Pukul enam pagi, Ara sudah cantik dan berada di kantin sekolahan yang masih tutup. Perempuan itu meski sudah dandan, tetapi masih sangat ngantuk. Saat dini hari kabur, Ara menuju ke masjid dan berlindung ke sana, setelah solat subuh perempuan itu naik ke pagar sekolah dan beristirahat di kantin, setidaknya tempat itulah yang aman untuk Ara. Saat ini Ara menyangga dagunya agar tidak tergeletak di meja kantin.
“Buah mangga baru dipetik, dicampur es sama blewah. Bu Ara cantik, kenapa masih pagi sudah di sekolah?” Seorang anak kecil berpantun membuat Ara membuka matanya.
“Alfath, kamu sudah datang?” tanya Ara saat melihat bocah gembul ginuk-ginuk dan sangat fres mendekatinya.
“Aku memang sering datang jam segini, Bu. Semakin cepat berangkat sekolah, semakin baik. Karena kalau berlama-lama di rumah, Mommy ngomel terus,” oceh Alfath bertubi-tubi.
Ara mengangguk kecil, Alfath murid yang paling Ara sayangi. Karena Alfath bocah paling aktif dalam pelajaran dan pintarnya di luar nalar. (Alfath di cerita Daddy, Minta Mommy!)
“Loh loh loh, Bu Ara. Kok Bu Ara punya kantong mata?” tanya Alfath memegang wajah Bu Ara.
“Ini sebenarnya kantong duit, Alfath. Tapi karena duitnya habis jadi kantong mata.” jawab Ara.
“Bu Ara, pasti semalam Bu Ara tidak bisa tidur. Bu Ara kan calon istrinya Om Arsel, pasti Om Arsel yang sudah ngapa-ngapain Bu Ara. Ayo ikut aku, Bu. Aku akan melindungi Bu Ara, akan aku ajak Om Arsel baku hantam sekarang juga. Mau baku hantam di lapangan ini boleh, di lapangan futsal boleh, atau dimana pun boleh,” seloroh Alfath menyisingkan lengan bajunya. Bocah itu sangat menggebu-gebu untuk membela Bu Guru tercintanya.
“Alfath, ini bukan karena Om Arsel kok. Lebih baik kamu ke kelas saja!” pinta Ara.
“Gak mau, Bu. Aku mau di kantin saja menunggu Ibu kantin datang,” jawab Alfath yang ikut duduk di samping Bu Ara.
Kalau soal makan, Alfath nomor satu. Dia adalah pelanggan tetap Bu kantin, kalau Alfath tidak datang berarti Alfath tidak masuk sekolah.
“Eh Alfath, kamu kan pernah diculik Om Arsel. Ceritain dong bagaimana kronologinya!” pinta Ara yang tiba-tiba penasaran saat Alfath diculik oleh Arsel. Pasalnya Arsel bilang kalau dia menculik anak rival bisnisnya, saat diculik bukannya takut, Alfath malah kesenangan.
“Ceritanya begini, Bu. Saat itu malam hari aku naik mobil-mobilan sendirian terus aku menangis karena sudah jauh dari rumah, terus ada mobil besar yang datang. Orang itu keluar dan membawaku ke mobilnya. Dan aku melihat cowok ganteng banget, ternyata itu Om Arsel,” seloroh Alfath.
Flashback On :
Seorang anak kecil tengah menangis seorang diri di jalanan yang sangat sepi. Saat sedang takut-takutnya, seorang pria keluar dari mobil dan menggendong tubuh Alfath. Pria asing berpakaian serba hitam itu memasukkan Alfath ke mobil. Alfath memberontak karena tidak mau dibawa.
“Woy, aku mau dibawa kemana, woy!” pekik Alfath terus memberontak.
“Diam!” titah pria asing itu sambil mengikat Alfath hingga tubuh Alfath kesusahan bergerak, setelahnya pria itu beralih ke bangku kemudi dan menjalankan mobilnya kencang.
“Woy lepaskan aku! Aku bukan kambing, jangan ikat aku!” teriak Alfath lagi.
Tidak ada yang menanggapi Alfath, hingga bocah itu menoleh ke sampingnya. Mata Alfath membulat sempurna ketika dia melihat pria yang sangat tampan.
“Waaah, tampan sekali,” puji Alfath segera menggeser tubuhnya dengan susah payah untuk mendekati Arsel.
“Om kok bisa tampan begini sih? Om kok hidungnya bisa mancung kayak perosotan sih? Alisnya juga tebal dan bulu matanya bagus. Om, bagaimana caranya ganteng?” tanya Alfath bertubi-tubi dengan senyum sumringah di bibirnya.
Arsel menarik napasnya dalam-dalam untuk menyetok kesabarannya menghadapi anak rival bisnisnya. Tujuan Arsel menculik Alfath untuk mengancam Daddy Alfath agar memberikan sahamnya kembali.
“Om kasih aku tips tampan!” pinta Alfath lagi mendesak.
“Kamu itu sedang diculik, jadi berdoalah biar diberi keselamatan!” titah Arsel pada Alfath.
“Hah? Jadi aku beneran diculik?” tanya Alfath membulatkan matanya.
“Iya,” jawab Arsel berharap kalau anak kecil itu takut. Namun, rupanya Arsel salah menilai.
“Aku pasti selamat, Om. Aku yakin doa orang tuaku manjur. Setiap hari Mommyku berdoa demi keselamatan anak-anaknya, berdoa anaknya agar soleh solehah, selamat dunia akhirat. Aku juga berdoa Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina 'adzabannar, yang artinya wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka. Jadi aku tidak takut diculik,” seloroh Alfath bertubi-tubi.
Kini Arsel menculik Alfath, tetapi dia malah diceramahi. Arsel mengusap telinganya yang panas. Hingga tidak berapa lama mereka sampai di sebuah rumah besar Arsel. Lagi dan lagi Alfath menatap kagum.
“Waaah … rumahnya besar banget. Aku mau main sepak bola di sana, Om. Aku juga mau main layang-layang, boleh kan, Om?” tanya Alfath bertubi-tubi.
“Bawa bocah ini ke gudang dan ikat dia!” titah Arsel kepada orang suruhannya yang langsung dilaksanakan. Arsel menyuruh memasukkan Alfath ke gudang karena dia tidak mau menanggapi ocehan bocah itu.
“Om, aku mau ikut Om saja!” pekik Alfath. Namun, dia sudah digendong oleh pria asing dan dibawa ke gudang.
“Om, tolong aku, Om!” teriak Alfath meminta tolong pada penculiknya.
Arsel yang mau masuk ke rumahnya pun kini berbelok menuju ke gudang untuk melihat Alfath apa benar diikat dengan sempurna. Tadi saat mau dibawa ke gudang, Alfath terus berteriak meminta tolong, tetapi saat sampai gudang, Alfath malah tertawa-tawa.
“Waaah, ada tikus. Aku mau menangkapnya!” pekik Alfath senang. Bocah yang sudah didudukkan dan diikat di kursi itu beranjak kabur hingga jatuh tergelempang bersama kursinya.
“Tikus, jangan kabur!” teriak Alfath yang sudah jatuh masih memikirkan cara menangkap tikus.
“Alfath, kamu itu sedang diculik. Kenapa masih mikirin tikus?” tanya Arsel membentak Alfath.
“Kan aku sudah bilang kalau aku gak takut diculik,” jawab Alfath.
“Lepaskan ikatan dia!” titah Arsel pada orang suruhannya. Orang itu langsung melepaskan tali Alfath, sedangkan Arsel langsung menggendong bocah itu dan membawa ke rumah utamanya. Percuma bocah itu diikat di gudang kalau tidak ada takut-takutnya.
Saat memasuki rumah besar Arsel, Alfath menatap foto-foto di dinding. “Loh, ada Bu Ara,” batin Alfath.
“Kamu duduk di sini sampai orang tuamu datang!” titah Arsel mendudukkan Alfath di sofa.
“Om, aku mau menggambar!” pinta Alfath. Biar Alfath anteng, Arsel memberikan bukunya dan bolpoin untuk bocah itu.
“Om, aku mau makan!” pinta Alfath.
“Om, aku mau main layang-layang. Om bisa buat layang-layang gak?”
“Sebenarnya tidak apa-apa tali layangan putus, yang penting tali silaturahmi tidak putus. Nah biar tali silaturahmi tidak putus, minta uang Om seratus,” oceh Alfath.
Napas Arsel memburu mendengar ucapan Alfath. “Sudah lah, Alfath. Kamu pulang saja! Aku gak jadi menculik kamu,” ujar Arsel menarik paksa Alfath dan membawanya keluar rumahnya.
Arsel yang menculik, tetapi cowok itu yang tidak sanggup dengan tingkah Alfath yang di luar nalar. Arsel kena mental sendiri setelah menculik bocah itu.
Flashback Off …
Ara tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Alfath yang sangat menggelikan. Guru-guru di sekolah saja kewalahan karena ulah Alfath, apalagi Arsel yang kesabarannya sangat minim, sudah pasti cowok itu tidak sanggup.
“Bagus Alfath, kamu memang pintar,” puji Ara. Alfath menepuk dadanya beberapa kali dengan bangga.
“Aku memang pintar, Bu,” jawab Alfath.
“Arsel memang harus diberi pelajaran. Dia jahat banget sudah menculik kamu, dan dia juga jahat sama Ibu,” oceh Ara.
“Tapi Om Arsel gak jahat sama Bu Ara deh kayaknya, Bu. Aku ingat saat diberi buku Om Arsel, aku melihat ada foto Bu Ara di sana,” jawab Alfath.
Ara tercekat mendengar penuturan Alfath. “Mana mungkin ada fotoku?” tanya Ara.
“Iya, Bu. Ada juga gambaran tangan wajah Bu Ara. Pasti Om Arsel yang menggambarnya. Kalau gitu aku gak jadi baku hantam sama Om Arsel karena Om Arsel sayang sama Bu Ara,” jelas Alfath bertubi-tubi.
Ara menggeleng pelan, dia tetap tidak percaya kalau Kakaknya sayang dengannya. Mungkin sayang sebagai adik iya, tetapi tidak dengan sayang sebagai laki-laki ke wanitanya.
Di sisi lain, Arsel sudah frustasi dengan hilangnya sang adik. Dia sudah mencari Ara kemana-mana, tetapi gadis itu tidak ketemu. Pun dengan nomor Ara yang tidak aktif. Arsel tidak pernah menangis, pun saat ditinggal mantannya menikah, dia hanya emosi dengan Wulan. Namun, kali ini Arsel menangisi Ara.
“Bu, cepet bantu aku cari Ara, Bu!” pinta Arsel kepada Ibunya.
“Aku tidak bisa hidup tanpa dia,” rengek Arsel.
“Halah, itu ucapan buaya tanpa buntut. Dulu saat sama Wulan, kamu juga bilang kalau kamu gak bisa hidup tanpa Wulan. Tapi saat sudah putus, kamu tetap hidup,” sindir Arman membuat Arsel semakin sedih. Tidak bisakah orang tuanya membantunya lebih dahulu?
“Iya ini Ibu sudah nyari dan tanya ke teman-teman Ibu apa melihat Ara. Kalau mereka melihat Ara, Ibu meminta untuk memberitahu,” jelas Joda.
“Kelamaan, Bu. Aku kan sudah bilang panggil dukun keramat saja biar Ara cepat ketemu,” rengek Arsel.
“Sabar, Arsel!” pinta Joda.
“Gak bisa sabar, Bu. Pokok pengen ketemu Ara secepatnya,” rengek Arsel lagi bagai anak kecil yang meminta sesuatu.
“Mas, gimana ini, Mas?” tanya Joda kepada suaminya.
“Memang sudah tidak terselamatkan anak ini,” jawab Arman.
Ting tong!
Suara bel berbunyi membuat Arsel segera menatap ke sana, “Pasti ini Ara,” ujar Arsel dengan semangat.
“Arsel, kalau Ara pasti sudah masuk,” ucap Joda.
Arsel yang sudah khawatir tentang keadaan Ara pun tidak mendengar ucapan Ibunya, pria itu berlari menuju pintu utama dan membukanya. Ternyata benar yang dikatakan Ibunya, kalau Ara yang datang pasti langsung masuk. Sekarang di hadapan Arsel adalah wanita penyumbang kekesalan terbesarnya.
“Tidak menerima mantan ke rumah,” ujar Arsel menutup pintu dengan kencang.
“Arsel, tolong buka pintunya!” pinta Wulan yang kini mengetuk pintu rumah mantan kekasihnya. Arsel tidak menjawab, tetapi cowok itu tidak kunjung pergi dari pintu.
“Arsel, aku mau bicara baik-baik denganmu. Buka pintunya, Arsel! Gak ingat kah kamu kalau kita sudah tiga tahun bersama? Setidaknya kasihan dengan aku yang sudah datang ke sini,” ujar Wulan dari balik pintu.