Harian Online Jakarta.
Satu lagi pejabat negara yang terlibat korupsi. Kali ini seorang Bupati diduga menerima uang suap dari pengusaha yang akan membangun bisnis hotel di daerahnya. Kasus ini melibatkan setidaknya empat orang tersangka. Pemeriksaan lebih lanjut sedang dilaksanakan sampai saat ini untuk menemukan bukti. Salah seorang pengusaha berinisial BHP yang diduga terlibat kasus suap tersebut saat ini sedang dicari untuk dimintai keterangan.
Harian Online Jakarta.
Satu lagi pejabat negara yang terlibat korupsi. Kali ini seorang Bupati diduga menerima uang suap dari pengusaha yang akan membangun bisnis hotel di daerahnya. Kasus ini melibatkan setidaknya empat orang tersangka. Pemeriksaan lebih lanjut sedang dilaksanakan sampai saat ini untuk menemukan bukti. Salah seorang pengusaha berinisial BHP yang diduga terlibat kasus suap tersebut saat ini sedang dicari untuk dimintai keterangan.
BHP? Anin meremas ponsel di tangannya, mendadak jantungnya berdegup lebih cepat. Rasa khawatir dan takut menguasai dirinya dengan cepat. Apa ini hanya kebetulan atau memang inisial BHP yang disebut dalam berita itu adalah inisial nama ayahnya. Apa itu sebabnya ayahnya mendadak menghilang bersama bunda? Apa itu alasannya ayah tiba-tiba kabur? Karena ia baru saja melakukan sebuah kesalahan.
Anin menggeleng cepat. Dia yakin ayahnya bukan orang seperti itu. Ayahnya adalah seorang pria terhormat, bermartabat dan juga bertanggung jawab. Bukan pengecut yang akan kabur jika sudah melakukan kesalahan. Anin mencoba menanamkan rasa kepercayaan tersebut kepada ayahnya yang entah di mana saat ini. Ketika bunda menghubungi kemarin, bunda tidak mengatakan dengan jelas keberadaan keduanya. Dan Anin hanya bisa percaya jika ayah dan bunda pasti punya alasan kuat mengapa mereka pergi dan meninggalkan Anin juga Devan di rumah pamannya untuk sementara.
Dan ini belum tentu ada hubungannya dengan kasus korupsi sialan itu! Anin membatin.
Anin mencoba mengatur wajahnya sebelum turun untuk ikut sarapan karena tidak mau membuat adik, om atau tantenya khawatir. Berpura-pura tidak tau apa-apa dan tidak ada apa-apa.
Sama seperti Anin, di meja makan Petra dan Audie, alias om dan tantenya bersikap seolah tidak ada yang terjadi. Meskipun Anin yakin keduanya pasti tau sesuatu. Audie menyambut Anin seperti biasa, dengan lengkungan senyum. "Hai, Nin, tante kira kamu belum bangun."
Anin memaksakan sebuah senyum meskipun akhirnya tampak kaku. "Udah daritadi Tan, cuma aku mandi dulu," jawabnya sambil duduk di sebelah Devan yang sudah mulai menyantap nasi goreng buatan tantenya.
"Tumben pagi-pagi udah mandi. Mau kemana?" tanya Kafka, sepupunya. "Mau jalan sama cowok kemaren, ya?" lanjutnya sebelum Anin menjawab.
Anin memincingkan mata, sebal. "Bukan, kok. Orang mau jalan sama temen." Anin menjawab pertanyaan sepupunya yang sok tau itu dengan agak ketus sambil menyendok nasi goreng ke piring.
"Emang cowok yang kemaren bukan temen?" tanya Kafka lagi dengan nada menggoda.
Anin mendengus. "Dia tuh kembarannya cowok gue!" ucapnya dengan nada tinggi.
Audie menepuk lengan anak lelakinya, menegur. "Kafka, jangan godain Anin terus kenapa sih."
"Lho, aku kan cuma nanya, Mam." Kafka pun akhirnya menghentikan godaannya pada Anin, melihat bagaimana mood gadis itu yang terlihat sedang tidak baik. Belum ada yang menyadari penyebabnya. Atau lebih tepatnya, pura-pura tidak menyadari.
***
Kea menyadari perubahan sikap Anin yang berbeda dari biasanya. Gadis itu lebih banyak diam bahkan beberapa kali tidak menyimak apa yang Kea bicarakan sampai-sampai Kea harus menyenggol lengannya.
"Lo keliatannya lagi banyak pikiran, yakin nggak mau balik aja?" tanya Kea untuk yang ketiga kalinya hari itu.
Anin menggeleng. "Nggak kok, Ke, gue nggak apa-apa. Maaf ya, abis ini gue nggak bengong lagi deh!" ucap Anin sambil mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace.
Kea menggeleng. "Lo udah bilang kayak gitu daritadi, tapi ini lo," Kea menyentuh pelipis Anin dengan jarinya, "Nggak bisa bohong, Nin."
Anin menghela napas. Kea betul, Anin tidak bisa fokus meskipun sudah berusaha. Semua karena berita yang ia baca pagi ini. Anin belum tenang jika belum mendengar konfirmasi langsung dari ayah atau bundanya.
"Yakin nggak mau cerita?" tanya Kea lagi. Ia merasa kasihan dengan sahabatnya tersebut.
Anin bergeming. Ia sendiri tak yakin apa yang harus diceritakan. Semua masih tampak abu-abu. Bahkan ia tidak tau keberadaan orang tuanya dam bagaimana keadaannya.
Anin ingin menangis rasanya.
Ponsel Anin yang sejak tadi berada di atas pahanya bergetar. Matanya melirik sekilas, berharap kalau itu merupakan pesan dari bunda atau ayah. Namun ia justru menemukan nama Ksatria di sana.
Satria: kangen
Anin memilih mendiamkan ponselnya hingga layarnya kembali gelap, sama sekali tidak berkeinginan membalas pesan tersebut.
Maaf, Sat, aku nggak mau ganggu kamu.
"Ke, maaf kayaknya gue mau pulang aja."
Kea mengangguk mengerti. "Yaudah yuk gue anter ke bawah," ucapnya sambil bangkit dari posisinya yang semula tengkurap menghadap laptop.
***
"Non maaf, bapak nggak-nggak bisa jemput."
Ucapan gemetar dan dengan latar belakang suara ramai dari supirnya di telpon tadi membuat Anin memutuskan untuk naik taksi untuk pulang.
Ya, pulang. Pulang ke rumahnya dan bukan kembali ke rumah tante dan omnya. Firasat Anin membuatnya ingin kembali ke sana dan harus kembali ke sana.
Di depan kompleks, tidak seperti biasanya suasana tampak lebih ramai. Banyak orang berlalu lalang mengerubungi pedagang makanan yang mangkal di sana. Dan orang-orang itu jelas bukan penghuni kompleks.
Semakin mendekati rumahnya, semakin banyak orang-orang yang menenteng kamera dan perlengkapan khas para pencari berita. Jantung Anin memompa darah lebih cepat ketika rumahnya lah yang tengah dikerubungi mereka seperti lalat mengerubungi sampah.
Supir taksi yang melihat keramaian itu menoleh menatap Anin sambil menghentikan mobilnya dua rumah sebelum rumah Anin karena akses jalan yang tertutup.
"Mbak, rumahnya sebelah mana? Ini jalannya ketutupan. Kayaknya ada kasus deh, banyak wartawan gitu."
Anin tidak berani bilang kalau rumah yang supir taksi itu kira berkasus adalah rumahnya.
"Saya turun sini aja pak. Udah deket kok." Anin bergegas mengeluarkan uang dan membayarkannya pada supir lalu turun tanpa mengucapkan terima kasih. Bahkan Anin sudah tidak bisa berpikir soal itu.
Anin tidak berani melangkah mendekat. Ia justru diam di sebuah lahan rumah yang akan dibangun tak jauh dari rumahnya menonton kerubungan para pencari berita itu yang tampak berebut ingin mengambil gambar . Di sisi lain bahkan ada reporter yang sedang siaran langsung dengan background rumahnya. Tangan Anin terkepal. Inikah jawaban atas pertanyaannya tadi pagi?
Para wartawan tersebut seketika rusuh ketika pintu gerbang rumahnya dibuka oleh orang-orang berseragam dengan tulisan KPK. Mereka nampak membawa beberapa kardus dan tas laptop dari dalam rumahnya. Mereka berjalan cepat, menghindari para penjilat berita yang sudah kehausan menunggu asupan dari mereka.
Tangan Anin semakin terkepal. Bahkan buku jarinya memutih. Ia ingin meyakini dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk di siang hari.
"Pak, apa benar saudara BHP terlibat dalam kasus ini?"
"Pak, apakah saudara BHP sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap?"
"Pak bagaimana keadaan keluarga saudara BHP? Apakah rumahnya kosong dan keluarganya tidak dapat ditemukan?"
"Pak, bagaimana dengan keadaan saudara BHP sendiri, dimana keberadaannya?"
Seorang laki-laki yang keluar paling terakhir tanpa menenteng apapun kini menjadi cecaran wartawan. Berbeda dengan petugas lain yang bungkam, ia tersenyum sekilas untuk menjawab cecaran media. "Ini sedang dilakukan pemeriksaan. Saudara BHP masih ditetapkan menjadi saksi untuk saat ini dan sedang dimintai keterangan."
Saksi? Keterangan? Jadi Ayah ada di kantor KPK selama ini?
Ketika gerbang kembali ditutup para awak media berdesakkan untuk meminta keterangan dari supir, satpam dan asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Anin. Untungnya mereka langsung mengunci gerbang dan menutup pintu rapat tanpa berkata apa-apa.
Selepas kepergian petugas KPK, para wartawan tak lantas membubarkan diri dan masih memilih bertahan di depan rumah Anin. Anin sudah tidak tau seberapa lama ia berdiri menonton adegan tiap adegan tersebut seolah sedang menonton film.
Para wartawan yang semula duduk, langsung berdiri dan bersiap mengangkat kamera dan perekam suara mereka ketika gerbang dibuka kembali. Sebuah mobil silver yang Anin kenali sebagai mobil omnya keluar dari sana.
Lucu sekali, pikir Anin. Kalau om dan tantenya ingin menyembunyikan hal ini, kenapa tidak sekalian mengirim Anin ke daerah terpencil? Kenapa hanya ke rumah mereka yang jaraknya tidak terlalu jauh. Dan untuk apa semua ini ditutupi kalau pada akhirnya seluruh media akan memberitakannya.
Anin tersenyum getir. Ia bahkan tau keberadaan orang tuanya dari orang lain. Anin tau, hari itu dunianya runtuh. Dunianya tidak akan lagi sama.
Anin bukan lagi seorang tuan putri melainkan hanya seorang putri seorang tukang suap. Koruptor.
***
Ksatrio baru bangun pukul setengah dua siang. Tidak ada siapapun di rumah bahkan masakan pun tidak ada. Bahkan asisten rumah tangganya pun sepertinya tidak ada di rumah. Hanya ada secarik kertas tertempel di pintu kulkas.
Kita semua belanja bulanan. Mbak Cicih juga ikut. Kalau mau makan ada nugget sama sosis di kulkas. Kalau mau beli, uang ada di laci deket rak buku.
Ksatrio menguap sambil membuka kulkas. Mengintip ke bungkusan makanan beku yang teronggok di kulkas tanpa minat.
Memilih menutup pintu kulkas, Ksatrio memutuskan untuk membeli makanan di luar. Dia terlalu malas buat masak.
Hanya mengenakan kaos oblong putih dan celana cargo selutut dan sendal jepit, Ksatrio mengendarai motornya ke depan komplek. Pilihannya jatuh pada pedagang ketoprak yang tidak terlalu ramai.
Tumben, biasanya tidak pernah seramai ini. Apalagi ini sudah lewat jam makan siang.
"Sayang banget ya, padahal Pak Bani itu setau gue pengusaha baik, lho." Ucap salah seorang laki-laki yang sedang makan di situ.
"Iya, setau gue yayasan sosialnya dia juga ada di mana-mana. Sekolah punya keluarganya aja kan terkenal banget di Jakarta." Temannya menanggapi.
"Denger-denger Pak Bani punya dua anak, ya? Anak-anaknya pada gimana ya."
Ksatrio menoleh menatap dua lelaki tersebut. "Misi bang," ucapnya sambil mengisi kursi kosong di sebelah mereka.
Dua lelaki itu menatap Ksatrio dan menganggukan kepala, mempersilahkan lalu melanjutkan kegiatan makan sambil mengobrolnya.
"Bang, ini tumben rame banget ada acara di sekitar sini, ya?" tanya Ksatrio penasaran.
"Iya, ini kita semua media lagi ngeliput kasus suap pejabat daerah itu loh."
"Pejabat...daerah?" Alis Ksatrio tertaut. Duh, salahkan dia yang kurang update sama berita-berita terkini. Dia aja nggak tau kalau lagi ada kasus korupsi baru saking banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia.
"Iya. Disuap sama pengusaha yang mau bangun hotel di daerahnya. Pengusahanya tinggal di perumahan ini."
Tiba-tiba perasaan Ksatrio jadi tidak enak. Apalagi sebelumnya dua orang itu sempat menyebut nama Bani sebelumnya.
"Udah terbukti bersalah?" tanya Ksatrio, tanpa sadar nada suaranya berubah cemas.
"Belum sih, tadi rumahnya baru digeledah untuk pemeriksaan bukti "
Ksatrio langsung bangkit dari duduknya dan bergegas berlari ke motornya, meninggalkan pesanannya yang sudah dibayar begitu saja. Untung pedagang ketoprak itu sudah mengenal Ksatrio.
Motor Ksatrio berhenti beberapa meter sebelum rumah Anin. Betul saja, di sekitar rumah gadis itu tengah dikelilingi wartawan.
Ksatrio mengeluarkan ponselnya dari kantung celana. Terburu-buru mencari kontak Anin dan memanggilnya.
Sekali, dua kali, bahkan sampai enam kali panggilannya tidak terjawab. Ksatrio tidak bisa untuk tidak merasa cemas.
Membayangkan hal ini terjadi pada gadis manja seperti Anin pasti sangat menyakitkan. Gadis itu pasti shock berat.
Ksatrio: Anin, please angkat
Ksatrio: kalau nggak mau ngomong gapapa. Yang penting lo angkat, gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja
Ksatrio: please....
Ksatrio menunggu beberapa detik sebelum akhirnya kembali menghubungi Anin.
Panggilan kedua akhirnya diangkat dan Ksatrio bisa langsung bernafas lega. Tapi kemudian jantungnya seolah diremas ketika mendengar isakan pelan di sebrang sana.
"Gue nggak baik-baik aja, Yo, gue nggak akan bisa baik-baik aja..."