Arsel dan Ara sampai di rumah mereka setelah berjalan kaki cukup jauh dan naik mobil dari restoran ke rumah. Ara menyeret langkahnya terasa lemas menuju ke pintu utama, pun dengan Arsel yang berjalan sambil memegangi pinggangnya. Saat Arsel melihat Ara capek, ingin rasanya cowok itu menendang adiknya. Dia yang menggendong, tetapi Ara yang kecapean.
“Akhirnya sampai rumah,” ucap Ara dengan senang.
“Gitu sok-sokan mau tidur di semak-semak,” ejek Arsel yang suka mencari gara-gara.
“Ya sebenarnya lebih enak di semak-semak,” jawab Ara.
“Kalau kamu di semak-semak, nanti kamu dipatuk ular liar. Kalau di sini kan yang matuk ular jinak,” jawab Arsel.
“Dasar m***m!” pekik Ara memukul Arsel dengan tasnya.
“Itu benar, Ara. Kalau ular di semak-semak mengeluarkan bisa racun, tetapi kalau ular di sini bisanya kenikmatan. Kamu sih jadi orang hmpphhh—” ucapan Arsel terhenti saat Ara membekap bibirnya dengan cepat.
Ara sedikit berjinjit dan terus membekap bibir dan hidung Arsel. Arsel membulatkan matanya tatkala tidak bisa bernapas.
“Hmphh … hmphhh ….” Arsel berusaha melepaskan tangan Ara, tetapi gadis itu membekapnya sangat kencang.
Baru saja Arsel dan Ara romantis-romantisan dengan gendong-gendongan, tetapi sekarang Ara melakukan percobaan pembunuhan begini.
Prang!
Suara panci dibanting membuat Ara langsung melepaskan bekapan tangannya dari bibir Arsel. Saat menoleh, Ara mendapati Ibunya yang saat ini menatapnya dan Kakaknya tajam.
“Masih ribut lagi?” tanya Joda kepada dua anaknya.
“Dia, Bu. Dia membekap bibirku,” jawab Arsel menunjuk Ara.
“Dia yang mulai, Bu. Bayangkan saja, aku gadis imut dan polos dinodai dengan otak kotornya. Dia bilang ular kenikmatan. Aku pengen berkata kasar, tetapi tidak cocok dengan wajahku yang baik ini,” seloroh Ara menggebu-gebu.
“Cocotnya,” sindir Arsel. Ara memelototkan matanya kepada sang Kakak.
Arsel sangat tidak percaya kalau adiknya polos, diam-diam adiknya itu bandar film dua puluh satu plus-plus. Film romantis luar negeri yang banyak cipok basahnya sering adiknya tonton.
“Bu, dia menyusulku padahal aku lagi main sama teman-temanku. Gara-gara dia juga aku harus pulang lebih awal,” jelas Ara lagi.
“Arsel, sudah Ibu kasih tau, biarkan Ara pergi sama teman-temannya. Kamu malah ngeyel,” ujar Joda mendekati anaknya dan menjewer telinga pria itu dengan kencang.
Arsel berteriak kesakitan, sungguh wibawanya yang seorang pengusaha sukses jatuh saat Ibunya menjewer. Ara yang melihat itu langsung ngacir begitu saja.
Sedewasa apa seorang anak, bagi orang tuanya tetaplah anak kecil. Pun dengan Joda saat melihat Arsel dan Ara, dia dan suaminya yang membesarkan kedua anak itu dengan kasih sayang yang sama. Siapa sangka kalau waktu sangat cepat berlalu dan sekarang mereka sudah dewasa. Kendati demikian mereka malah semakin sering bertengkar.
“Arsel, kamu jangan sok-sokan mau menikahi Ara. Ini Ibu kasih rekomendasi cewek anak teman-teman Ibu,” ujar Joda memaksa anaknya duduk di sofa.
Joda memperlihatkan hpnya yang ada foto wanita cantik, “Ini namanya Mawar, dia keturunan Indonesia Australia,” ujar Joda.
Arsel melihat wanita cantik itu sesaat, “Skip,” jawab Arsel.
“Tenang saja, stok Ibu banyak banget. Ini foto ke dua namanya Melati, asli Indonesia rumahnya Jakarta sana. Kalau mau, Ibu kenalin kalian,” jelas Joda.
“Skip,” jawab Arsel lagi.
“Ini foto ketiga namanya Dahlia, ada blasteran Norwegia tapi tinggal di Yogya,” ujar Joda.
“Skip,” jawab Arsel. Joda mengerutkan dahinya saat Arsel terus tidak suka dengan cewek yang dia tunjukan.
“Tenang … tenang. Masih banyak. Ini ada lagi namanya Seruni, asli Indonesia juga,” ucap Joda.
“Skip, Bu, skip!” pekik Arsel.
“Ibu ini menjajakan orang apa bunga sih? Kenapa semuanya nama-nama bunga? Mawar, melati semuanya indah, terus ada lagi bunga Dahlia, bunga Seruni, kenapa gak sekalian teman Ibu memberi nama anaknya dengan bunga kamboja, bunga kenanga atau bunga kantil?” Seloroh Arsel bertubi-tubi.
“Ini ada yang bukan nama bunga, ini namanya Zika,” ujar Joda memberikan gambar lagi.
“Skip,” jawab Arsel sewot. Joda langsung menggeser lagi hingga memperlihatkan foto Ara bersama dirinya. Itu diambil saat mereka ngopi cantik di cafe.
“Kalau sama yang ini mau,” jawab Arsel sambil menunjuk hp Ibunya.
“Yang ini jangan!” pekik Joda langsung menarik hpnya dan mengantonginya.
“Ibu, dari sekian banyak wanita, aku maunya cuma sama Ara. Titik!” desis Arsel segera berdiri dan kabur dari Ibunya sebelum dia disuruh memilih perempuan mana pun lagi. Arsel hanya mau Ara, tidak mau yang lain. Tapi, kenapa tidak ada yang mengerti?
Arsel memasuki kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya di ranjang, rasanya punggung dan kaki Arsel mau putus karena saking capeknya menggendong Ara. Ini memang salahnya yang sok jagoan. Kesal lagi saat Ara terkesan tidak peduli dengannya.
Karena tidak mau semakin capek, Arsel bangun dari ranjangnya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dengan harapan setelah mandi, rasa capeknya hilang.
Pukul sebelas malam Ara belum tidur karena masih berkirim pesan dengan Pak Aksa, cewek itu sesekali akan tertawa sendiri saat Aksa mengiriminya gambar yang lucu-lucu. Tanpa Ara sadari, ada yang memantau Ara dari balik pintu. Siapa lagi kalau bukan Arsel?
Arsel mengintip adiknya dengan mata yang memicing. “Dengan siapa cewek itu berbicara?” tanya Arsel pada dirinya sendiri.
“Pasti dia lagi berkirim pesan dengan cowok. Ganjen sekali dia,” seloroh Arsel yang tidak terima melihat Ara tertawa, tetapi bukan dirinya penyebabnya.
Arsel tidak tahan dengan semua ini, pria tampan itu mengetuk brutal pintu Ara. “Ara!” teriak Arsel memanggil.
Arsel sengaja berteriak agar orang tuanya bangun sekalian. Ara yang masih melek pun menatap ke arah pintu, tetapi dia mengabaikan Kakaknya yang berteriak.
“Ara, buka pintunya!” teriak Arsel lagi. Saat mengetuk pintu dengan baik tidak dibukakan, Arsel pun menendang pintu kamar adiknya. Sungguh cowok itu brutal sekali.
“Iya-iya ini bangun,” ujar Ara yang menyibak selimut dengan tergesa-gesa. Gadis itu segera berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Gak sopan banget teriak-teriak tengah malam. Kamu pikir orang gak tidur apa?” tanya Ara saat melihat Kakaknya yang telanjang d**a.
“Gak usah bohong, Ra. Aku tau kalau kamu belum tidur. Tawamu yang cekikikan kayak kunti itu terdengar dimana-mana,” seloroh Arsel.
“Terus mau apa kamu kesini?” tanya Ara kepada Kakaknya.
“Mau meminta pertanggung jawaban kamu,” jawab Arsel.
“Aku saja gak menghamili kamu kok minta pertanggung jawaban,” ketus Ara.
Arsel tidak peduli dengan ucapan adiknya, cowok itu langsung nyelonong masuk ke kamar adiknya begitu saja.
“Eh Mas! Gak boleh masuk kamar cewek!” pekik Ara mengejar Kakaknya. Pintu kamar Ara tertutup otomatis.
“Mas, kita itu cowok dan cewek dewasa, gak boleh di kamar yang sama begini. Ayo pergi!” ajak Ara menarik tangan Arsel dengan sekuat tenaga. Namun, itu tidak berhasil membuat Arsel terseret.
“Ara, aku sudah menggendongmu tadi. Sekarang pijat aku!” pinta Arsel sambil merebahkan tubuhnya di ranjang.
“Enggak mau,” tolak Ara.
“Harus mau, kamu yang sudah membuatku kecapean,” jawab Arsel.
“Hei, Mas. Biar aku ingatkan, kamu lah yang menawarkan diri untuk menggendongku. Bukan aku yang meminta gendong. Sekarang kamu pergi!” oceh Ara sambil memerintah Kakaknya.
“Gak mau pergi sebelum kamu memijat punggungku,” jawab Arsel kukuh.
Ara menatap tubuh kakaknya, sungguh cowok dewasa itu tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Sudah tau kalau mereka tidak sedarah, tetapi Arsel masuk hanya bertelanjang d**a.
“Cepat memijat, aku akan cepat pergi dari sini,” ujar Arsel.
Mau tidak mau pun sekarang Ara harus menuruti cowok sableng bernama Arselio itu. Ara naik ke ranjang dan mulai memijat Kakaknya. Tangan Ara memijat punggung Arsel dengan perlahan, sedangkan Arsel mesam-mesem bagai orang sinting.
“Eum, enak banget Ara,” ujar Arsel dengan suara beratnya.
“Enak baanget. Ya … yang itu!” pinta Arsel lagi.
Ara mengerutkan dahinya saat ucapan Arsel sangat ambigu, apalagi cowok itu juga mengeluarkan desahannya.
“Yang kenceng, Ara!” pinta Arsel.
“Ini sudah kenceng, Mas,” jawab Ara memukul punggung Arsel dengan kencang.
“Kurang, Ara. Gak kerasa apa-apa,” ujar Arsel yang kini membalikkan tubuhnya hingga telentang. Ara sedikit terkesiap saat melihat perut kotak-kotak Arsel.
Tiba-tiba Arsel bangun dan memijat punggung Ara. “Begini Ara, begini,” tambah Arsel mencontohkan cara memijat.
“Aaaaa … sakit!” pekik Ara kencang karena Arsel memijatnya dengan brutal.
Joda dan Arman membulatkan matanya saat mendengar teriakan Ara. Setelah Lingga masuk kamar Ara, sepasang suami istri itu langsung menguping di pintu anak perempuannya. Kini mereka malah mendengar yang tidak-tidak.
“Kan, aku bilang juga apa. Arsel bisa nekat, sekarang apa yang dilakukan anakmu itu?” tanya Arman pada istrinya.
“Ya terus bagaimana dong?” tanya Joda.
“Mas … jangan kenceng-kenceng!” teriak Ara lagi.
“Nikmati saja, Ara!” pinta Arsel.
“Kita harus menikahkan mereka,” ujar Arman yang keputusannya sudah bulat.
“Itu, cepat pisahkan keduanya dulu!” pinta Joda kepada suaminya.