Heartbeat ( Kelly Clarkson)

1044 Kata
Amelia POV Aku selalu kagum pada Anneke. Dia adalah tipe perempuan yang tidak pernah ragu menjadi dirinya sendiri, apa adanya, bahkan sejak kami masih SMA. Namun, hari ini, di tengah reuni ini, diantara semua teman-teman yang tidak tahu masa lalunya, aku kembali terkejut dengan betapa santainya dia berbicara tentang apa yang terjadi dulu. Anneke menceritakan kepada teman-teman SMA kami tentang kehamilannya di usia 16 tahun menuju 17 tahun saat itu kami masih duduk di kelas 2 SMA. Dia bercerita dengan santai seolah-olah itu hanyalah cerita biasa. Hamil tanpa tahu siapa ayah anaknya, lalu memutuskan meninggalkan semuanya dan pergi ke Amerika. Aku teringat saat dia pertama kali mengungkapkan berita itu kepadaku, bertahun-tahun lalu. Hari itu, Anneke datang ke rumahku dengan wajahnya yang selalu ceria. Dia duduk di tepi tempat tidurku sambil berkata ringan, "Mel... aku hamil," dengan nada datar, seolah dia hanya sedang memberi tahu kalau dia baru saja makan siang. Aku mengira dia bercanda. "Jangan bercanda, Ke," balasku sambil mendelik padanya. Tapi dia tetap menatapku dengan tatapan serius. "Aku nggak bercanda, Mel. Aku sudah test pack, dan aku positif." Kaget, aku melonjak dari kursi belajarku dan segera duduk di sampingnya. Jantungku berdegup kencang, bahkan lebih cepat daripada reaksinya sendiri. "Siapa ayahnya?" tanyaku, mencoba mencari jawaban dalam kekalutan hatiku Anneke hanya mengangkat bahu, matanya tetap tenang. "Aku nggak tahu." Saat itu, aku merasa seolah langit runtuh di atas kami. "Anneke... jadi gimana sekarang?" tanyaku, hampir menangis karena tak tahu harus berkata apa. Dia menjawab dengan tenang, "Aku sudah memutuskan. Pulang dari sini, aku akan bilang ke Papa. Aku akan minta pindah ke Amerika. Kami ada rumah di sana." Aku semakin panik. "Kamu nggak tunggu selesai ujian dulu?" Anneke menggeleng. "Kalau aku tunggu ujian, perutku keburu besar, dan Papa akan malu. Lebih baik aku pergi sekarang dan melahirkan di sana. Papa bisa alasan kalau aku pindah karena ingin melanjutkan SMA di sana." Aku memeluknya erat, dan tanpa sadar air mataku mulai menetes. "Iya... iya... mungkin itu lebih baik. Tapi, Ke, kamu harus tetap hubungi aku ya. Aku mungkin nggak bisa bantu banyak, tapi aku selalu siap jadi telingamu kalau kamu butuh cerita." Anneke hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Tolong kasih tahu Ariana tentang kehamilanku ini. Dia lagi di Singapura untuk lomba piano, dan aku nggak sempat menunggunya kembali." Seminggu kemudian, Anneke pergi. Aku masih ingat perasaan hampa melihatnya meninggalkan kami, membawa rahasia besar itu sendiri. Beberapa bulan setelahnya, dia mengirimkan sebuah foto bayi laki-laki yang lucu, Samuel . Dengan catatan singkat bertuliskan, 'Selamat jadi tante, Mel' Hatiku menghangat melihat senyum mungil bayi itu, tapi rasa sedih juga menyusup. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menjalani semuanya sendirian di Amerika dengan usia yang masih sangat muda telah menjadi seorang ibu. Untung papa Anneke kaya raya, sehingga dia tidak perlu memusingkan biaya hidup di Amerika. Tahun-tahun berlalu. Anneke tetap mengirimku kartu pos dengan foto Samuel setiap pergantian tahun hingga dia menikah saat Samuel berusia tiga tahun. Setelah itu, kehidupan kami masing-masing terlalu sibuk. Anneke dengan keluarga barunya, dan aku dengan kuliah kedokteran yang menguras waktu dan energi. Namun, ketika tragedi tsunami menghancurkan hidupku dan aku kehilangan Ricky, Anneke adalah orang pertama yang kuhubungi. Kami menangis bersama melalui telepon. Setiap hari setelah itu, Anneke dan Ariana bergantian meneleponku, menguatkanku, hingga aku kembali menemukan pijakanku. Hubungan kami bertiga yang pernah renggang akibat jarak dan kesibukan kembali erat, meski kami jarang bertemu dan hanya bertukar kabar, kalau ada yang ultah, atau pada pergantian tahun tapi hubungan persahabatan kami tetap terjalin . Kami bertiga punya prinsip, "No news is good news." Jika tak ada kabar, berarti semuanya baik-baik saja. Kini, setelah hampir tiga puluh tahun, akhirnya kami bertemu lagi di reuni ini. Melihat Anneke tetap menjadi dirinya yang ceria dan percaya diri, aku merasa seperti kembali ke masa remaja kami. Namun, ketika dia menyuruh Samuel berdiri dan memperkenalkan diri di depan kami semua, aku merasa sedikit cemas. Aku mencoba memberi Anneke kode dengan tatapan agar tidak memaksa Samuel. Bagaimanapun, anak yang tidak tahu siapa ayahnya pasti menyimpan luka batin. Tapi Anneke mengabaikanku. Dengan santai, dia menyuruh putranya maju, dan Samuel berdiri dengan tenang memperkenalkan diri nya kepada seluruh peserta reuni. Beruntung, Samuel terlihat baik-baik saja. Dia bahkan berbicara dengan percaya diri dalam bahasa Indonesia berlogat Inggris, meminta kami untuk tidak merasa kasihan padanya. "Saya benar-benar baik-baik saja," katanya sambil tersenyum. Namun, ada momen singkat ketika matanya melirik ke arahku..... atau mungkin ke arah Kimtan. Saat itu, aku melihat kilatan kecil di matanya. Entah apa itu, tapi ada kesedihan yang samar, seolah dia menyembunyikan sesuatu yang bahkan Anneke tak tahu. Aku tak bisa menahan rasa iba. Samuel adalah anak yang luar biasa, namun aku tahu, di dalam hatinya, pasti ada kekosongan. Kekosongan itu, tidak tahu siapa ayahnya, akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Aku mencoba kembali tersenyum, menyembunyikan pikiran-pikiranku yang berkecamuk. Reuni ini seharusnya menjadi momen untuk bernostalgia dan bersenang-senang, bukan tempat untuk tenggelam dalam kesedihan. Namun, di dalam hati kecilku, aku tak bisa berhenti berdoa agar Samuel suatu hari nanti menemukan jawabannya. Tidak ada anak yang pantas merasa kehilangan sesuatu yang begitu mendasar. Meskipun dia terlihat tegar dan berkata fine, aku yakin, di lubuk hatinya yang terdalam, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Dia mungkin tidak fine-fine saja seperti yang diucapkannya dengan senyum ringan itu. Ketika aku melirik ke arahnya, tak kusangka dia juga sedang melirik ke arahku. Tatapan kami bertemu, dan dia tersenyum. Senyumnya sederhana, tapi cukup untuk membuat dadaku berdebar tak karuan. Ada sesuatu dalam senyuman itu, sesuatu yang mengingatkanku pada masa lalu, pada Ricky, pada perasaan yang pernah kurasakan bertahun-tahun lalu. Tapi kenapa perasaan itu muncul sekarang? Pada Samuel? Apakah ini hanya karena rasa iba yang kurasakan untuknya? Atau... ada sesuatu yang lebih dalam? Aku buru-buru memalingkan pandangan, mencoba mengendalikan debaran di dadaku yang mulai tak menentu. Aku menatap keluar jendela, berusaha menenangkan diri, tapi aku bisa merasakan, Samuel yang masih terus menatapku. Tatapan itu, hangat sekaligus penuh tanya, seakan mencari sesuatu dariku, sesuatu yang bahkan aku sendiri belum bisa mengerti. Debaran di hatiku semakin sulit dikendalikan ketika suara Lintang, salah seorang teman kami yang pandai menyanyi, mulai mengeluarkan suara merdunya dari mikrofon karaoke bus. Dia menyanyikan sebuah lagu yang terasa seakan bercerita apa yang sedang terjadi di dalam hatiku. This is my heartbeat song... And I'm gonna play it... Been so long I forgot how to turn it...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN