7. Gara-gara Semak

1525 Kata
Ara berjalan tergesa-gesa dengan perasaan sangat dongkol, gadis itu juga memaki Kakaknya dalam hati. Bahkan penghuni kebun binatang juga Ara absen satu persatu. Untung saja para binatang tidak memiliki ilmu telepati, jadi tidak menyahut ucapan Ara. Kalau Ara memanggil ‘Buaya! lalu buayanya jawab ‘Hadir, Bu. Bisa semakin bahaya. “Ara, tunggu!” Arsel berteriak memanggil Ara. Apa Ara peduli? Tidak sama sekali. Gadis itu terus berjalan menjauh. Arsel berlari untuk mengejar Ara, sedangkan Ara yang sadar dikejar pun langsung berlari agar tidak bertemu dengan Kakaknya. Kekesalan Ara pada Arsel membuat Ara tidak ingin melihat wajah pria itu. Kini Kakak dan adik itu kejar-kejaran membuat orang-orang yang berpapasan dengan mereka menatap mereka bingung. “Kenapa itu anak muda kejar-kejaran?” tanya salah satu perempuan di sekumpulan Ibu-ibu. “Apa mereka bertengkar?” “Apa mereka jambret?” Kini asumsi-asumsi memenuhi otak sekumpulan Ibu-ibu itu. “Halah, kayak gak tau anak muda aja. Mereka itu kejar-kejaran bukan bertengkar, tapi romantis-romantisan. Kejar-kejaran, lalu perempuannya berhenti dan berputar-putar di tiang sambil nyanyi ‘Bole chudiyan, bole kangna … Haai main ho gayi teri saajna,” oceh salah satu perempuan itu. “Ini nih kalau kebanyakan nonton India,” kata yang lain kembali melanjutkan jalannya. Ara membelokkan kakinya ke arah kiri dan berlari semakin menjauh. Namun, sesaat kemudian Ara menghentikan langkahnya tatkala dia menyadari berada di semak-semak dan di bagian kanan adalah kebun jagung. Arsel berjalan di belakang Ara, cowok itu tersenyum saat berhasil mendapatkan adiknya. “Haduh, kok di semak-semak sih,” ujar Ara yang kini kebingungan. “Waah, Ara. Tidak menyangka kalau kamu membawaku ke semak-semak,” sahut Arsel seraya tersenyum. Mendengar ucapan Kakaknya, seketika Ara menengok. “Kenapa kamu juga kesini?” tanya Ara dengan kesal. “Kamu yang membawaku ke sini. Jadi aku yang harusnya tanya sama kamu, apa kamu berniat mengajakku berkembang biak dengan nuansa berbeda? Kan sudah aku bilang kalau kita nikah dulu, lalu kita berkemb—” “Otak kalau isinya berkembang biak ya kayak ginI!” sentak Ara memukul pundak kakaknya dengan kesal. “Apa yang Mas lakukan malam ini sungguh keterlaluan. Kamu membuatku malu dengan bilang kalau kamu calon suamiku. Juga kamu sudah melukai hati Aksa. Bisa gak sih sehari saja kamu bersikap normal?” tanya Ara lagi bertubi-tubi. “Malam ini ulang tahun Bu Diana, tapi kamu mengacaukannya!” sentak Ara sembari menendang kaki Arsen dengan kencang. Arsen mengaduh kecil. “Kan memang benar kalau kita ini calon suami istri dan kita akan menikah secepatnya,” jawab Arsel. “Tapi aku gak mau menikah sama kamu!” jerit Ara kencang. “Sudah aku katakan berkali-kali, aku tidak mau menikah denganmu. Apalagi kamu menggunakanku untuk pelampiasan. Kamu senang bisa membalas mantan pacarmu, tapi aku yang sengsara karena menikah dengan orang yang tidak aku sukai,” jelas Arsel. “Aku ganteng tidak malu-maluin, aku kaya bisa membuatmu bahagia, lalu apa yang kamu takutkan, Ara?” tanya Arsel. “Pantas saja mantan kamu memutuskan kamu, kamu hanya cowok egois yang mengandalkan kegantengan dan kekayaan,” maki Ara segera pergi dari hadapan Arsel. Namun, tangannya ditahan oleh Arsel. “Tidak peduli apapun yang kamu katakan, aku tetap menikahimu. Ayo pulang!” ajak Arsel. Ara menghempaskan tangan Kakaknya, “Aku tidak mau pulang,” jawab Ara. “Kalau kamu gak mau pulang, kamu mau kemana, Ara?” tanya Arsel. “Di sini saja tidak apa-apa,” jawab Ara yang kini duduk di semak-semak. Gadis itu diam sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon yang besar. “Ara, jangan merampas rumah kunti! Nanti kamu dihantui lo,” kata Arsel. “Nanti aku berteman sama dia,” jawab Ara ketus. Ara lebih memilih di semak-semak daripada pulang dengan Arsel. Gadis itu tengah memikirkan berbagai cara untuk mendapatkan banyak uang dan menyewa rumah sendiri. Pasalnya menjadi guru magang gajinya tidak banyak, itu pun dibayarkan beberapa bulan sekali. Arsel menarik napasnya dalam-dalam untuk menyetok kesabarannya. Cewek kayak Ara memang harusnya disabarin, dikasarinnya di atas ranjang saja. “Ara cantik, pulang yuk!” ajak Arsel yang kini berjongkok di samping Ara. “Nanti Mas masakin sesuatu yang enak-enak deh,” tambah Arsel membujuk Ara sudah seperti membujuk anak kecil. “Mas juga minta maaf masalah tadi sama Bu Diana dan Aksa. Janji gak akan malu-maluin kamu lagi.” Ara menutup telinganya karena tidak mau mendengar ucapan Arsel. Rasanya Arsel ingin ngamuk saja, tetapi dia merasa tidak cocok dengan wajahnya yang kalem. “Ara,” panggil Arsel memegang tangan Ara. “Gak usah pegang-pegang!” ketus Ara kembali menepis tangan Arsel. “Pegang-pegang boleh, cium-cium boleh, tapi pinjam seratus tidak boleh ….” Arsel malah bernyanyi membuat Ara semakin gedek. Kedua tangan Ara memegang rambut Arsel dan menjambaknya dengan kencang. Arsel yang kesakitan pun berteriak nyaring. “Aaaaa ….” Arsel memegangi tangan Ara agar melepaskan jambakannya, tetapi Ara tetap melampiaskan kekesalannya. Hingga sebuah cahaya menyorot ke arah Arsel dan Ara. Kedua pemuda itu menoleh, mata mereka membulat sempurna saat melihat beberapa bapak-bapak datang membawa cangkul, celurit dan senter. “Siapa di sana?” tanya salah satu pria sambil mengarahkan senter ke Arsel dan Ara. “Ayo tangkap. Pasti mereka berzina di kebun kita!” pekik yang lain. Ara melepaskan tangannya dari rambut Arsel, “Mas, bahaya,” bisik Ara. Arsel memegang tangan Ara dan mengajak gadis itu berlari. “Kabuuur!” teriak keduanya segera pergi dari sana. Orang-orang itu mengejar Arsel dan Ara yang tampak mencurigakan. Arsel dan Ara terus berlari tunggang langgang karena ketakutan. Ara pikir berada di semak-semak akan aman, tetapi siapa sangka kalau sekarang dia dikejar masa. Keringat bercucuran di kening Arsel dan Ara. Sembari berlari, sesekali keduanya menatap ke belakang untuk memastikan orang-orang di belakangnya tidak mengejar. Namun, yang ada malah semakin kencang mengejar. Arsel dan Ara sampai di jalan raya dan terus berlari. Ara paling malas kalau olahraga, tapi di keadaan terdesak, kekuatan dalamnya langsung muncul seketika. Hingga mereka sudah jauh dan orang-orang tidak mengejar lagi. Arsel dan Ara menghentikan lari mereka. “Huh, capek banget,” keluh Ara dengan napas tersenggal-senggal, pun dengan Arsel yang mengusap keringatnya dengan tangan kirinya. Pria itu juga merasa sangat capek, tetapi saat menyadari tangannya masih berpegangan dengan Ara, seketika rasa capek Arsel menguar entah kemana. Arsel menatap tangannya yang bertaut dengan tangan Ara, genggaman keduanya terasa sangat hangat. Pria tampan itu sengaja tidak menyadarkan adiknya. “Mas, ini semua gara-gara kamu. Andai kamu tidak menyusulku di restoran tadi, ini gak akan terjadi,” ujar Ara menyalahkan Kakaknya. “Ini semua lebih tidak akan terjadi saat kamu tidak lari ke semak-semak,” jawab Arsel yang tidak terima disalahkan begitu saja. “Gak mau tau, pokok ini salah kamu!” sentak Ara. Arsel memilih diam. Memang dengan perempuan, laki-laki harus siap salah setiap saat. Percuma berdebat pun tetap salah Arsel. Ara menyadari kalau tangannya masih dipegang Arsel, cewek itu langsung melepaskan tangannya. “Sekarang pesan taksi untuk mengantar pulang!” titah Ara memaksa Kakaknya. Kali ini dia memilih pulang ke rumah Kakaknya sambil mengambil barang-barang di kamarnya yang nanti bisa dijual. “Mobilku ada di restoran,” jawab Arsel. “Kamu kan kaya, suruh orang saja buat ngambil mobilmu. Yang penting kita cepat sampai rumah, aku capek,” keluh Ara. Arsel berpikir keras, hingga bibirnya berkedut menahan senyum, “Ini sudah malam, aku gak mau nyuruh orang. Kita ambil saja sendiri jalan kaki!” ajak Arsel. Ara membulatkan matanya mendengar ucapan kakaknya. “Jangan bercanda, Mas. Dari sini ke restoran jauh dan kamu mengajakku jalan kaki? Aku saja lari-larian tadi sudah capek,” seloroh Ara. “Tapi kamu kenceng banget larinya. Sekarang kita jalan santai saja masak gak bisa,” ujar Arsel. “Ya kalau dalam keadaan terdesak, tembok tiga meter saja bisa aku lompati. Kekuatan dalamku gak bisa keluar kalau tidak terdesak. Kalau kamu mau ambil mobil, ya ambil saja kesana. Aku menunggu di sini,” oceh Ara yang mau enaknya sendiri. “Kalau kamu nunggu di sini terus kamu diculik bagaimana? Ini sudah malam dan gak baik cewek malam-malam sendirian,” jelas Arsel. “Ya terus gimana? Aku gak mau jalan karena capek,” keluh Ara. Kini tampilan Ara sangat acak-acakan membuat Arsel ingin melakukan yang ‘enak-enak dengan gadis itu. Namun, ini bukan waktu yang tepat. Arsel merendahkan tubuhnya di hadapan Ara. “Naik sini!” titah Arsel. Ara tecekat melihat itu. “Na– naik mana?” tanya Ara yang mendadak bodoh. “Ya naik ke punggung, aku akan menggendongmu,” jawab Arsel. “Kamu menggendongku? Gak salah?” tanya Ara yang masih tidak percaya dengan Kakak angkatnya. “Kamu maunya apa sih? Kamu bilang capek jalan, aku menawarkan diri buat gendong kamu malah gak mau,” ujar Arsel. “Aku mau kok,” jawab Ara langsung naik ke punggung Arsel. Karena Ara pakai ancang-ancang sebelum naik, kini Arsel sedikit oleng membuat Ara takut. “Eh, bisa gendong aku gak sih?” tanya Ara. “Jangankan gendong kamu ke restoran, gendong kamu ke pelaminan pun aku bisa,” jawab Arsel yang kini menggendong Ara menuju ke restoran. Arsel sama capeknya dengan Ara, pun saat ini punggungnya yang terasa mau putus, tetapi demi bersama Ara lebih lama, Arsel pun nekat menggendong gadis itu. Arsel bukan babi, Arsel juga tidak buta, tetapi semangatnya menggendong Ara membabi buta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN