"Saya tidak m***m. Siapa suruh kamu berpakaian seperti itu? Sudah saya bilang, tidur di sofa. Eh, malah naik ke ranjang!" Si Bos sangat kesal sepertinya.
"Ya kan tadinya saya kira Anda suka sama ..." Saat melihat matanya melotot, aku gak berani melanjutkan, hanya berfose dua jari saja. Ngeri woy!
"Pria gitu? Ck, saya normal." Ekor matanya melirik ke arah celanaku. Sial!
"Lah, kalau gitu, kenapa gak bilang dari awal?" Buru-buru aku mengambil salah satu sarung dan menutupi pahaku yang terekspos bebas.
"Kamu gak nanya." Pak Hen mengerjap.
"Kalau tahu Anda normal, saya kan tidak akan ... argh! Malu!" Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Malu a***y! Kemarin aku sudah menyuruhnya mengambil handuk dengan posisi tubuhku yang telanjang. Walau hanya kepala yang nongol, tapi kan itu sedikit, eh bukan, banyak memalukan!
Kulihat Pak Hen menahan tawa, "Kenapa harus malu?"
"Anda keterlaluan!" Aku masih tidak terima. Belum lagi kejadian semalam. Aku tidur cuma pakai kolor doang. Malah lebih pendek dari kolor, Mak! Boxer a***y!
"Kamu sendiri yang keterlaluan. Harusnya saya yang marah."
"Lah kok jadi saya yang salah, Pak?"
"Tentu saja. Saya gak minta kamu buat tidur di kasur."
Aku memicing curiga, "Tunggu! Tapi Anda yang lebih dulu menyuruh saya tidur sekamar dengan Anda kan?"
"Ah, itu. Tentu saja. Kalau tidak sama saya, memangnya kamu mau tidur dengan Tomas?"
"Ya setidaknya kan Tomas tidak akan tertarik pada saya. Dia kan juga suka sama pria."
"Heh, kamu belum faham juga? Kalau saya normal, berarti Tomas juga normal!"
"Tapi mungkin Tomas tidak m***m!"
"Siapa bilang? Asal kamu tahu ya, Tomas itu pacarnya banyak."
"Ha? Yang benar?" Kaget dong! Masa sih? Emang kalau dilihat si Tomas lumayan cakep. Ya walau masih cakepan manusia tengil di depanku ini.
"Iya. Tomas banyak wanitanya. Dia bahkan biasa tidur dengan wanita yang dia mau. Setelah itu dia tinggalkan. Kamu mau jadi korban selanjutnya?"
Aku diam. Apa benar begitu? Si Tomas kayak orang baik kok. Masa sih?
"Anda sirik kali, Pak. Tomas lebih laku dari Anda. Haha, lihat! Sampe setua ini saja Anda masih belum menikah. Pacar juga gak ada. Kesian amat!" Aku tertawa meledeknya.
"Apa kamu bilang? Saya gak laku?"
"Tentu saja! Nih ya, dimana-mana, pria seumuran Anda itu minimalnya sudah punya anak satu. Lah ini? Tunangan aja belum."
"Oh, jadi kamu mau saya segera menikah gitu? Gampang, saya bisa menikah besok juga."
"Siapa? Ratih? Itu kan dijodohkan! Haha, Nyonya Mona pasti tahu kalau anaknya ini gak bisa cari pacar. Mengenaskan sekali!"
"Tapi Ratih langsung suka sama saya. Itu terbukti, saya punya pesona yang tidak bisa dihindari. Ya kan?"
Narsisnya kumat. Parah lagi.
"Kalau Mbak Ratih nolak gimana? Jomblo lagi deh, haha! Aduh!"
Tetiba Pak Hen menarik tubuhku merapat padanya. Gila, mau ngapain coba? Menggertak lagi? Aku sudah tahu triknya! Dia cuma gertak lalu pergi lagi. Aku tidak takut sama sekali!
"Kamu mengejek saya?" tanyanya. Tangannya memeluk pinggangku dengan erat. Kamu harus kuat godaan, Zia! Jangan terpengaruh!
"Tidak, tapi itu kenyataan!" Dengan berani aku membalas tatapan matanya. Mungkin ada sekitar lima detik kami hanya saling diam. Sempat ku lihat jakunnya naik turun. Kenapa dia memiringkan kepalanya?
Ya ampun, ini apa?! Gila, ini gila! Ternyata bukan hanya gertakan semata! Aku harus bagaimana? Ini hangat, basah dan sedikit membuat jantungku blingsatan gak karuan.
"Kamu manis," bisiknya dengan suara serak.
"Pak, barusan itu ...."
"Bukti, kalau saya normal."
"Apa?! Anda jahat! Kalau membuktikan tidak usah pakai, hemph!"
Dia melakukannya lagi, tapi hanya sekilas. "Bukan sekedar pembuktian. Tapi itu menjadi tanda kalau kamu harus jadi milik saya, Zia."
"Apa? Itu ... saya ...."
Glek. Dia bilang apa katanya? Kok aku mendadak budek ya?
"Saya tidak suka menerima penolakan. Kamu pasti tahu itu."
"Ti-tidak bisa. Ini bukan pekerjaan, ini masalah pribadi, Pak."
"Saya tahu."
"Saya mau pulang saja."
"Seharusnya memang begitu. Saya tidak bisa menjamin jika semalam lagi kamu menginap di sini, kamu masih utuh."
Busyet! Ngeri amat, Pak! Horor yang membawa nikmat sepertinya. Membayangkannya membuat badanku kesetrum sebadan-badan. Penasaran sih, tapi kata Mommy kalau melakukan anu-anuan sebelum sah, nanti bisa menyesal dan celaka. Masa depan suram. Aku tidak mau!
