Mesir 14.00 waktu setempat
Suhu sekitaran 8° celcius, membuat Selma enggan membangunkan tubuhnya dari atas kasur. Ba'da subuh tadi, Selma terbangun membereskan isi apartemennya, dan kembali melanjutkan tidur. Suhu udara yang dingin ditambah dengan keadaannya yang sedang mengalami gejala dismenore membuat kemagerannya bertambah.
Hari minggu seperti ini, sangat cocok untuk berjalan-jalan sekaligus refreshing otak.
Namun, karena suhu yang terlampau dingin membuat Selma enggan beranjak dari dalam selimut.
Cuaca yang mendung, sangat mendukung untuk melanjutkan tidurnya. Tetapi ada sebuah getaran yang berasal dari ponsel Selma. Selma mencoba mematikan ponselnya. Namun, getaran itu datang bertubi-tubi.
Dengan malas Selma membuka ponselnya. Cahaya yang berasal dari benda itu, membuat mata Selma menyerit. Ia pun melihat nomer siapa yang telah mengganggu acara tidurnya hari ini. Ternyata nomor Indonesia yang mengirimkan pesan w******p.
Today
Assalamualaikum calon istri
Sudah bangun? Jam berapa di sana? Pasti masih pagi ya?
Sudah sarapan?
Bagaimana kabarnya?
Kamu gak kuliahkan?
Kok lama balasnya? Belum bangun ya?
Bangun dong. Masa calon ibu dari anak-anakku pemalas sih.
Selma?
Waalaikumsalam
Yang mana dulu nih yang di jawab?
Nah, di balas jugakan.
Kamu sudah bangun?
Sudah dong, Kak. Kalau belum gak mungkin bales chat.
Iya santai aja balesnya, kok marah-marah.
Lagi apa? Kamu sehatkan?
Lagi makan lampu.
Kurang sehat, Kak.
Serem amat.
Aku skype ya ….
No! Mukaku berantakan. Aku lagi males kak.
Biarin gak ngurangin cantiknya kok. Di buka laptopnya yaa ….
Nanti aja Kak, aku mandi dulu deh. Nanti siang aku hubungin lagi ya.
Oke, aku ingat janji kamu.
Jangan lupa sarapannya, biar gak sakit
Selma menutup room chatnya dengan Gibran. Ia geleng-geleng sendiri melihat sikap Gibran yang telah berubah. Seketika, ingatannya kembali pada 3 tahun yang lalu dimana ia disakiti oleh Gibran dengan sikap dan perkataannya. Tetapi, Selma mencoba membuka lembaran baru dihatinya dan memaafkan semua kesalahan Gibran yang sudah dilakukan padanya. Semoga jalan yang Selma lakukan selama ini, tidak pernah sia-sia.
Ketukan di pintu apartemen menggema. Selma bangkit dari Kasur, membereskan bajunya dan mengambil jilbab. Setelah merasa rapi, ia mencoba membuka pintu apartemennya dan ternyata itu adalah Nandra.
"Assalamualaikum, Selma," sapa Nandra dengan senyum sumringah.
"Wa-waalaikumsalam, Kak."
"Kamu kenapa? Kok mukanya pucet?" tanya Nandra dengan nada khawatir.
"Emm … Aku gak apa-apa, mungkin kurang istirahat aja," kata Selma. Wajahnya celingak-celinguk mengamati sekitar luar apartemennya.
Nandra mengikuti arah pandang Selma. "Kamu nyari seseorang?" tanya Nandra penasaran.
"Engga. Aku gak enak aja, kita di sini cuma berdua. Eh, Kakak ada perlu kesini?" tanya Selma yang ingin segera menuntaskan percakapannya dengan Nandra.
"Saya cuma mau ajak kamu jalan-jalan, barangkali kamu mau ikut dengan Saya," ucap Nandra dengan hati-hati.
"Haduh, Bagaimana ya, Kak, Aku belum rapi-rapi soalnya," kata Selma yang mengecilkan suaranya di ujung kalimat.
"Yaudah kamu rapi-rapi dulu, saya tunggu di … " Nandra melihat sekelilingnya, "Di situ ya." tunjuk Nandra ke arah sofa yang melingkar dekat balkon, sebelah kamar apartemen Selma.
"Emm. Oke deh, Kak. Aku beres-beres dulu ya."
Setelah mendapatkan anggukan dari Nandra, Selma menutup pintu apartemennya dan bersiap-siap.
…..
Pandangan Nandra tak lepas dari kaca balkon. Pemandangan kota Kairo yang terlihat sangat Indah memanjakan matanya. Tangannya tak henti bermain kotak beludru hitam. Senyumnya pun terus mengembang diwajahnya. Ia sudah tak sabar menunggu Selma yang sedang bersiap-siap.
Mendengar suara pintu yang tertutup, refleks Nandra menutup kotak yang ada ditangannya dan memasukkannya kedalam saku jaketnya. Ia langsung berdiri dan menghampiri Selma.
"Selma sudah selesai?"
"Sudah, Kak. Ayo kita berangkat, " ajak Selma.
Mereka pun berjalan beriringan menuju luar apartemen.
"Lah, jaket kita samaan," kata Selma yang mengintruksi.
Mata Nandra melihat kearah jaket yang di pakai Selma dan jaket yang dipakainya. "Iya ya? kok bisa begini ya? Apa jangan-jangan Selma ngikutin saya ya?"
"Aku gak ngikutin. Tapi kok bisa sama yaa? Hehehe …" kata Selma dengan sedikit tertawa diakhir kalimat
"Mungkin udah jodoh kali." Seperti tersadar sesuatu mendengar kata jodoh, Selma menggelengkan kepalanya. Perubahan ekspresi wajah Selma begitu kentara dipandangan Nandra.
"Maaf jika ucapan saya tadi, menyinggung kamu."
"Emm ... Tidak apa-apa, Kak. "
Selma memasukan tangannya ke dalam saku jaket yang ia kenakan, dan pandangannya menatap sekeliling jalan yang mereka lewati. Agar menghindar tatapan dari Nandra.
"Selma?"
"Iy—iya, Kak?"
"Kamu seperti menghindari saya akhir-akhir ini, ada apa?" tanya Nandra dengan sedikit hati-hati.
"Atau kamu lagi sakit? Mukanya kelihatan pucet."
"Nggak, Kak, aku baik-baik saja, " ucap Selma tak lupa dengan senyumannya.
'Ini Sel, yang saya harapkan. Senyum kamu selalu ada untuk saya.' batin Nandra
Ditemani dengan obrolan ringan, akhirnya Selma menemukan tawanya bersama Nandra. Mereka berjalan menuju alun-alun kota Kairo, atau sering disebut dengan nama Tahrir square. Hanya membutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki, dan mereka sampai di alun-alun kota. Mendung yang menjadi latar pemandangan Tahrir square ini. Namun, tak menjadikan kehindahannya luntur.
Sekitaran alun-alun saat ini, di isi oleh para keluarga yang sedang mengisi weekend. Anak-anak kecil yang berlarian. Bahkan muda mudi pun melakukan kegiatan liburannya di Tahrir square ini. Suhu yang sangat dingin tak menjadikan penghalang mereka untuk bermain bersama sanak keluarganya, ataupun hanya sekedar refreshing.
"Sepertinya tempat ini tidak akan pernah sepi," ucap Selma yang memperhatikan sekelilingnya.
"Tempat ini selalu didatangi pengunjung setiap saatnya. Mungkin sejarah tempat ini yang menjadikan mereka tertarik untuk mengunjungi tempat ini," ucap Nandra yang memperhatikan kegiatan Selma memotret pemandangan sekitar. Sekali-kali Selma membidik pemandangan yang tersuguh dengan kamera yang menggantung dilehernya.
"Selma, kita duduk di sana yuk?" Nandra menunjuk bangku panjang yang tersedia di Taman.
"Oke, Kak."
Mereka berjalan beriringan, sekali-kali Nandra memotret kegiatan Selma diponselnya, dan pastinya tanpa sepengetahuan dari Selma.
Setelah sampai di tempat tujuan. Nandra pamit untuk membeli makanan, yang dijadikan untuk teman mengobrol mereka. Selang 10 menit, Nandra menghampiri Selma dengan membawa satu kantung plastic makanan yang terdapat label toko roti terkenal yang ada di kairo dan membawa 2 cup coklat panas.
"Nih di minum dan ini rotinya." Nandra memberikan satu cup coklat panas kepada Selma.
"Terima Kasih, Kak."
Nandra memperhatikan Selma yang menatap ponselnya sambil tersenyum-senyum. Api cemburu yang ada dihatinya kian membara. Entah sejak kapan Nandra menjadi sosok yang sangat egois, terhadap Selma.
"Lagi chating sama siapa sih?" kepo Nandra dengan suara yang di buat selembut mungkin.
"Emm … ini, Kak. Aku lagi chatingan dengan Kak Gibran," ucapnya tanpa dosa.
"Uhuk-uhuk!" Nandra tersedak karena minumannya.
"Aduh, Kak, Kakak nggak apa-apa?" tanya Selma khawatir melihat wajah Nandra yang memerah.
Nandra menggelengkan kepalanya, tanda dia tidak apa-apa. Untuk menetralkan suaranya, Nandra berdehem memastikan suaranya kembali.
"Saya ingin mengatakan sesuatu yang serius dengan kamu," ucap Nandra dengan raut muka serius.
Selma yang memperhatikan raut wajah Nandra, langsung mematikan ponselnya. “Tiap hari juga Kak Nandra selalu serius. Hahaha …" tawa sumbang yang dipaksakan Selma membuat Nandra tersenyum kecil.
"Saya serius Selma.”
"Kakak udah biasa serius kali."
"Tapi kali ini, saya ingin kamu mendengarkan semua perkataan saya."
"Ya Allah, Kak. Kaya yang mau la--"
"Saya suka denganmu”
Saya suka denganmu
Saya suka denganmu
Suka?
Suka?
Hati Selma bergemuruh kencang, mencerna kata-kata yang keluar dari mulut Nandra. Perasaan yang entah bagaimana membuat ia kalang kabut di tatap seperti itu oleh Nandra. Apalagi saat ini Nandra mengeluarkan sesuatu yang ada di saku jaketnya, dan bertumpu kaki dihadapan Selma yang sedang duduk.
"Saya tidak tau dengan perasaan ini. Perasaan yang muncul dengan sendirinya. Perasaan yang tak ingin kehilangan kamu, perasaan yang ingin menjaga kamu, dan hati yang tersenyum di kala kamu tersenyum bahagia karena saya. Sangat sulit memahami ini semua. Mungkin, adanya rasa ini muncul karena kebersamaan kita selama ini. Saya hanya ingin menjaga kamu, untuk jadi milik saya." Nandra menghentikan ucapannya, dan memberikan waktu Selma untuk berbicara.
Pandangan Selma menatap kearah cincin yang sangat sederhana namun cantik dimatanya. Setiap kalimat yang Nandra ucapkan sangat mengena di hati Selma. Namun, ia bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah ia mempunyai rasa yang sama kepada Nandra? Jika iyaa, lalu, bagaimana dengan nasib seseorang yang jauh di sana dan menunggu kepulangannya.
Dengan segenap jiwa yang Selma punya ia berucap. "Terimakasih, Kak … atas ucapan rasa cinta Kakak kepada Selma. Terimakasih juga telah membimbing, menjaga dan memperhatikan Selma selama aku berada di sini. Selma sangat terimakasih dengan ini semua." Selma sungguh ragu untuk mengucapkan kata-katanya lagi.
"Dan maaf, aku belum bisa membalas cinta Kakak. Aku rasa masih banyak wanita solehah dan cantik di luaran sana, yang menunggu untuk menjadikan Kakak sebagai imamnya. Aku rasa aku tak pantas bersanding dengan Kak--"
"Apakah ini karena dia? Seseorang yang menunggu kepulanganmu di sana!" suara Nandra meninggi.
Selma diam enggan menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Nandra.
"Saya rasa memang itu jawabannya," ucap Nandra dengan senyum jahatnya.
Ia bangun dari posisinya dan menaruh kotak cincin itu dihadapan Selma.
"Maaf, Kak. Sekali lagi maaf. Aku belum bisa menerima ini semua dari kakak. Karena di sini tidak ada satupun keluargaku untuk dimintai persetujuan. Aku tidak ingin gegabah mengambil tindakan ini semua. Jika Kak Nandra memang benar berniat serius dengan aku, sialhkan datang kehadapan ayahku."
"Apa kurangnya saya, Sel. Sehingga kamu memilih dia, dia yang tak pasti? "
"Aku tidak menilai seseorang dari kelebihan atau pun kekurangannya. Tapi aku melihat seseorang itu dengan cara prilakunya."
"Baiklah, jika itu yang kamu nilai. Mungkin perilaku saya kurang baik di mata kamu. Saya hanya ingin memberitahu, jangan pernah kamu sakit hati di saat orang yang menunggu kepulanganmu, ternyata sudah memiliki komitmen dengan orang lain. Bahu saya masih siap untuk menampung kesedihan kamu."
