22

1343 Kata

Hari-hari berlalu seperti angin musim semi yang hangat. Rumah kecil mereka yang dulu hanya tempat singgah, kini benar-benar terasa seperti rumah penuh tawa, aroma masakan, dan denting cangkir teh di pagi hari. Sekar semakin hamil besar. Perutnya kini bulat sempurna, membuatnya sulit membungkuk dan sering mengeluh pegal. Tapi Dimas selalu sigap. Bahkan kadang terlalu sigap. “Mas, aku baru berdiri bentar. Nggak usah panik gitu,” ujar Sekar sambil duduk pelan di sofa. “Kamu tahu sendiri dokter bilang kamu harus banyak istirahat. Aku nggak mau ambil risiko,” jawab Dimas, meletakkan bantal tambahan di punggung Sekar. Sekar tersenyum geli. “Mas terlalu khawatir.” “Ya karena kamu itu harta karunku,” kata Dimas sambil mencubit pipi istrinya. “Kalo kamu kenapa -kenapa, aku bisa pingsan berdiri.

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN