Separuh Aku ( Noah)
Malam Desember yang dingin menyelimuti perumahan mewah Royal Sumatera di Medan. Rintik hujan perlahan membasahi jendela besar di kamar utama milik Amelia. Di dalam kamar yang megah namun sunyi itu, Amelia, seorang dokter berusia 46 tahun yang sukses dengan klinik kecantikannya, sedang bersiap untuk berendam di bathtub. Aroma lavender dari busa yang mengembang memenuhi kamar mandi yang hangat, tetapi suasana hatinya jauh dari nyaman. Desember selalu membawa beban kesedihan yang berat bagi Amelia, beban yang tak pernah bisa dilepaskannya.
Sambil menunggu air memenuhi bathtub, Amelia menyalakan televisi di dinding depan bathtubnya. Gambaran program berita malam muncul, namun pikirannya melayang jauh, menembus waktu berpuluh tahun yang lalu. Matanya mulai berkaca-kaca, dan sebelum ia sadar, air mata telah membasahi pipinya.
"Ricky... Ricky " bisiknya, nyaris tak terdengar di antara desau hujan.
Ia melangkah perlahan ke bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam di air panas yang mendekapnya erat, membiarkan air itu membuai tubuhnya, berharap semua rasa resah berlalu dari dadanya. Matanya terpejam, namun kenangan itu kembali menghantam seperti deru ombak yang membelah jiwanya.
Sehari setelah pernikahan mereka. Amelia dan Ricky berangkat dengan mobil ke Banda Aceh. Ricky, dokter spesialis anak yang baru menyelesaikan studinya, mendapatkan penempatan pertamanya di sebuah rumah sakit umum di kota itu. Perjalanan darat Medan-Banda Aceh yang panjang membuat mereka letih, tapi Amelia tak pernah merasa lebih bahagia karena saat ini, Ia resmi menjadi istri Ricky.Kakak kelas yang sudah dicintainya sejak mereka SMA, tapi mereka baru resmi berpacaraan saat mereka berdua duduk di bangku kuliah.
Mereka tiba di Banda Aceh pagi jam 6, di tanggal 26 Desember. Rumah kontrakan sederhana dekat rumah sakit, telah dipersiapkan Ricky untuk Amelia sebagai rumah yang akan mereka tempati bersama, membentuk mahligai keluarga .
Ricky memeluk Amelia dengan lembut. "Mel, terima kasih ya... sudah mau mendampingiku. Aku tahu ini tidak mudah, kamu harus mengurus surat resident mu agar bisa pindah ke Banda Aceh mengikuti aku dan kamu bersedia mendampingiku ke Aceh sehari setelah pernikahan kita, bahkan tanpa bulan madu seperti pasangan lain."
Amelia tersenyum kecil, menatap suaminya dengan penuh kasih. " Bukankah ini bulan madu kita? Bisa tinggal berdua bersama. Aku justru sangat senang. Aku ingin selalu mendukungmu, Ricky. Tugas ini penting untuk masa depan kita dan aku senang kita bisa ditempatkan di tempat yang sama.”
Mereka tertawa kecil, berbagi canda seperti pasangan yang baru saja memulai hidup baru. Tapi kebahagiaan itu hanya bertahan sekejap.
Amelia membuka matanya. Air panas di bathtub telah mulai dingin, namun ia tak bergeming. Ingatan itu kembali menguasainya.
Detik-detik mencekam di pagi yang cerah pada 26 Desember 2004.
Ricky pamit pada Amelia untuk memasukkan mobil ke garasi, setelah menyuruh Amelia untuk mandi dan beristirahat di lantai dua rumah mereka. Amelia sempat bercanda menggoda Ricky untuk mandi bersama. Mereka tertawa, dan Ricky pun keluar rumah untuk memasukkan mobil ke garasi karena tadi saat mereka tiba, ada mobil lain yang parkir di depan halaman rumah mereka. Ricky berjanji akan segera kembali.
Saat itu, langit begitu cerah, tetapi suara gemuruh tiba-tiba mengguncang kota. "Apa itu...?" Amelia terkejut, berdiri di dekat jendela. Suara orang-orang berteriak mulai terdengar, diikuti bunyi klakson mobil yang panik. Ia berlari ke balkon, hanya untuk melihat gelombang hitam raksasa yang datang dengan kecepatan tak terbayangkan.
"PASANG!!!! AIR BAH!!!!! AIR LAUT NAIK...!" jerit seseorang di kejauhan.
Amelia membeku, jantungnya berdegup kencang. Matanya mencari-cari Ricky yang tadi berada di garasi. Orang-orang berlari kacau, mencoba menyelamatkan diri. Ia melihat Ricky berdiri di dekat mobil, wajahnya terpaku melihat air yang semakin mendekat.
"RICKY!!!" Amelia berteriak sekuat tenaga, tangannya menggenggam pagar balkon.
Ricky menoleh, hanya sempat melambaikan tangan ke arahnya sebelum gelombang hitam itu menghantam segalanya. Mobil, rumah, dan orang-orang tersapu dalam sekejap.
Amelia jatuh terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia mencoba berlari ke bawah, tetapi air telah masuk ke rumah mereka, memporak-porandakan seiisi rumah Ia kembali berlari ke lantai dua, memeluk tiang tangga sambil menangis histeris.
"Ricky... jangan tinggalkan aku...!" Suaranya pecah di tengah gemuruh air yang tak henti-hentinya menghantam.
Amelia menggigil di dalam bathtub,busanya telah larut menjadi air. Tangannya mencengkeram erat sisi bathtub, kuku-kukunya memutih. Setiap Desember, bayangan itu kembali menghantuinya. Jeritannya yang sia-sia, tubuh Ricky yang tersapu air, dan perasaan hampa yang tak pernah hilang.
Ia menyalakan kembali televisi, berharap suara dari layar bisa mengalihkan pikirannya. Namun, berita tentang peringatan tsunami kembali mengingatkannya pada luka lama. Gambar-gambar kehancuran Aceh diputar ulang, seolah menguliti hatinya.
"Ricky..." Amelia memejamkan mata, air mata mengalir deras. Tangisannya pecah dalam keheningan malam. Ia tahu, tak peduli berapa lama waktu berlalu, Desember akan selalu menjadi pengingat bahwa ia telah kehilangan separuh jiwanya—separuh yang tak pernah bisa ia dapatkan kembali.
Dering nada "Separuh Aku" dari Noah tiba-tiba memenuhi keheningan kamar mandi. Amelia membuka matanya yang sembab, menoleh pada handphone di meja kecil di sebelah bathtub. Nama Anneke, sahabat masa SMA nya, tertera di layar. Dengan enggan, Amelia bangkit dari bathtub, membiarkan busa lavender mengalir perlahan ke lantai saat ia mengusap tangannya untuk menjawab panggilan.
"Ya, Ke... Ada apa? Tumben kamu bangun pagi-pagi," kata Amelia dengan suara parau, melirik jam dinding. Baru pukul 8 malam di Medan, berarti jam 7 pagi di Amerika.
" Mel... Kamu terima undangan reuni kah?" suara ceria Anneke terdengar, seperti biasa, penuh energi dan tanpa beban.
"Reuni apa?" Amelia mengerutkan dahi, bingung.
"Reuni SMA kita lah! Mana mungkin aku reuni fakultas kedokteran bareng kamu. Orang SMA aja aku nggak lulus, keburu brojol!" Anneke tertawa terkekeh, seolah melahirkan di usia muda tanpa suami adalah lelucon semata.
"Siapa suruh kamu genit," balas Amelia, mencoba tersenyum kecil.
"Genit? Nggak, aku bukan genit. Aku lupa diri aja, Mel! Pesta itu terlalu banyak cowok ganteng!" Anneke tertawa lebih keras, suaranya penuh kehidupan, kontras dengan kesunyian di sekitar Amelia.
Anneke memang seperti itu, selalu ceria meski hidupnya penuh liku dan jauh dari norma. Penganut paham YOLO ( You Only Live Once ) sejati, ia menjalani hidup tanpa penyesalan. Bahkan ketika hamil tanpa tahu siapa ayah anaknya, ia hanya tertawa dan pindah ke Amerika, tentunya dibiayai ayahnya yang kaya raya.
Meski begitu, Amelia tahu satu hal pasti, Anneke selalu ada untuknya. Tak peduli jarak atau waktu, Anneke adalah orang pertama yang akan menelpon ketika Amelia jatuh terpuruk begitu pula sebaliknya.
"Masak kamu nggak terima undangan reuni? Ariana aja udah terima," suara Anneke kembali membuyarkan lamunan Amelia.
"Aku belum sempat cek email. Kamu tahu, Desember itu... aku selalu malas ngapa-ngapain. Rasanya separuh jiwaku hilang," suara Amelia bergetar. Air matanya kembali menetes tanpa permisi.
Di seberang, Anneke terdiam sesaat, sebelum berkata tegas, "Stop it, Mel! Sudah puluhan tahun berlalu. Kamu harus move on. Aku aja udah nikah tiga kali. Kamu? Masih di situ-situ aja. Jangan kayak gini, Mel. Aku sedih lihat kamu seperti ini."
"Tapi... aku nggak bisa, Ke," Amelia tersedu, suaranya pecah. "Aku nggak sanggup melupakan Ricky..."
"Mel," suara Anneke melembut, namun tetap tegas, "emangnya kamu pikir Ricky mau lihat kamu menangis setiap Desember? Kamu pikir dia akan senang lihat kamu berkubang di kesepian, meski kamu kaya raya? Hidupmu kosong, Mel. Kamu perlu bangkit, nikmati hidupmu. Sebentar lagi kita lima puluh, Mel! Kamu mau begini terus sampai kapan?"
Amelia mencoba menjawab, tetapi Anneke tak memberinya kesempatan. "Pindah ke Jakarta, Mel. Cari Ari, dia pasti akan membantumu. Medan itu penuh kenangan Ricky. Tempat kalian pacaran, tempat kalian menikah... semua ada di sana. Kamu nggak akan bisa melupakan dia kalau kamu terus tinggal di sana."
"Orang tuaku ada di sini, Ke," Amelia membalas, suaranya semakin lemah. "Orang tua Ricky juga. Mereka sudah kehilangan anak satu-satunya, aku nggak sampai hati meninggalkan mereka. Bagaimanapun, aku ini menantu mereka."
"Ya sudah, aku nggak akan debat soal itu sekarang. Tapi kamu harus ikut reuni ini!" Anneke berkata dengan nada mengintimidasi. "Reuninya bukan reuni akbar, kok. Hanya kelas kita, Bio 1. Pesertanya nggak banyak. Pokoknya kamu ikut harus ikut, titik."
"Kapan reuninya? Kamu pulang?" Amelia bertanya, mencoba terdengar biasa saja meski hatinya berat.
"Yup! Aku pulang setelah puluhan tahun nggak pernah balik. Samuel libur Natal dan tahun baru, jadi aku ajak dia ke Medan. Papaku pengen banget ketemu cucunya. Dia bilang, ‘Meskipun anak perempuanku gagal jadi dokter tapi cucuku lulusan John Hopkins!’ Jadi dia bangga banget." Anneke tertawa lagi, suara cerianya terdengar lagi "Pokoknya, kamu harus ikut! Reuninya di Danau Toba, Mel dari 28 Desember sampai 1 Januari."
Amelia menghela napas panjang. "Aku pikir-pikir dulu, ya."
"Nggak perlu pikir-pikir! Kalau kamu nggak ikut, aku marah besar," Anneke berkata ngotot, seperti biasa.
Sebelum Amelia bisa menjawab, Anneke sudah menutup telepon dengan ceria. "Okay, aku tutup dulu ya. Ada yang bel pintu. Sampai jumpa di reuni!"
Amelia menatap layar handphonenya yang kini sunyi. Ia kembali menarik napas panjang, hatinya penuh tanya. Haruskah aku ikut reuni itu?