Akhirnya aku bisa pulang ke rumah. Setelah sehari semalam dapat tekanan gila dari Nyonya Monarki Absolut plus anaknya yang tetiba jadi pria normal. Aku kembali membayangkan kejadian di rumah itu, bibirku tersenyum tanpa bisa ku cegah. Pak Hen yang terkenal dingin itu menciumku. Pipiku memanas.
Walaupun kemarin aku tidak langsung menerimanya, tapi ya namanya juga wanita. Kalau tahu ada yang suka pasti senang dan bangga. Langkahku kali ini terasa sangat ringan dan bersemangat. Ah iya, aku lupa, aku akan memberikan jawabannya hari ini. Terima jangan ya? Semalam sih aku sudah konsultasi dengan Mommy. Katanya harus tanya hatiku sendiri. Suka atau tidak ya? Ah, aku tidak tahu. Kalau ada yang lebih keren bagaimana? Atau semisal setelah diterima, Pak Hen ternyata punya kebiasaan jelek? Ini benar-benar membingungkan.
Oke, ini hari pertama setelah insiden itu. Apa yang akan dilakukan Pak Hen selanjutnya ya? Apa dia akan mengejarku seperti di drama romantis? Atau mungkin berlutut dan memohon padaku agar cintanya diterima. Ah, itu sungguh manis!
Dan setumpuk pekerjaan segera menyambutku. Memeriksa berkas untuk ditanda tangani oleh atasanku itu. Beberapa kali aku mengintip Pak Hen dari kaca pemisah ruangan kami. Pria itu nampak sedang serius. Entah apa yang ada di otaknya. Apa jangan-jangan dia sedang cemas memikirkan jawaban dariku? Hihi, kalau iya, ini manis sekali!
Baiklah, semua pekerjaanku sudah selesai. Tinggal aku masukkan ke ruangannya.
Pintu terbuka. Jadi aku langsung masuk saja.
"Ketuk pintu sebelum masuk!"
Ha? Pak Hen bersuara tanpa melihatku sama sekali. Kenapa pria itu menjadi lebih dingin?
"Pintunya terbuka, Pak. Jadi saya langsung masuk saja."
"Tidak sopan! Ulangi!"
Kitu kupret! Begitu saja marah! Walaupun gedeknya sampai ke ubun-ubun, tapi aku menurutinya. Kalau saja bukan atasan, sudah kujewer telinganya.
Tok-tok-tok!
"Masuk."
Ish, gitu aja harus diulang! Ribet amat sih? Awas saja ya, jangan harap aku menerimanya setelah ini.
"Ini berkas yang harus Anda tanda tangani, Pak."
"Simpan di sana." Telunjuknya mengarah ke meja lain di ruangan ini.
"Baik," jawabku. Aku menunggu. Apa pria itu sedang menantikan jawaban yang semalam dariku? Kenapa masih belum ada tanda-tanda dia penasaran ya?
"Kalau sudah selesai, kamu boleh keluar."
Si Anjir! Aku diusir? Bangke! Kalau begini caranya, makin bulat tekadku untuk menolak! Suka sih, tapi kalau dijadikan b***k, mana mau aku! Aku bukan wanita t***l yang pasrah ditekan atas nama cinta. Fuih, gak ada dalam kamusku!
Kalau bisa jahat, kenapa harus baik, ya kan?
Aku berbalik dengan sedikit menghentakkan kaki. Mengumpat adalah obat paling mujarab saat kesal. Bahkan dalam pikiranku, Pak Hen sudah kubuat terjungkal berkali-kali karena bogem mentahku yang sangat kuat.
Parahnya lagi, keaseman Pak Hen terus berlanjut hingga menjelang pulang. Menyebalkan! Boro-boro berlutut memohon jawaban dariku, bersikap ramah juga tidak. Malah lebih jutek dari biasanya.
Baiklah, ini adalah hari yang buruk. Mungkin seburuk-buruknya. Bagaimana tidak, setelah aksi nyata pagi itu, aku benar-benar dibuat pusing dengan tingkah bosku itu. Aku kira setelah nyosor heroiknya di pagi hari, ia akan lebih mesra gitu. Ini? Boro-boro! Malah lebih sadis! Jangankan senyum atau nyapa, yang ada malah suram saja mukanya. Mendung terus sepanjang hari.
"Tumbenan kamu lebih damai, biasanya heboh. Ada apa?" Dina, designer khusus perusahaan ini.
"Lagi puasa ngomong," jawabku sekenanya.
"Hush, jangan bilang gitu, Zi. Ntar beneran gak bisa ngomong lho!"
"Doa yang buruk balik lagi ke yang ngomong."
"Kamu kenapa sih? Lagi datang bulan ya?"
"Kagak."
"Duit habis?"
"Kagak." Ini orang bawel banget sih? Kepo melebihi emak-emak tukang gosip.
"Ziya, kalau sudah siap pulang, saya tunggu kamu di bawah."
Dina menyenggol sikutku, "Aciee ... yang mau diantar bos besar!"
"Gak level." Aku masih ketus. Gimana enggak, seharian ini si Bos benar-benar mengacuhkanku. Bahkan yang biasanya dia nyuruh bikin kopi pun, hari ini dia bikin sendiri. Apa maksudnya coba? Jangan-jangan si Bos menyesal bilang mau bertanggung jawab? Padahal gak usah sejauh itu. Lagi pula, aku belum tentu mau menikah dengannya kan?
"Masa sih? Bos Hendri lho yang ngajak, kalau aku jadi kamu. Beuh, mau ku buat status di medsos, kapan lagi dapat pacar keren dan kaya raya, ya kan?"
Aku tertegun. Barusan itu beneran si Bos yang bilang mau nunggu di bawah? Kepalaku celingukan. Kok gak ada? Mana orangnya ya?
"Dih, katanya gak level? Nyatanya nyari juga! Bos Hendri udah turun duluan!"
"Yang bener kamu?" Aku memastikan kalau yang kudengar tadi bukan halusinasi.
"Iya bener! Kalau penasaran, lihat aja gih ke bawah!" Dina menggeleng lalu menutup ruangannya.
Oke, aku mengaku deh. Memang penasaran. Iya gitu yang ngomong barusan Pak Hen? Soalnya seharian ini dia kayak orang asing. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Begitu sampai di parkiran, aku lihat Pak Hen sedang bersandar ke mobilnya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana.
"Kenapa lama sekali?" tanyanya. Ia lalu melirik jam tangannya, "Dari lantai atas kemari seharusnya hanya butuh lima menit. Dan kamu menghabiskan lima belas menit untuk bisa sampai ke hadapan saya."
"Maaf, tadi saya sedang berpikir antara ikut dengan Anda atau tidak."
Dasar jumawa! Percaya diri sekali dia!
"Kamu punya teman lain?" tanyanya dengan nada mengejek. Sial, dia kira tidak ada pria lain yang menyukaiku selain dirinya?
"Tentu saja. Tadinya saya akan pulang dengan ... Dika!" Aku memanggil pria yang sedang bersiap memakai helm-nya. Ya, Dika adalah kembarannya si Dina.
Pak Hen menatapku ragu, "Dika? Kamu kenal dia?"
"Tentu saja!" Ya, ya, aku kenal Dika karena pria itu dulu kakak kelasku waktu SMA. Sebuah kebetulan lagi saat tahu kembarannya si Dina sekarang kerja barengan denganku. Kalau si Dika buka bengkel mobil katanya. Entah dimana, aku tidak begitu tahu. Hanya saja, pria ini sering bolak balik ke sini untuk bertemu kembarannya.
Dika datang lalu mengangguk sopan ke arah Pak Hen, "Halo, Pak? Apa kabar?"
"Baik." Pak Hen menjawab singkat dengan nada dingin.
"Ada apa, Zi?" Dika beralih menatapku.
"Kita jadi jalan kan?" tanyaku dengan suara keras. Dika jelas bingung, haha. Biarlah, sesekali ngerjain orang gak apa kali ya?
"Jalan? Sekarang?"
Pak Hen menatap kami bergantian. "Kalian mau kemana?"
"Pak, kami ini anak muda. Jam segini belum waktunya pulang. Ayo, Dik! Kita berangkat!" ucapku lalu menggandeng tangan Dika yang masih bengong.
Grep! Eh?
Dengan cepat lenganku ditarik Pak Hen, "Tidak bisa! Kamu masih berkerja sama saya!"
"Kerja? Ini kan sudah waktunya pulang, Pak."
"Jam kerja kamu saya tambah tiga jam. Jadi kamu harus menemani saya selama tiga jam kedepan."
"Ha? Mana bisa begitu? Tidak mau!" ucapku sengit. Sakit hati tahu! Apalagi saat ingat sikapnya seharian ini.
"Kamu akan dapat uang lembur!"
Uang? Aku menyeringai. "Saya tidak butuh uang. Teman kencan saya jauh lebih penting. Ayo, Dik!"
"Kamu akan saya pecat kalau masih membangkang! Masuk ke mobil saya sekarang atau kamu tidak usah datang lagi ke perusahaan."
Edan! Dia pakai kartu sakti. Dipecat adalah hal yang paling menakutkan bagiku. Nanti kalau melamar ke tempat lain kan jadi catatan hitam.
"Baiklah, tapi bener ya, Pak? Tiga jam. Ini baru jam empat sore. Terhitung mulai menit ini tiga jam ke depan." Aku mengalah. Kulihat Pak Hen tersenyum menang.
"Jadi bagaimana, Zi? Kita jalan?" Dika masih berdiri. Ya, ya, pria itu memang pernah bilang suka padaku. Sayang, aku tidak menyukainya. Aku lebih suka si Dika dijadikan teman. Anaknya asyik dan gak neko-neko.
"Duh, lain kali saja ya? Ada kompeni mendadak nyerang. Maaf ya?"
"Its Ok, gak apa-apa. Tapi aku benar-benar berharap kita ada waktu buat jalan bareng."
Aku tersenyum, "Tentu saja, jangan khawatir! Aduh!"
"Ayo!" Pak Hen sedikit menyeret lenganku. Dasar pemaksa!
Aku masuk ke dalam mobilnya. "Sekarang saya sudah di mobil. Apa pekerjaan lembur saya, Pak?"
"Kamu sudah tidak sabar ya?"
"Biar cepat tuntas dan saya bisa cepat pulang."
"Jangan coba-coba berpikir untuk kencan dengan pria tadi."
"Kenapa? Anda cemburu?"
"Tidak. Saya hanya khawatir pria tadi siapa namanya? Mika ya?"
"Ish, Dika, Pak, Dika!"
"Nah itu. Saya khawatir dia kaget kalau tahu sikap kamu yang sebenarnya."
"Sikap saya?"
"Iya, kamu meski cantik tapi kadang jorok dan tidak rapi. Ah, satu lagi, kamu juga pelupa."
Oke, aku gak bisa ngomong lagi. Bukan berarti kalah ya, tapi lebih ke arah terlalu kesal. Mending diam.
"Tumben gak nyahut," Pak Hen seperti menahan tawa, mobilnya berhenti di depan sebuah kafe yang cukup ramai pengunjung.
"Terserah Pak Hen sekujur badan saja. Saya gak peduli."
Ia tersenyum geli, "Kamu tidak mau tanya kenapa kita ke sini?"
"Saya sudah tahu jawabannya."
"O ya? Apa itu?"
"Ini bagian dari pekerjaan. Ya kan?"
Pak Hen lagi-lagi tersenyum. Ini orang kenapa sih? Di kantor aja tadi bersikap cuek bin galak melebihi emak tiri. Lah sekarang? Dikit-dikit mesem, dikit-dikit mesem.
"Kamu salah. Saya ke sini nagih janji kamu."
"Tentang?"
Aku sengaja pura-pura lupa. Sedikit memberi pelajaran padanya. Enak aja, merubah sikap semau dia. Giliran ada butuhnya aja baik banget.
"Masa saya harus mengulangi adegan semalam di sini?"
"Oh, itu. Gimana ya?" Aku berlagak bingung. Aku tidak mau dia terlalu besar kepala. Mentang-mentang jadi atasan, bisa memilikiku dengan mudah, enak saja!
"Kamu sudah berjanji. Hari ini hampir mau habis. Seharusnya kamu sudah menyiapkan jawabannya."
"Tidak bisa semudah itu, Pak. Ini menyangkut masa depan saya. Makanya saya gak bisa sembarangan."
"Ya atau tidak?"
"Untuk pacaran?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Untuk ke pelaminan."
Ha? Jadi dia serius mau menikah denganku? Ini bukan lelucon kan?
"Pak, Anda sedang melamar saya?"