Setelah mengucapkan itu Nandra mengambil ponselnya dan memberikannya kepada Selma.
"Ng—nggak, ini enggak mungkin …. "
….
Ponsel yang menyala itu menunjukan potret para polisi yang berkumpul membentuk lingkaran. Tapi bukan itu yang Selma lihat, di tengah lingkaran tersebut ada Gibran yang tengah memakaikan cincin kepada seorang wanita yang Selma yakin itu adalah seorang polwan juga, terlihat dari pakaian yang digunakan wanita tersebut.
Hatinya berdebar tak karuan, apakah ini nyata atau hanya rekayasa belaka? Selma sadar bahwa ia sudah meninggalkan Gibran bertahun lamanya. Ia pun tak yakin bahwa Gibran akan menunggunya, di usia Gibran yang seharusnya sudah berumah tangga. Selma berani memberi harapan kepada Gibran karena hanya ingin memberi kesempatan kedua untuk Gibran dan pastinya rasa yang ia punya untuk Gibran.
"Jadi, kamu masih mengharapkan dia?"
"Tidak ada yang bisa aku harapkan, jika memang Allah memberi kehendak lain untukku." Selma menjawab pertanyaan Nandra dengan sesantai mungkin. Ia tak ingin memberi wajah khawatir, meskipun dalam hatinya kekhawatiran itu ada.
"Sudahlah Selma, kamu tunggu apa lagi, ada saya di samping kamu. Apa kurangnya saya, sehingga kamu masih saja memilih dia yang tak pasti."
Nandra memasukan ponselnya ke dalam saku jaket yang ia kenakan, dan duduk di kursi sebelah Selma. Selma masih mencerna semua ucapan yang dikeluarkan Nandra, jalan yang di tempuh untuk S1-nya, masih memiliki perjalanan yang panjang.
"Kamu masih ragu dengan kebersamaan kita selama ini Selma? Saya rasa saya sangat pantas untuk dijadikan pendamping terbaik di sisi kamu. Dari pada si bre--"
"Diam, Kak! Kenapa sikap kamu berubah? Aku tau sikap kamu bukan seperti ini! Entah kamu berubah karena apa. Yang aku tau Nandra itu bersikap hati-hati dan lemah lembut. Bukan seperti kamu yang sekarang!" Selma bangkit dari duduknya penuh dengan emosi.
"Jika kamu tak suka aku bersama Gibran, aku mohon jangan ganggu aku dengan gambar murahan seperti itu! Untuk merebut sesuatu yang kita inginkan bukan seperti ini caranya, Kak."
"Saya hanya menjaga apa yang harus saya jaga, saya tidak ingin, kamu menyesal setelah kamu tau yang sebenarnya."
"Jika memang foto itu benar adanya, aku ikhlas. Karena aku tak ingin membebankan dia untuk menungguku yang tak pasti kapan pulang ke tanah air. Tapi jika memang itu hanya rekayasa belaka, aku sangat kecewa dengan kamu, Kak ….”
"Hahaha … Selma-Selma, kok kamu lemah sekali ya, mau saja dipermainkan dia. Mana harga diri kamu sebagai wanita?"
"Berhenti, Kak. Berhenti! Aku capek dengan semua ini. Biarkan semuanya berjalan dengan semestinya. Aku sakit jika harus mendengar dan menanggung semua beban ini. Aku tau aku bodoh menunggu dia. Tapi aku mohon, Kak … jangan pernah sebut aku wanita lemah karena aku bukan wanita seperti itu!"
Air mata Selma mengalir, di acara liburan yang seharusnya ia isi dengan kegitan menghibur diri, malah seperti ini jadinya.
Suhu yang masih dingin, menjadi latar hatinya saat ini. Mereka masih beruntung, posisinya saat ini berjauhan dengan tempat orang-orang yang berlalu lalang.
Selma menghapus air matanya, ia tak mau menjadi wanita lemah, ia berusaha tersenyum menghadap Nandra. Ia tau tak akan ada lagi sosok Nandra dulu, entah apa yang terjadi sehingga Nandra berubah. Selma tersenyum getir disaat ia menangis, Nandra hanya menundukkan wajahnya, tak ada lagi sosok yang akan menghiburnya di saat air matanya yang turun.
"Terimakasih, atas waktumu selama ini. Maaf, aku belum bisa membalas semua prilaku baikmu yang kamu beri padaku, dan maaf aku tak bisa membalas cinta kamu. Entah apa yang bisa membuat kamu berubah seperti ini. Aku kecewa. "
Setelah mengatakan seperti itu, Selma pergi bersama air matanya yang kembali menetes. Ia diam dan kembali menghadap Nandra, namun Nandra masih pada posisinya yang menunduk. Selma tersenyum tulus dan kembali melanjutkan jalannya.
Aku tau apa yang ada dalam fikiran mu.
Mencintai seseorang memang tidak salah, namun caramu mencintaiku, dapat menimbulkan luka tersendiri di hati ku.
….
Indonesia, 12.30 waktu setempat
Kantor polisi saat ini sepi, orang-orang melakukan aktivitas istirahatnya di luar kantor. Gibran terduduk seorang diri dalam ruangannya, tak ada yang spesial dalam hidupnya. Kegiatan sehari-hari hanya itu-itu saja. Monoton tak ada keceriaan yang terpancar dalam matanya. Aura dingin yang ia pancarkan bertambah. Tembok datar, panggilan para karyawan kantor jika mereka sedang menggosip atasannya.
Ketukan di pintu membuat ia mengalihkan pandangannya.
"Masuk."
Gibran mendengus kesal, kenapa harus perempuan itu lagi yang masuk kedalam ruangannya.
Sambil membawa nampan, perempuan yang di ketahui bernama Renata itu, berjalan berlenggak-lenggok kearah Gibran, Gibran jengah dengan penampilannya.
"Permisi, Pak. Ini makan siangnya," suara yang terdengar manja membuat Gibran bergidik ngeri.
"Pindah profesi? Jadi OG?” tanya Gibran dingin.
"Tadi saya dari dapur, Pak. Sekalian di suruh oleh Pak Putra untuk mengantarkan ini semua."
"Taruh." Gibran menyuruh menyimpan makanan itu di meja.
"Baik, Pak. Ada yang bisa saya bantu lagi?"
Gibran mengangguk. "Anda sudah melihat peraturan?"
Rena mengangguk. “Sudah, Pak.”
"Sudah anda pahami?"
Rena kembali mengangguk. “Sudah pak"
"Bagus, saya rasa anda tau untuk cara berpakaian yang baik dan benar!"
"Jika anda tak memiliki pakaian yang lain, segeralah hubungi pihak koperasi untuk membelikan anda pakaian yang layak untuk di pakai."
Kalimat panjang tapi mengena di hati. Itulah sikap Gibran pada karyawannya. Tak berujung lama ketukan di pintu kembali berbunyi. Datanglah sosok Putra yang hanya mengenakan baju PDL.
"Wes, bro lu udah makan belum?” tanya Putra pada Gibran yang wajahnya tak bersahabat, di tambah ada seorang karyawan yang menyuruhnya mengantarkan makan siang Gibran.
"Tunggu-tunggu ada apa ini?" tanya putra kembali.
"Kok si cantik Rena, tak berkutik di depan bos? Apakah ada yang salah dari makanannya? Atau ada hal lain nih?" Renata masih saja menunduk.
"Bawa keluar, kantor gak terima SPG.” Setelah mengucapkan seperti itu, Gibran berlalu kearah mushola yang ada diruangannya.
"Subhanallah, si Gibran abis makan mercon kali ya?”
gumam putra.
"Haduh, neng Rena boleh deh keluar. Buat besok mohon pakaiannya di ganti ya, udah tau si bos matanya kalap ga bisa liat cewek cantik dikit," ucap Putra menaik turunkan alisnya.
"GUE DENGER!"
"Nahkan, si bos punya Indra ke dua belas. Jadi neng Rena cantik, besok rubah ya penampilannya, itu tolong make upnya ditipisin, make up mahal loh, mending uangnya di pake buat biaya kepelaminan nanti. "
Rona di wajah Renata tidak bisa dikondisikan lagi.
"Baik pak, terimakasih, saya permisi." Renata keluar dari ruangan Gibran dengan wajah menunduk.
Putra duduk di sofa ruang Gibran dan bermain ponsel.
"Udah keluar?"
"Mampus lo! Gue kaget kirain Gue, lo genderuwo. Siapa yang udah keluar?"
"Anak ayam."
"Ya Allah, ya tuhanku, Gibran ... dia di Kasih nama sama orang tuanya bagus-bagus malah di kasih nama anak ayam."
"Namanya Renatakan? Bukan Bagus?"
"Bodo amat terserah lo!"