3. Permulaan Rasa Sakit

1442 Kata
Almira semakin gelisah. Terlebih ketika mata Fatima tampak berkaca dengan senyum yang tersungging lebar penuh ketulusan. Genggaman wanita itu pun semakin menguat. Almira terundung atas itu semua. Maka, wanita itu pun berucap penuh desakan. "Fatima, ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Almira kesal. Sedih pun menelusup tanpa ia sadari, yang tanpa sadar membuat air mata kembali tergenang membasahi kedua pipi. Fatima tak pudar senyumnya. Dengan penuh keyakinan, wanita itu pun berucap. "Menikahlah dengan suamiku." Seakan-akan waktu berhenti berputar, Almira diam terpaku bak patung. Jantungnya seakan berhenti, tatapannya sedikit terbelalak. Sungguh, tidak disangkanya kalimat itu meluncur bebas dari mulut seseorang yang berarti. "Rayya butuh sosok ibu. Dan itu kamu, Almira. Aku akan pergi tak lama lagi. Kamu adalah pengganti yang tepat untukku. Kumohon Almira, turuti permintaanku ini." Almira rasanya ingin tertawa, marah, dan mencaci saat ini juga. Hanya saja tidak ada kekuatan untuk itu. Segalanya menjadi sangat tidak masuk akal. "Jadilah ibu untuk Rayya dan istri untuk suamiku, Almira. Ini pinta terakhirku padamu." "Y-ya Rabb," lirih Almira setelah lama terbungkam oleh ketidakpercayaannya atas permintaan itu. Air matanya semakin deras mengalir dan ia tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Segalanya menjadi sangat membingungkan. "Almira, kumohon. Ini demi kebaikan semua." "K-kebaikan apanya?" tanya Almira serak. Bibirnya bergetar tak tertahankan. "Semua ini tidak dapat aku terima, Fatima. A-aku ... tidak bisa." Mendengar kalimat itu, Fatima mulai menangis. Hal tersebut membuat Almira merasa teriris hatinya. Tak tega. "Almira, kumohon. Jadilah penggantiku. Rayya sangat membutuhkan sosok ibu dan Zharif sangat membutuhkan sosok penggantiku untuk selalu mendukungnya. Ku-kumohon Almira, kumohon," ucap Fatima serak dengan isak tangis. Almira mulai terisak. Tangannya balas menggenggam kedua tangan Fatima yang sangat lemah. "A-aku ... aku tidak sanggup, Fatima. Aku yakin semuanya tidak dapat diterima. A-aku ... aku tidak bisa." "Aku tahu kamu mencintai suamiku." Almira menggeleng dengan cepat, isak tangisnya semakin menguat. "T-tidak! Itu dulu. Dulu sekali. Perasaan ini tak lagi sama Fatima. T-tidak lagi sama. Kumohon, berhentilah beromong kosong. Kumohon." "Bohong. Aku yakin perasaan itu masih ada dan masih sama layaknya dulu." Di balik tangis, Fatima tersenyum penuh arti. Matanya yang teduh menatap Almira penuh harap. "A-aku tidak bisa, Fatima." "Almira, kumohon. Biar aku bisa pergi dengan tenang sekarang." "Tidak! Kubilang tidak ya tidak! Aku tidak akan menuruti ini semua biar kamu tidak bisa pergi sekarang!" Almira berteriak. Hal tersebut memancing atensi dua orang lelaki yang berdiri di luar ruangan. Merasa ada yang tidak beres, bergegas dua lelaki itu—yakni Zharif dan Fikar—memasuki ruangan dengan perasaan yang terselimuti khawatir serta tanda tanya. "Ada apa ini?" tanya Zharif khawatir. Apalagi dilihatnya sang istri dan Almira yang menangis dengan mulut tak hentinya menggumam kata "tidak" berkali-kali. "Itu pintaku, Almira. Kumohon, turuti permintaanku. Kumohon." "Pinta dan cinta suatu hal yang berbeda, Fatima. Yang tidak dapat disangkutpautkan. A-aku ... aku tidak-" Almira tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Gadis itu terisak dalam sesak yang begitu hebat di dalam sana. "Kamu mencintainya, sementara dia tidak. Tapi ketahuilah Almira, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu." "T-tidak semudah itu, Fatima. Tidak mudah. Itu ... menyakitkan." Zharif dan Fikar sama-sama dilanda kebingungan. Segala hal yang diucapkan dua perempuan itu membuat mereka rasanya tidak tahan dan terdorong untuk bertanya. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Zharif pada akhirnya. Fikar masih diam, sebab apa yang diucapkan Zharif sudah mewakilinya. Fatima tersenyum menatap suaminya. "Mas, kamu masih ingat ucapanmu sendiri, 'kan? Bahwa Mas akan menuruti apa pun yang aku pinta?" Zharif mengangguk dengan sedikit kebingungan. "Ya. Lalu?" "Ini pinta terakhirku, Mas. Aku ingin kamu menikah dengan Almira. Dihadapanku, kamu mengucapkan akad suci itu." Zharif hanya bisa terdiam seribu bahasa. Lalu tertawalah ia dengan sumbang. Ketahuilah, tawanya itu sarat akan perasaan marah dan tidak mengerti akan semua ini.  "A-apa-apaan itu, Sayang? Apa yang kamu bicarakan?" "Menikahlah dengan Almira. Sebelum aku pergi." "Mau pergi ke mana kamu? Kamu tak akan pergi ke mana-mana. Kamu akan tetap di sini bersamaku dan juga anak kita." "Y-ya. Aku memang akan selalu bersama kalian. Tapi, tidak sama seperti dulu. Sebab aku akan segera menemui Rabb-ku." Fatima tak pernah memudarkan senyumnya. "Menikahlah dengan Almira, Suamiku. Ini permintaanku. Pinta terakhirku." Zharif mendekati Fatima. Diusapnya wajah istrinya dengan lembut, matanya menatap Fatima dengan berkaca. "Sayang, kamu satu-satunya yang kucintai. A-aku ... ini sulit. Kamu tidak tergantikan. Aku akan tetap mencintaimu dan tak ada yang bisa menggantikanmu di hatiku." Fatima tesenyum mendengar ucapan itu. "Mas, Allah yang Menggenggam hati. Atas kehendak-Nya, hati itu mampu dibolak-balikkan," ucapnya lembut. "Penuhilah janjimu untuk menuruti segala pintaku, Mas. Ini yang terbaik untukmu dan terutama Rayya, anak kita." "Tidak, Sayangku. Ini bukan yang terbaik." "Ini jawaban dari kegelisahanku selama ini, Mas. Aku yakin, semua yang aku putuskan ini berasal dari-Nya. Kumohon, turuti permintaanku. Biar aku bisa pergi dengan tenang." Fatima menggenggam tangan Zharif dengan kuat. Senyum terbaik ia berikan kepada suaminya. Sebagai tanda bahwa senyum itu senyum yang sarat akan ketulusan. Zharif menarik tangan Fatima dan mengecupnya lama. Air mata keluar begitu saja. Menandakan bahwa kini ia terluka. Sementara Almira, gadis itu diam dengan mata menyorot kosong ke arah Fatima. Tiba-tiba, Fatima terlihat seperti seorang yang menahan sakit. Wanita itu memejam kuat, tetapi senyum masih kuasa ia tahan. Segalanya menjadi terasa lebih cepat. Kini, Almira duduk tak jauh dari Zharif yang tampak terluka, begitupun sebaliknya. Mereka sama-sama terluka dalam keadaan yang memaksa diri untuk menuruti segala pinta dari Fatima. Fatima kini setengah berbaring dengan senyum yang sarat akan kebahagiaan. Dihadapannya, Zharif akan segera mengucapkan kalimat qobiltu yang rasanya tidak akan sanggup untuk pria itu ucapkan. Sebab, hatinya tidak menerima ini semua. Hatinya menolak. Pun dengan Almira. Gadis itu tak hentinya meneteskan air mata. Semua sanak keluarga dari Fatima maupun Zharif hanya bisa diam menyaksikan. Beberapa tak kuasa menahan tangis. Sementara dari pihak Almira, hanya ada Fikar selaku sahabat. Sebab dari keluarga Almira begitu jauh darinya saat ini dan tak mungkin datang di situasi yang sangat mendesak ini. Namun, sebagai wali untuk Almira, Fikar tentu tidak dapat menggantikan. Oleh sebab itu, dihubungilah orang tua Almira, meminta izin serta restu untuk menikah segera. “Nak? Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba?” Terdengar suara bunda. Almira langsung menunduk dalam, terisak. Fikar yang memegangi gawai gadis itu—yang terhubung panggilan video—langsung mengalihkan kamera untuk menghadap padanya. Perlahan, dijelaskannya semua itu pada orang tua Almira. Tentu, terjadi pertentangan oleh mereka, terutama oleh sang ayah. Ketika Fatima mulai menjelaskan hati-hati, penuh keyakinan yang bulat, orang tua Almira pun mulai mengizinkan. Mereka setuju pernikahan dilaksanakan. Namun, dengan syarat bahwa Almira dan Zharif harus segera menemui mereka dan menjelaskan semua secara lebih mendetail nantinya. Panggilan video di gawai masih terhubung dengan orang tua Almira. Sehingga mereka bisa mendengar serta menyaksikan proses pengucapan qobiltu tersebut. Demi memperoleh sahnya pernikahan. Atas semua hal yang terjadi, Almira diam menunduk. Dengan tangis yang tak akan mampu ia tahan. Dengan segara sakit yang bak menghantam lalu menghanyutkan jauh dirinya. Sementara Fatima, senyum wanita itu menyiratkan kebahagiaan, menyiratkan kelegaan, dan lapang hati yang begitu besar. "Sa-saya ... saya terima nikahnya. A-al ...." Zharif rasanya tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Hanya saja Fatima menatapnya dengan penuh harap. Dengan sakit yang terasa sangat di ulu hati, Zharif pun kembali mengulang kalimatnya. "Sa-saya terima nikahnya. Almira Chana Hazimah binti Hasanuddin Abdus Siddiq. Dengan mas kawin tersebut, d-dibayar tunai." “Bagaimana para saksi? Sah? Sah! Alhamdulillah." Fatima tersenyum sembari melirihkan sesuatu. Tangannya terulur, meraih tangan Zharif dan Almira lalu menyatukannya. "Semoga kalian selalu dirahmati oleh Allah," ucapnya dengan napas yang semakin tidak teratur. “Mas, doakanlah Almira.” Zharif menatap Fatima dengan mata yang membasah. Dengan bergetar, ia arahkan telapak tangan kanannya menuju kepala Almira. Dengan lirih, ia mulai berdoa. Melihat itu, Fatima tersenyum. Ditatapnya kemudian langit-langit kamar rumah sakit. Matanya memejam lalu terbuka, memejam lagi lalu terbuka. Berulang kali. "Jadilah suami yang baik, Mas. Jadilah istri yang patuh, Almira. Barakallahu laka." Fatima menghela napas panjang dengan kuat, lalu diembuskannya sembari berucap lirih. "Allaahuakbar ...." Tak lama kemudian, terdengarlah bunyi panjang dari mesin pendeteksi jantung, elektrokardiograf. Sebagai tanda bahwa kini, Fatima, tak dapat lagi bertahan. Maut telah menjemput dan yang ditinggal haruslah mengikhlaskan. Walaupun sulit. Senyum itu masih membekas pada sosok Fatima. Senyum yang sarat akan kebahagiaan. Bahagia sebab hajat terkabul dan bahagia sebab kini ia akan bertemu dengan Rabb-nya. Namun, tangis pedih tertinggal pada seseorang yang sangat sayang dan cinta padanya. Tangis itu sarat akan kepedihan dan rasa sakit. Siapa pun yang mendengar tentulah akan tersayat hatinya. Sebab tangis itu, tangis yang langsung dari hati yang paling dalam. Zharif sakit hatinya, Almira pun begitu. Lebih-lebih Fikar yang sedari tadi diam membungkam dengan segala sakit yang menghujam, menyaksikan semua "drama" nyata itu. Sejatinya, mereka sama-sama terluka hatinya. Namun, ketahuilah, bahwa ini merupakan awal dari segala rencana Ilahi Rabbi. Entah akan berakhir bahagia ataupun tidak, kita tidak dapat menebak. Itu kuasa-Nya. Yang pasti, hadapilah. Persaksikanlah bahwa rencana Allah itu baik untuk semua hamba-Nya. B e r s a m b u n g . . . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN