9. Tidak Sesuai Harapan

1642 Kata
“Wulan, lauknya apa nih?” tanya Vino yang baru pulang kerja meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak ada jawaban apa-apa saat Vino masuk dapur, pun dengan tidak ada Wulan di sana. “Wulan!” teriak Vino lebih kencang. “Wul, kamu dimana?” tanya Vino lagi. Tetap tidak ada jawaban apa-apa dari Wulan, Vino menghampiri meja makan yang ada tudung saji. Saat mengangkat tudung saji itu, Vino langsung membantingnya sedikit kencang. Saat pulang kerja, harapan Vino adalah disambut sang istri dengan senyuman manis dan makanan yang enak. Namun, jangankan makanan, piring saja tidak ada di bawah tudung saji. Percuma tudung saji diletakkan di meja kalau tidak ada yang ditutupi. “Kenapa sih kamu teriak-teriak?” tanya Wulan yang masuk ke dapur dengan penampilan yang acak-acakan, terlihat sekali kalau perempuan itu tengah mengantuk. “Apa yang kamu berikan pada suamimu ini? Aku pulang kerja lapar, tapi gak ada apa-apa di sini,” tanya Vino. “Hei, Mas. Kamu ngasih apa kemarin ke aku?” tanya Wulan pada suaminya. “Nafkah saja kamu hanya kasih dua puluh ribu. Jangan harap saat malam ada makanan. Uang dua puluh ribu hanya bisa beli makanan buat pagi tadi, sekarang malam kamu lapar ya kasih nafkah lagi,” seloroh Wulan. Vino membulatkan matanya mendengar ucapan Wulan. Ini belum ada satu bulan mereka menikah, dan dia sudah diperlakukan demikian oleh istrinya. “Dua puluh ribu itu banyak, Wulan. Kamu saja yang gak bisa mengatur,” hardik Vino. “Apanya yang banyak? Sekarang gas saja harganya delapan belas ribu, Mas. Beras mahal, tempe sekarang juga dua ribu, belum bumbu-bumbu lainnya. Sudah baik aku tadi memberimu sarapan,” jelas Wulan bertubi-tubi. “Pokoknya kamu saja yang gak bisa mengatur. Bahkan di luar sana ada yang diberi nafkah lima ribu sama suaminya,” ujar Vino. “Kalau kamu ngasih aku nafkah lima ribu, aku beliin kopi tiga ribu dan bayar parkir di pengadilan agama dua ribu,” jawab Wulan sambil menendang tudung saji dengan kencang hingga tudung saji itu menabrak tembok. Setelahnya Wulan ngacir begitu saja meninggalkan suaminya. Sudah malam-malam ngantuk tetapi malah diajak ribut. Seharian ini Wulan sudah gondok kepada suaminya yang hanya memberi nafkah dua puluh ribu. Pekerjaan Vino di bengkel milik cowok itu sendiri membuatnya memberi nafkah harian kepada Wulan. Akhir-akhir ini bengkelnya sepi membuat Vino hanya memberi nafkah sedikit. Namun, namanya perempuan, yang dipikirkan banyak sekali. Tentu saja nafkah dua puluh ribu tidak cukup, belum lagi bayar listrik dan lain-lain. Yang Wulan inginkan kalau bengkel sedang sepi, suaminya mencari pekerjaan sampingan lainnya, bukan hanya mengandalkan bengkel saja. “Dasar punya istri gak bisa apa-apa. Kerja gak bisa, cuma ngabisin duit suami,” maki Vino setengah berteriak. “Kamu kere kalau kamu lupa, jadi gak ada duit yang aku habiskan!” teriak Wulan tidak mau kalah. Wulan mengunci pintu kamarnya agar sang suami tidak masuk. Wulan menyesal dengan pikirannya yang sangat aneh. Dia selalu berpikir kalau seorang pewaris tidak bisa bekerja sendiri, tetapi nyatanya dia menikah dengan seorang perintis malah makan hati setiap hari. Dulu saat sebelum menikah, janji Vino akan membahagiakan dirinya. Sekarang jangankan bahagia, yang ada ngenes setiap hari. “Wulan, buka pintunya!” pinta Vino mengetuk pintu kamarnya. Pria itu juga menaik turunkan handle pintunya, tetapi tidak bisa terbuka. “Wulan, aku mau tidur,” ujar Vino lagi. “Tidur saja di luar!” titah Wulan. “Jangan durhaka kamu, Wulan. Aku suamimu, dan kalau aku memerintah kamu harus menuruti,” jelas Vino. Wulan menulikan pendengarannya, perempuan itu hanya bisa memukul-mukul bantal saking emosinya dengan Vino. Sok-sokan memerintah tetapi tidak bisa memberikan kesenangan untuknya. Andai waktu bisa diputar, Wulan tidak akan menikah dengan Vino. Beberapa hari lalu saat dia di jalan dibonceng suaminya naik motor dan bertemu Arsel, rasanya Wulan sangat malu. Mantannya naik mobil bagus sama cewek, tidur saja uangnya mengalir, sedangkan dia? Panas-panasan naik motor, dan tidur yang mengalir hanya iler. Di sisi lain, sedang ada persidangan menegangkan di rumah Arsel. Beberapa waktu lalu pintu kamar Ara diketuk brutal oleh Ayah dan Ibu mereka, pun saat ini mereka dipaksa turun untuk berbicara di ruang keluarga. Arsel mencubit tangan Ara yang berada di sampingnya, sedangkan Ara yang tidak terima dicubit langsung membalas Kakaknya. Jadilah mereka berdua cubit-cubitan. “Kenapa kita disidang kayak begini?” tanya Arsel. “Apapun yang terjadi, pokok ini salah kamu!” desis Ara mencubit lebih kencang tangan Kakaknya. “Aduh sakit, Ra … lama-lama cuwil dagingku!” pekik Arsel yang kesakitan. Ara langsung melepaskan cubitannya, perempuan itu kembali menatap orang tuanya. “Ayah, Ibu, ada apa kami dikumpulkan kesini?” tanya Ara. “Ara, setelah Ibu dan Ayah pikir-pikir, ada baiknya kalian berdua memang menikah,” ucap Joda. “Tidak, Bu!” pekik Ara dengan cepat. “Ara, dengarkan Ibu dulu!” pinta Joda. “Gak mau, Bu. Sampai kapan pun aku gak mau menikah dengan Mas Arsel. Kami ini adik Kakak, Bu. Meski bukan sedarah, tetapi aku sangat menyayangi Mas Arsel sebagai adik ke Kakaknya,” jelas Ara. “Kalau begitu ubah rasa sayang dari adik ke Kakak menjadi istri ke suami!” sahut Arsel yang saat ini senang. Ara beralih ke Ayahnya, “Ayah, aku gak mau menikah, Yah. Tolong!” rengek Ara memegang tangan Ayahnya. Arman memijat pelipisnya yang sakit. Sebenarnya dia juga tidak yakin memberikan anak perempuannya pada Arsel, tetapi takut kalau anak laki-lakinya malah nekat. “Ara, kalau aku menikah denganmu, kita bisa memperbaiki keturunan. Anak yang cerdas lahir dari Ibu yang cerdas. Aku cerdas, kamu cerdas, nanti anak kita kecerdasannya berkali-kali lipat. Sedangkan anak yang rupawan menuruni gen dari Ayahnya. Kamu jelek aku ganteng, anak kita nanti ganteng dan cantik,” jelas Arsel bertubi-tubi. Ara membulatkan matanya mendengar ucapan Kakaknya. “Aku gak jelek!” pekik Ara kencang seraya berdiri, perempuan itu tanpa merasa sungkan sama sekali langsung menubruk tubuh Kakaknya bermaksud agar Kakaknya penyet. “Aku akan menyerangmu ugal-ugalan!” teriak Ara terus menyerang dan menubruk Arsel. “Ara, jangan lakukan itu!” cegah Joda dan Arman bersamaan. Mereka mencoba memisahkan anak-anaknya, tetapi Ara terus menyerang Arsel membabi buta. Sedangkan yang diserang malah tertawa terbahak-bahak. “Ara, istighfar, Nak!” pinta Joda. “Mas Arsel yang harusnya istighfar, Bu,” jawab Ara bersungut-sungut. “Pokoknya aku gak mau menikah sama Mas Arsel,” tambah Ara yang kini kabur lagi. Ara berlari ke kamarnya dan menutup rapat pintunya, tidak lupa gadis itu juga mendorong laci kecil untuk diletakkan di pintu agar orang-orang di luar tidak bisa mendobraknya. Sungguh Ara tidak mau menikah meski dipaksa berkali-kali. Dengan cepat Ara mengambil tas besar dan memasukkan baju-baju ke tasnya. Tidak banyak baju, hanya baju buat kerja dan beberapa baju harian. Tekad Ara untuk minggat sudah bulat. Di rumah ini sudah tidak aman lagi, predator Arsel siap mengintainya dua puluh empat jam, sedangkan Ayah dan Ibunya sekarang ada di pihak Arsel. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi tekad Ara buat kabur tidak bisa diganggu gugat meski Ara sendiri tidak tau harus pergi kemana. “Selamat malam, Peri cantikku!” teriak Arsel saat melewati kamar Ara. “Selamat malam, Grandong,” jawab Ara yang juga berteriak. Ara bingung sekarang kabur lewat mana, pasalnya kamarnya ada di lantai atas. Mau terjun, dia masih sayang nyawanya. Mau kembali lewat bawah, takut tertangkap. Ara hanya mondar-mandir di kamarnya memikirkan cara yang tepat untuk kabur. Namun, otaknya kali ini buntu sekali. “Halah, nekat saja,” ucap Ara tiba-tiba. Perempuan itu menuju ke kanan dan membuka jendelanya lebar. Cewek itu melihat tiang bulat yang ada di samping jendela. Dengan sigap Ara melompat dan memeluk tiang itu untuk membawanya turun. Demi kabur dari Arsel, Ara rela seperti ini. Karena bagi Ara, pernikahan sekali seumur hidup. Dia tidak akan menyia-nyiakan kehidupannya menikah dengan orang yang tidak tepat. Arsel bisa tepat menjadi seorang Kakak, tetapi belum tentu pria itu tepat menjadi seorang suaminya. Pagi-pagi sekali, Arsel sudah terbangun dari tidurnya. Pria itu tersenyum cerah karena sudah siap menyambut pagi ini dengan calon istrinya. “Bangun pagi, mandi, melihat calon istri memasak, mengantar calon istri ke sekolah, lalu pergi bekerja. Istirahat kantor menjemput calon istri untuk makan siang bersama, lalu kembali ke kantor dan bekerja. Pulang disambut calon istri dan makan malam bersama,” oceh Arsel dengan senang. Harapan Arsel sudah tinggi tentang kehidupan yang menyenangkan. Arsel segera ke kamar mandi untuk mandi besar, karena semalam dia menyempatkan diri untuk bersolo karir. Cowok merindukan kawin ya begitu, belum ada pasangan pakai tangan sendiri. Setelah mandi, Arsel memakai baju koko berwarna putih untuk solat lebih dahulu. Otak Arsel memang harus dibersihkan, pasalnya setelah solat dia berniat tidak melepas baju kokonya untuk pamer kepada Ara kalau dia cowok soleh Alhamdulillah. Calon Ayah idaman untuk anak-anak mereka. Setelah solat, tanpa membereskan sajadahnya Arsel segera keluar kamar. Hidung Arsel bergerak-gerak seolah mencari sesuatu yang berbau. Ya … Arsel mencari aroma masakan, tetapi tidak ada sama sekali. “Bu, Ara sudah di dapur?” tanya Arsel menengok ke bawah kepada Ibunya yang tengah menyapu. “Gak ada, belum bangun mungkin,” jawab Joda. Arsel mengerutkan dahinya, tidak mungkin kalau Ara belum bangun, pasalnya gadis itu sangat rajin. Arsel menuju ke kamar Ara, saat mencoba membukanya, kamar itu terkunci rapat. Perasaan Arsel tiba-tiba tidak enak. “Ara!” teriak Arsel sambil menendang-nendang pintu. “Ra, Ara!” teriak Arsel lagi. Arsel mengintip ke lubang pintu, tetapi lubang itu gelap seolah ada yang menutupi. Dengan kekuatan dalamnya, Arsel mendobrak pintu kamar adiknya hingga pintu itu terbuka lebar. Arsel menatap ke penjuru kamar, tidak ada siapa-siapa di sana. Arsel ingin positif thinking kalau Ara di kamar mandi, tetapi barang-barang Ara di meja rias yang raib membuat Arsel tidak bisa berpikir positif lagi. “Ibu … Ara kabur!” teriak Arsel dengan kencang. “Bu, cepat panggil paranormal, orang sakti, dukun keramat, anak indigo, anak indohome, anak indomie sekalian!” teriak Arsel lagi yang kini kalang kabut karena tidak melihat Ara di kamarnya. Pria itu bagai anak kecil yang muter-muter saking paniknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN