di stasiun hari itu cukup padat.
"Gue sih nggak menyarankan lo naik kereta ke sekolah, soalnya arah ke sekolah kita itu ke pusat kota. Hampir semua orang kerja naik ke arah sana. Lo bisa gepeng kegencet."
Anin lagi-lagi menyimak penjelasan Ksatrio. Hari ini dia tidak banyak bertingkah. Selain karena ia masih kepikiran soal Ayah dan Bunda, ia juga takut tersesat dan satu-satunya orang yang ia bisa andalkan hanya Ksatrio saat ini.
Ksatrio bukannya tidak tau dengan perubahan sikap Anin, hanya saja Ksatrio mencoba untuk fokus ke tujuannya hari ini tanpa mau terpengaruh hal lainnya. Misalnya ingin tau lebih dalam masalah Anin, yang ada membuatnya semakin peduli pada gadis itu.
"Abis ini, kita langsung naik bus Transjakarta." Ksatrio menggandeng tangan Anin begitu pengumuman kereta akan sampai di stasiun tujuannya. Ksatrio tidak mau Anin sampai tertinggal di dalam kereta. "Yuk!" Lalu dengan lembut, Ksatrio menarik Anin keluar ketika pintu kereta terbuka.
Ksatrio sengaja hanya mengajak Anin naik kereta meskipun hanya melewati dua stasiun saja. Hanya untuk tambahan pengalaman. Setidaknya Anin sudah tau cara-cara dan jalur tujuan jika suatu hari nanti ia perlu naik kereta.
"Kalau Transjakarta, sistemnya hampir sama kayak kereta. Tapi kartunya pake flash. Kereta juga bisa sih, tapi tadi biar lo ngerti jadi gue beli kartu biasa." Ksatrio lalu men-tap flashnya untuk membayar perjalanannya dan Anin.
Mereka lalu baik ke bus transjakarta yang untungnya hari ini tidak terlalu ramai, meskipun mereka tidak juga mendapatkan tempat duduk. "Nanti kita turun di halte yang deket sekolah kita. Tapi dari halte ke sekolah emang agak jauh, lo masih harus naik angkot satu kali lagi."
Anin mengangguk. Ia bersandar pada pintu di belakangnya sedangkan Ksatrio berdiri sambil berpegangan di hadapannya. Jarak mereka cukup dekat, anehnya mereka tidak merasakan canggung sama sekali. Seolah mereka sudah terbiasa melakukan hal tersebut untuk waktu yang lama.
Bus berhenti di sebuah halte, membuat tubuh para penumpang terhuyung karena gaya yang terjadi akibat tarikan rem.
Anin yang tidak berpegangan terhuyung, namun berhasil kembali stabil karena secara refleks ia berpegangan pada lengan Ksatrio yang menggantung di depannya. Suasananya seketika jadi canggung. Itu semua karena tatapan mata mereka yang tidak sengaja bertemu dan malah terkunci satu sama lain.
Anin yang memutuskan kontak mata itu lebih dulu. Nggak boleh, Anin, dia ini kembaran pacar lo sendiri.
Ksatrio sendiri sedang sibuk mengatur detak jantungnya. Tuh kan, dia sudah menebak kalau perjalanan hari ini akan berat untuk perasaannya tapi masih saja ia nekat.
Satria: Aku dapet day off nih sehari besok. Niatnya nanti malem aku mau pulang. Ketemuan yuk?
Aninda P Baniansyah: serius? Tp kamu ngga capek? Mending kamu istirahat aja di rumah
Satria: yaudah liat nanti deh. Miss you
Aninda P Baniansyah: hahaha apasihh. Miss you more
"Siap-siap turun, Nin." Anin tersentak ketika Ksatrio menyentuh pelan bahunya. Ia buru-buru menekan tombol kunci dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Lalu ia mengekori Ksatria mendekati pintu keluar.
Kini mereka akan naik angkot ke sekolah lalu dilanjut naik bus kota yang menuju ke perumahan mereka. Nanti dari sana mereka akan naik taksi kembali ke rumah om Anin.
***
"Sebelum balik makan dulu mau?" tawar Ksatrio begitu mereka tengah menunggu bus di halte yang ada di sebrang sekolah.
Anin tampak berpikir. Ia juga belum makan apa-apa di rumah om Petra tadi. "Boleh deh."
"Mau makan apa?" tanya Ksatrio sambil memperhatikan sekeliling. Tidak jauh dari mereka ada taman kota yang mana di sekelilingnya banyak dipenuhi pedagang makanan.
"Nasi Padang..."
Jauh dari ekspetasi Ksatrio, hari ini Anin betul-betul tidak menunjukkan sikap menyebalkan ala tuan putrinya. Bukannya berubah seratus persen juga sih, sesekali Anin masih menyebalkan atau mengeluh, tetapi tidak semenyebalkan yang Ksatrio bayangkan sebelumnya.
Contohnya ketika mereka harus berdesakkan di kereta, Anin tidak mengeluh karena kondisi tersebut. Ia hanya mengeluh ketika ada seorang lelaki berkeringat yang terlalu dekat dengannya dan membuat Anin harus agak mendekatkan wajahnya ke lengan Ksatrio. Daripada Anin harus mencium bau keringat lelaki random, lebih baik ia mencium keringat Ksatrio deh. Dan untungnya Ksatrio tetap wangi sepanjang hari ini. Thanks to cologne yang ia pakai tadi pagi.
"Nasi Padang? Lo nggak salah?" tanya Ksatrio sangsi.
Anin menatap Ksatrio, agak tersinggung. "Kenapa emangnya? Nasi Padang kan enak."
"Ya emang enak." Sebuah senyum kemudian hadir di bibir Ksatrio. Membayangkan Anin makan dengan tangan berlumur bumbu pasti lucu. "Yaudah iya nasi Padang." Lalu Ksatrio membimbing Anin ke warung nasi Padang terdekat.
Ternyata hari ini tidak seberat yang Ksatrio sangka. Kalaupun berat ya hanya untuk perasaannya saja. Yang ada ia semakin dan makin menyukai dan peduli pada Anin.