"Saya mau pulang, tapi tangan Anda masih di sini."
"Saya butuh jawaban." Lah, masih keukeuh dia.
"Untuk?" Aku pura-pura bego.
"Apa harus saya lakukan lagi yang seperti tadi? Apa kurang jelas?"
Njir, orang mah nembak pakai puisi atau kata-kata romantis. Ini? Langsung aksi.
"Apa harus sekarang?" tanyaku lagi.
"Setidaknya beri kepastian."
Aku diam sejenak, "Jadi ceritanya Anda ngajak saya beneran berhubungan?"
"Hm." Pak Hen masih betah memelukku. Menang banyak dia, enak saja! Aku sedikit menggeliat. Berusaha melepaskan diri.
"Bisa lepas dulu? Saya tidak bisa berpikir."
"Tidak bisa."
Sial, dia malah mengeratkan pelukannya.
"Besok deh. Di kantor. Nanti saya kasih jawabannya."
"Saya tunggu besok."
Huft, akhirnya dia benar-benar melepas pelukannya. Lalu, tanpa bicara apapun lagi, pria itu melenggang tenang masuk ke kamar mandi. Lah, aku dicuekin begitu saja? Ck, yang tadi nyosor itu siapa coba?
"Hendri, kalian sedang apa sih? Uwa udah nungguin dari tadi!"
Terdengar teriakan Tomas di depan pintu. Mengingat perkataan Pak Hen tadi, aku jadi sedikit ngeri lihat si Tomas. Katanya dia sering tidur dengan banyak wanita. Jangan-jangan dia terinspirasi dari film 'ah-uh' itu ya? Amit-amit jabang bayi!
"Heh, ini udah siang, kalian masih berduaan?" Tomas masih berisik di luar sana.
Karena terus berteriak, akhirnya terpaksa aku buka pintu.
"Hai, cantik!" Si Tomas langsung tersenyum lebar begitu melihatku membuka pintu.
"Kamu berisik sekali! Bilang ke Nyonya ...." Sumpah, aku kaget saat melihat sosok di belakang Tomas. "Eh, Nyonya? Hehe, maaf, sebenernya kami sudah mau keluar kok," ucapku berusaha tersenyum manis.
Mataku melebar melihat Nyonya Mona sudah berdiri dengan sanggulnya yang tinggi itu. Bibirnya merah menyala mengalahkan anak muda yang mau kencan.
"Ya ampun, kamu habis ngapain sama anak saya?!" Nyonya Mona memekik kecil melihat bagian bawah tubuhku yang sarungan.
"Eh, kenapa, Nyonya?"
"Ya ampun, ternyata kamu tidak tahu maksud saya?!" Nyonya Mona terlihat marah.
"Maksudnya?" Apa karena sarung ini ya? Jangan-jangan sarung punya bapaknya si Bos?
"Semalam saya nyuruh kamu sekamar bukan berarti sekasur juga! Haduh, Gusti! Kamu gak pernah nonton drama Korea ya, makanya sampe sarungan begitu. Duh, Hendri! Bagaimana ini? Apa kata tetangga nanti?"
"Hubungan drama Korea sama sarung ini kenapa, Nyonya?"
Tomas menggeleng, "Uwa, si Hendri udah tidak tertolong lagi sepertinya. Dia kebelet kawin, Wa."
"Hus! Sembarangan! Bukan kawin, tapi nikah!" Nyonya Mona memukul pelan lengan Tomas.
"Lah itu buktinya? Ziya sarungan di pagi hari dengan rambut yang acak-acakan begitu. Mau bukti apalagi?" Tomas memandangiku dari ujung kaki hingga kepala.
"Eh, ini tidak seperti yang kalian kira, kok. Beneran!" Sue, aku dikira sudah ehem-ehem sama anaknya coba! Enak saja! Masih segelan lah, malah semalam anaknya sendiri yang bikin segel kuat di tubuhku.
"Ya ampun, saya kira kamu bisa jaga diri dengan baik." Nyonya Mona nampak frustasi. Lah yang semalam nyuruh tidur bareng anaknya kan dia?
"Saya gak ngapa-ngapain kok."
"Sebentar, biar aku tanya dulu, ya, Wa." Tomas mengelus punggung uwanya itu.
"Uwa tidak sanggup dapat gunjingan tetangga, Tom."
"Sabar dulu, Wa. Biar Tomas pastikan ya?" Tomas beralih padaku, "Ziya, kamu jawab dengan jujur! Ingat, bohong sama orang tua itu dosa."
"Iya, saya tahu. Tapi beneran kok, saya gak ngapa-ngapain."
"Saya dengar kok. Sekarang, saya tanya kamu, semalam kalian tidur terpisah atau sekasur?"
Aku mengerjap. Katanya jangan bohong ya? Tapi kan besoknya jadi terpisah.
" Se-sekasur. Tap... tapi... itu, anu."
"Ya ampun, hiks, Hendri! Bagaimana ini? Heh, Zia, apa kamu sedang masa subur? Kapan terakhir kali kamu datang bulan? Apa kalian nikah aja ya? Kalau bulan depan kelamaan. Nanti bisa ketahuan hamil duluan. Kamu Minggu depan juga mencurigakan. Duh, aku harus bagaimana?" Nyonya Mona makin frustasi.
"Emak tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Kami akan menikah." Si Bos datang dengan rambutnya yang sudah basah.
"Ha?"
Ini bagaimana ceritanya sih? Kok jadi begini?