Mesir 14:00 waktu setempat
Mata kuliah Selma baru saja selesai. Saat ini Ia sedang berada diperpustakaan kampusnya. Berkutat dengan laptop dengan buku tebal yang ada disebelahnya. Ia mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan lusa.
"Assalamualaikum, Selma."
Selma mengangkat wajahnya dan mendapatkan wajah Nandra yang tengah tersenyum senang. "Waalaikumsalam, Kak," jawab Selma.
"Sedang apa kamu?" tanya Nandra yang duduk dihadapan Selma.
"Lagi kerjain tuhas, Kak."
"Emm, perlu bantuan?"
"Tidak usah, terima kasih."
Nandra mengeluarkan 1 tempat bekal yang ia bawa dari apartemennya "Selma. Ini untuk kamu makan. Tadi saya membuatnya sebelum berangkat kuliah."
"Terimakasih, Kak. Nanti aku makan deh. Oh iya? Kelasmu sudah beres?” tanya Selma.
"Alhamdulilah sudah, Sel."
Selma mengangguk dan membereskan semua peralatan dan menyisakan buku yang tadi ia pakai.
"Sudah beres?" tanya Nandra.
"Emm … belum sih, tapi ini materinya ada di buku satu lagi," kata Selma.
"Baiklah. Mau ikut saya jalan-jalan gak?"
Selma melihat jam yang ada di pergelangannya."Boleh deh, Kak. Tapi jangan lama-lama ya."
"Oke."
Nandra berjalan ke luar kampus dan menuju parkiran. Selama di mesir Ia dikirimkan mobil oleh orangtuanya. Entah Selma tidak tau asal muasal orangtua Nandra itu. Yang pasti Selma menebak bahwa keluarga Nandra kaya raya.
"Ayo masuk." Nandra membukakan pintu untuk Selma.
"Mau kemana, Kak?" tanya Selma yang melihat Nandra mulai melajukan mobilnya.
"Liat nanti aja. Tidur dulu. Perjalanannya lumayan."
"Emm … iya, Kak."
Menghabiskan waktu kuranglebih 1 jam perjalanan akhirnya, mereka sampai ke tempat yang di tuju, yaitu Menara Kairo atau The Cairo Tower.
"Selma, ayo turun." Nandra membukakan pintu mobilnya untuk Selma.
Selma memperhatikan sekelilingnya. Tempat yang cukup asing dipengelihatannya. Karena mungkin ia kurang update tentang wisata-wisata yang ada di Mesir ini. Sepulang kuliah ia pasti langsung menuju apartemennya. Tak pernah jauh-jauh, jika weekend ia hanya jalan-jalan di alun-alun kota bersama teman-temannya.
Setelah berjalan kurang lebih 500 meter. Akhirnya mereka sampai di tempat pembelian tiket. Barang bawaan setiap pengunjung pasti di periksa oleh petugas. Untuk menghindarkan hal-hal negatif yang terjadi.
"Kita ada dimana, Kak?" tanya Selma, yang mengikuti langkah Nandra disampingnya.
"Masa kamu gak tau tempat ini?" tanya Nandra. Selma menggeleng.
"Nanti saya kasih tau. Ayo sebelum waktunya habis."
Penasaran Selma pun terbayar dengan pemandangan yang ia lihat sekarang ini. Tempat yang berada strategis di jantung kota Zamalek yang berdekatan dengan Tahrir sguare, dan terdapat juga sebuah tempat yang bernama The Cairo Opera House.
Tak lupa dari atas Menara, Selma bisa melihat pemandangan sungai Nil yang membelah Kota Kairo, dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang lampu-lampunya dapat sekaligus mempercantik keindahan Kota Kairo. Di tambah saat ini adalah waktu yang sangat pas untuk menyaksikan tenggelamnya matahari. Menjadikan suasana yang sangat romantis.
Nandra menghampiri Selma yang tengah terkagum-kagum atas lukisan pemandangan indah yang Allah ciptakan.
"Kamu suka, Selma?" tanya Nandra.
Selma mengalihkan pengelihatannya kearah Nandra yang ada disampingnya. "Masyaallah, Kak … aku suka banget." Jilbab lebar Selma terbawa oleh irama angin yang datang.
"The Cairo Tower, atau orang sini menyebutnya Borg Al Gezira. Indah bukan?" kata Nandra yang tersenyum juga melihat wajah Selma yang sangat bahagia.
"Indah banget, Kak. Kenapa baru ngajakin aku sekarang," kata Selma.
"Kemarin-kemarin kamu sibuk sama tugas. Kebeneran besok kamu libur, jadi saya ajak sekarang."
Suara Adzan sudah memanggil. "Sel, sebaiknya kita shalat dulu. Nanti kita lanjut lagi buat liat pemandangannya."
"Oke, Kak."
Setelah menunaikan kewajibannya. Sekarang mereka tengah berada di kafe dengan tempat yang sangat strategis untuk melihat pemandangan malam kota Kairo.
Kilauan lampu-lampu yang berasal dari gedung-gedung, serta rumah para penduduk dapat memanjakan mata siapapun yang berada di tempat ini. Dengan udara yang cukup dingin tak menjadikan halang untuk tetap bertahan lama berada di tempat ini.
"Sepertinya, Kak Nandra hapal betul ya, tempat-tempat yang ada di sini."
"Belum semua pelosok Mesir saya jelajahi."
"Belum? Berarti akan dong ya? Hahaha …."
Nandra tersenyum mendengar tawa Selma. “Iya, nanti kita jelajah bersama."
"Selma?" panggil Nandra.
"Ya?"
"Masih adakah tempat saya untuk bersinggah dihatimu?"
Bungkam dan diam yang Selma lakukan. Entah apa yang harus dijawabnya saat ini. Kenapa Nandra tiba-tiba berbicara seperti ittu kepadanya? Pikirannya kembali pada kejadian satu tahun yang lalu. Dimana ia menjanjikan kepada seseorang untuk menunggu. Dilema hatinya kian membuncah, disaat ada seseorang yang mengatakan seperti itu. pikirannya kembali pada sosok yang 'sangat' ia rindukan. Tapi keberadaannya sangat jauh darinya.
Lalu kini dihadapannya ada sosok yang telah mengisi kesehariannya dengan canda dan tawa selama satu tahun belakangan ini, dan sosok itu sangat ia banggakan dimatanya. Ia tidak pernah menyakiti hatinya, tak pernah berbicara 'dingin' padanya. Yang ada hanya canda dan tawa yang ia berikan, dan berakhir menimbulkan kenyamanan bagi Selma tersendiri.
Melihat Selma Diam karena ucapannya, Nandra menjadi tak enak hati melihatnya.
"Selma?" panggilnya dengan nada lembut.
"I—iya, Kak?"
"Apakah kamu baik-baik saja?" tanya Nandra hati-hati.
"Iya, Kak."
"Maaf, soal yang tadi saya bicarakan. Tapi, jika kamu merasakan apa yang saya rasakan, saya harap kamu tau apa yang harus kamu lakukan."
Mendengar kata yang di ucapkan oleh Nandra membuat Selma semakin berpikir. Sebenarnya, apa yang di maksud dari kata-kata itu?
Selma tidak bisa jika harus terus begini. Hatinya sudah di kejar dengan bayang-bayang seseorang yang berada jauh disana.
Matanya sudah perih jika mendengar dan memikirkan tentang dia. Selma mengarahkan pandangannya kearah pemandangan yang disuguhkan. Ia tak mau jika Nandra terus menanyakan seperti itu.
"Hemm … Maaf, Kak. Aku harap kita tidak usah membahas hal yang seperti ini,” kata Selma dengan suara yang bergetar.
"Sel, kamu menangis?"
Selma menggeleng menghapus air mata yang ada di pelupuk matanya, dan kini ia menghadap kearah Nandra. "Eng—engga, Kak, aku baik-baik aja."
Hatinya terlalu lemah jika terus saja begini.
"Kak, boleh antar aku pulang?"
"Kamu tidak ingin berlama di sini?"
"Tidak baik berdua berlama-lama. Bukan waktunya kita untuk berdua-dua, takut ada fitnah. Apalagi kita lagi di Negara orang."
Nandra mengangguk. Lantas mereka pergi dan pulang ke apartemen masing-masing.
…..
Indonesia, 08.00 waktu setempat
Gibran menjalani hari-hari nya seperti biasa. Namun sikap dingin yang ada pada dirinya kian menambah. Ia tak pernah berbicara kepada siapapun. Ia hanya mengeluarkan kata seperlunya yang ia mau.
Saat ini ia sedang berada di kantor, setelah mengikuti apel pagi tadi, kini ia tengah duduk di kursi kebesarannya. Sedari tadi yang ia lakukan hanya menekan icon surat yang ada di ponselnya, setelah itu kembali dan menekan icon tersebut. Entah apa faedah yang Gibran lakukan.
Ketukan di pintu ruangannya terdengar.
"Masuk," katanya dengan suara dingin andalannya.
"Permisi, Pak, ini ada berkas kasus yang harus segera Bapak tanda tangani." seorang polwan cantik berjalan dengan tatapan menggoda kearahnya.
Gibran sendiri tak suka jika ada perempuan yang seperti itu. Menurutnya itu adalah hal yang tidak wajar untuk perempuan.
"Hem." Gibran berdehem dan mengisyaratkan untuk meletakan berkas itu ke mejanya.
"Pak."
"Keluar! " polwan tersebut langsung terbirit-b***t berjalan kearah luar ruangan Gibran.
Gibran berani seperti itu, karena pasti akhirnya perempuan tersebut menggodanya.
Saat ini Gibran sudah di angkat menjadi pemimpin tertinggi yang ada di kantor tempat ia dinas.
Awalnya ia hanyalah tangan kanan seorang komandan yang memimpin kantornya dulu. Tapi kini beliau telah meninggal dunia. Pak Dudi, panggilan Gibran kepada atasannya. Sebelum meninggal dunia, beliau menyarankan Gibran 'tangan kanannya' untuk menjadi pemimpin penggantinya. Dengan melalui berbagai proses yang Gibran jalankan dan berakhirlah ia menjadi pemimpin dikantornya sekarang ini.
"Bran, nanti ada kunjungan dari pusat."
"Kebiasaan."
"Hehehe maaf, buru-buru lagian tadi ada telepon mendadak banget dari pusat."
"Hemm."
"Astagfirullah, Bran. Bapak Gibran Abraham yang terhormat. Saya ingin memberitahu bahwa nanti jam makan siang kantor dari pusat akan mengunjungi kantor kita," kata Ibdan dengan suara yang dibuat sesabar mungkin.
"Udah tau," jawabnya.
"Terus gak ada persiapan apapun gitu?" tanya Ibdan.
"Siapin aja apa yang harus disiapin." Ibdan mencerna kata-kata apa yang diucapkan Gibran.
"Udah sih, gak ada yang harus disiapin. Kantorkan tiap hari bersih, kinclong, aman, dan sejahtera. Terus laporan-laporan tiap hari berjalan lancar. Urusan catering udah orang dapur yang urus, terus … emm, gue rasa udah semua," kata Ibdan tanpa kalimat formalnya.
"Udah? Gak perlu repot"
"Bran, boleh gak?" Gibran menyerit atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibdan.
"Apa?"
"Ngitung kata yang keluar dari mulut lo! " setelah mengucapkan kata seperti itu. Ibdan berjalan kearah luar ruangan Gibran tanpa dosa.
Gibran kini melihat jam yang menempel ditangannya. Baru pukul 9 pagi, jika ia menghubungi Selma, pasti keadaan di sana masih sangat pagi. Apalagi sekarang adalah hari senin, hari yang paling sibuk. Takut, jika ia mengganggu aktivitas Selma di sana.
Dengan keadaan mood yang setengah-setengah ia mulai mengerjakan berkas yang sudah di kirim bawahannya untuk ditandatangani.
….
Kunjungan dari kantor pusat baru saja berakhir. Orang-orang berlalu lalang membereskan tempat yang baru saja di pakai acara pertemuan tadi. Gibran berdiri diam mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. Sesekali orang yang lewat dihadapannya membungkukkan badannya, memberi hormat kepada Gibran.
Setelah merasa bosan Gibran kembali berjalan kearah ruangannya. Jam menunjukan pukul 5 sore, waktunya pulang dinas dan bagian malam nanti ada Putra yang mengurusi kantornya.
Sesampainya di rumah, ia langsung mencari Fatma, yang ternyata sedang memasak untuk makan malam. Gibran berjalan santai dan memeluk Fatma dengan lembut dari belakang. Inilah yang sering ia lakukan jika sepulang kerja, rasa lelah dan letihnya hilang jika ia memeluk ibunya.
"Assalamualaikum," bisik Gibran.
"Wa'alaikumsalam," jawab Fatma.
"Kebiasaan deh, uminya lagi masak. Makannya cepet nikah biar ada yang di peluk," kata seseorang yang ada di belakang Gibran. Siapa lagi kalau bukan Haidar, ayahnya.
"Abi, sirik aja," ucap Gibran santai.
"Mandi dulu sana," suruh Fatma yang sedang memotong sayuran.
"Tardulu mi, udah sholat ini," ucap Gibran yang enggan melepaskan pelukannya.
"Bran, nanti kamu pergi ke pesantren ya, di sana ada kunjungan dari mentri,” ucap Haidar.
Gibran melepaskan pelukannya, menyalami tangan ibunya dan juga ayahnya. "Gibran baru beres pertemuan di pusat tadi."
"Gimana lancar?"
"Alhamdulillah lancar."
"Yasudah biar Abi saja." Gibran mengangguk lantas ia pergi ke kamarnya.
Makan malam sudah ia lewati. Kini ia sedang berada di balkon kamarnya. Kembali berpikir untuk menghubunginya atau jangan.
Setelah lama berpikir akhirnya ia memilih menghubungi Selma juga.
Membawa laptop dan duduk di atas kasurnya. Ia mencoba menghubungi Selma.
Tak lama wajah Selma pun muncul di layar laptopnya. Senyum Gibran terpancar dari wajahnya.
Jika di lihat dari keadaan sekitar Selma, Gibran menebak jika Selma sedang berada di perpustakaan, dimana rak-rak buku menjadi latar tempat Selma.
Selma melambaikan tangannya. "Assalamualaikum,” sapanya sambil tersenyum.
Senyum Gibran semakin melebar, ia pun melambaikan tangan kearah laptopnya. "Waalaikumsalam."
Keinginannya sudah terpenuhi ingin melihat wajah Selma yang sangat ia rindukan. Selama satu tahun belakangan ini, yang Gibran lakukan hanyalah menukar kabar lewat pesan w******p.
"Kak, ngapain liatin terus?" tanya Selma, karena melihat Gibran hanya memandang kearahnya tanpa mengeluarkan satu katapun.
"Emm, enggak. Kamu lagi apa? " tanya Gibran, tidak lupa dengan senyumnya.
Selma menatap sekelilingnya. "Selma lagi diperpustakaan kampus, Kak."
"Tugasnya banyak ya? " tanya Gibran.
"Lumayan sih, hehehe …."
Senyum di wajah Gibran semakin menjadi di saat mendengar suara kekehan Selma.
"Kak, di situ sudah malamya?” tanya Selma dengan wajah murung.
"Masih jam 8 kok, memang kenapa kok mukanya murung gitu?"
"Tadi aku ngehubungin Bang Robby, tapi gak di angkat," kata Selma.
"Robby mungkin lagi sibuk, dia sudah jadi CEO sekarang."
"Iya, tapi seengganya jam segini dia udah pulang," wajah Selma semakin murung.
"Udah dong jangan sedih, jadi serasa pengen nyusulin kesana nih, biar kamu gak sedih lagi."
Ya, inilah Gibran. Sosoknya yang telah berubah menjadi hello kitty jika ada dihadapan Selma. Namun jika di hadapan orang lain, wajah datar nan dingin pasti ia tunjukan. Entah kenapa ia bisa menjadi seperti ini. Yang pasti beruntung lah bagi Selma karena bisa dispesialkan oleh sosok Gibran si tembok berjalan.
"Kok aku kenal bonekanya ya?" tanya Selma.
Wajah Gibran menunduk kearah pangkuannya. Ternyata itu adalah boneka Selma yang menemaninya selama satu tahun ini. Gibran jadi panik dibuatnya, pasalnya ia belum pernah memberi tahu kalau boneka Selma ada padanya.
"Masa sih? Ini punya Nafasya," alibi Gibran.
"Perasaan Nafasya gak suka boneka deh," pikir Selma di sebrang sana.
"Bener itu boneka Selma ya?" kata Selma dengan nada bercandanya.
"Kalau iya memang kenapa?”
"Ya … Memang Kak Gibran dapet dari mana? Mana mungkin punya boneka, warna pink lagi."
"Iya. … iya ini punya kamu."
"Ya Allah … Kak, kok bisa sih?"
"Ya bisa lah, apaan sih yang gak bisa. Nunggu kamu aja kuat, apalagi cuma dapetin boneka kaya gini."
"Idih gombalnya, gak baik kak ngegombal ke-yang bukan mahramnya …. "
"Nanti juga halal."
"Nanti bisa jadi kapan-kapan, Kak. Jadi, itu belum pasti waktunya. "
"Aku yakin kok, akukan sudah bilang sama Allah buat jadiin kamu huruf iqlab di hati aku."
"Hemm maksudnya?" tanya Selma mencerna kata-kata yang di lontarkan oleh Gibran.
"Kamu tau huruf iqlab?"
"Iya 'ب'. Cuma satu.. "
"Nah, seperti itu juga kamu, sama seperti huruf iqlab, cuma satu di hati aku."
Di sebrang sana Selma senyum-senyum tidak jelas.
Ia mengalihkan pandangannya kearah buku-buku yang ada di sebelah mejanya, mengambil dan menutup muka nya yang sudah memerah.
"Kok mukanya di tutupin?" tanya Gibran.
Selma menaruh buku yang menutupi wajahnya, dan menghadap kembali kamera laptopnya.
"Kamu udah selesai kuliahnya?"
"Udah dari tadi sih, aku baru beres dari masjid tadi, terus di lanjut kesini, beresin tugas."
"Di situ jam berapa?"
Seperti nya Selma sedang melihat jam yang ada dipergelangan tangannya. "Jam setengah lima, Kak."
"Kamu biasanya kapan pulang?"
"Beres ngerjain tugas"
"Yaudah kerjain dulu tugasnya. Aku liatin dari sini. "
"Gimana aku mau ngerjain tugas, laptopnya juga cuma muncul wajah kakak. "
"Assalamualaikum Selma." samar-samar Gibran mendengar suara sapaan dari arah laptopnya.
Dan benar Selma menjawab salam itu, seperti nya suara laki-laki.
"Waalaikumsalam Kak, sudah pulang?"
"Alhamdulillah sudah beres kelasnya."
Gibran mendengarkan percakapan mereka. Entah mengapa, mendengar seperti itu membuat hati Gibran tersulut emosi, ingin sekali saat ini ia melabrak laki-laki yang berani mendekati Selma. Namun apa daya, jarak yang memisahkan.
"Ya Allah maaf Kak Gibran, aku lupa. Hehehe …."
"Kamu sama siapa?" tanya Gibran.
"Aku lagi sama Kak Nandra."
"Gak baik berduaan, bukan muhrim."
"Iya, Kak Selma ingat kok."
"Jangan lupa Selma, ada aku yang selalu menunggu kamu. Aku berharap semoga Allah tidak lupa dengan do'a yang selalu aku panjatkan."
"Kak Gibran do'a apa? " tanya Selma.
"Aku berdoa. Semoga nanti aku bisa jadi Imam kamu, untuk berjalan bersama menuju surganya Allah, dan semoga penantian aku selma ini gak pernah sia-sia untuk menunggu bidadari dari Allah yang di kirim buat aku yaitu, kamu … "
"Masyaallah, Kak."
"Semangat buat ngerjain tugasnya, biar bisa cepet-cepet pulang ke tanah air."
"Oke, Kak. Doakan Selma terus yaa."
"Pasti. Asalamualaikum, Selma."
Setelah mendapatkan jawaban salam dari sana Gibran langsung menutup laptopnya.
"Aku berharap Sel, semoga penantian aku selma ini gak pernah sia-sia."