Part 3
Gavin pulang ke apartemen dengan segala kekesalan bercokol di kepala. Pandangan akan gadis itu berubah. Ia pikir Rhea tak akan berani ke mana-mana. Rupanya diam-diam dia melamar pekerjaan ke perusahaan milik Farel. Gadis itu tidak selemah yang ia pikirkan.
Setiba di apartemen, Gavin langsung bergegas menuju kamarnya. Apartemen ini adalah apartemen kedua milik perusahaan Andre Angkasa. Pundi-pundi kekayaan keluarganya memang sangat melimpah. Namun begitu ada banyak hal kontras yang ada pada kehidupan Gavin, yang tak semua orang tahu. Dia jarang menyuruh orang untuk membersihkan apartemen atau memanggil koki ternama untuk memasak menu seperti yang sering ayahnya lakukan. Ia masih sempat membersihkan tempat tinggalnya sendiri, membuat kopi, mencuci, bahkan memasak sendiri. Padahal dengan uang yang ia miliki, ia bisa membayar siapapun untuk melakukan pekerjaan itu. Ia juga tak gegabah dengan sembarang pergi ke tempat hiburan untuk bersenang-senang. Dia baru akan ke night club jika memang benar-benar butuh hiburan. Itu pun selalu memesan private room. Ia masih menjaga image-nya di depan publik. Dan selama 28 tahun hidup, ia hanya pernah mencintai satu perempuan bernama Sandra, perempuan yang mematahkan hatinya setelah memutuskan hubungan enam bulan yang lalu.
Ada kalanya ia bersenang-senang dengan banyak perempuan, sekedar mencicipi bibir mereka yang ranum atau meraba kulit halus mereka, tapi tidak sembarang membawa perempuan ke ranjang. Pasca putus dari Sandra ia belum berminat menjalin hubungan dengan siapapun hingga akhirnya ia terpaksa menikahi Rhea.
Saat masuk dalam ruangan, Rhea tengah mengetik artikel di ruang tengah. Rhea terperanjat dengan kedatangan Gavin. Ia pikir, Gavin tak akan pulang seawal ini.
“Maksud kamu apa melamar pekerjaan di perusahaan milik temanku?” Gavin langsung bertanya tanpa berbasa-basi.
Rhea terkesiap. Hari ini ia memasukkan lamaran ke dua perusahaan. Jadi salah satunya adalah perusahaan milik teman Gavin? Bagaimana sang suami bisa mengetahui hal ini?
“Aku... Aku bosan jika berada di apartemen terus. Aku ingin bekerja agar tak bosan selama menunggu Mas pulang.”
Gavin duduk dan menatap Rhea tajam, membuat gadis itu gugup.
“Apa kamu mikirin pandangan orang? Istri CEO perusahaan Andre Angkasa bekerja di perusahaan lain dengan posisi rendahan? Orang akan berpikir aku menelantarkanmu. Apa uang yang aku berikan tidak cukup? Sampai kamu nyari-nyari pekerjaan?” Gavin menaikkan intonasi suaranya.
Rhea beringsut. Ada rasa takut mendengar nada bicara Gavin yang menggelegar.
“Uang yang Mas kasih sangat banyak, lebih dari cukup. Aku bekerja bukan semata untuk mencari penghasilan. Aku ingin mencari pengalaman dan untuk aktualisasi diri saja.” Rhea menundukkan wajahnya. Ia merasa bersalah karena tidak meminta izin pada Gavin sebelumnya untuk mencari pekerjaan.
“Harusnya kamu minta izin dulu ke aku. Maaf, aku keberatan kamu bekerja. Jaga image kamu sebagai istri Gavin Raditya Angkasa dan menantu dari Andre Angkasa. Jangan gegabah bertindak. Toh kamu ini penulis, kan? Ya sudah tekuni saja menulis, nggak usah mencari pekerjaan lain.”
Rhea terdiam. Ia tak bisa melawan kehendak suami karena meski bukan seorang yang tahu banyak tentang ilmu agama, tapi ia tahu ridho suami itu penting ketika ia memutuskan untuk bekerja di luar rumah. Keluar rumah dan bahkan jika ingin berpuasa sunnah juga harus meminta izin suami.
Gavin mengembuskan napas kesal. Ia melirik sang istri yang masih tertunduk. Ia baru menyadari, Rhea mengenakan dress yang terlihat santai tapi juga elegan. Motif bunga-bunga besar sedikit menyamarkan tubuh kurusnya. Entah dari mana gadis kurus itu belajar memadu padankan pakaian. Rhea terlihat lebih segar dengan dress motif bunga itu.
“Apa itu dress seserahan saat nikah?” Gavin bertanya datar tanpa menoleh.
Rhea mendongakkan sedikit wajahnya.
“Aku membeli lewat online. Butiknya dekat dengan apartemen, jadi aku minta diantar dengan ojek online. Bukannya Mas bilang, uang yang dikasih Mas lebih baik dibelikan baju yang bagus?”
Gavin tak menanggapi.
“Aku minta maaf karena tak meminta izin Mas Gavin.” Rhea menatap Gavin sepintas lalu menunduk kembali.
Dering ponsel mengagetkan keduanya. Ada telepon dari Azka, rekan bisnis Gavin.
“Selamat sore brother,” sapa seorang pria dari ujung telepon.
“Selamat sore Azka. Tumben telepon?”
Azka sebenarnya pesaing bisnis Gavin, tapi sejauh ini mereka bersaing secara sehat dan berteman baik di luar urusan pekerjaan.
“Aku ingin mengundangmu ke pestaku besok malam. Cuma untuk syukuran karena proyek apartemenku telah selesai. Kamu datang ajak istri kamu.” Ada nada bangga terdengar dari cara Azka berbicara.
“Baik, terima kasih, aku usahakan untuk datang. Selamat ya untuk pembangunan apartemen yang sudah selesai.”
Gavin meletakkan ponselnya di meja.
“Temanku mengundang kita ke pestanya besok malam. Aku akan minta penata rias, penata busana, juga hair stylist terbaik untuk mendandani kamu.”
Rhea tak merespons apapun. Tentu ia tak bisa menolak. Ia tak ingin membuat Gavin marah jika ia menolak datang ke pesta itu.
******
Esok malam..
Gavin duduk di sofa menunggu para asisten selesai mendandani istrinya. Ia harap Rhea akan terlihat lebih baik dan cantik saat dibawa ke pesta nanti, atau istilah ringannya 'nggak malu-maluin'.
“Pak CEO, semua sudah selesai. Lihatlah istri anda. Dijamin anda akan pangling.” Gadis yang berprofesi sebagai penata rias itu mengapit Rhea keluar kamar.
Gavin mengalihkan tatapannya ke arah sang istri. Ia tercengang melihat penampilan sang istri yang tampak jauh lebih memukau dibanding biasanya. Kacamata itu dilepas. Gavin memesankan softlens terbaik untuk mata minus. Ia memilih softlense berwana coklat terang. Di mata Gavin warna softlense itu semakin memperkuat kesan kulit eksotis Rhea yang seksi dan menarik. Gavin sudah sering melihat perempuan-perempuan seksi berkulit putih entah putih asli atau hasil perawatan. Melihat Rhea yang berkulit eksotis nan halus, terbitkan kekaguman tersendiri, tapi ia pendam kekaguman itu. Rambut gadis itu ditata bergelombang, membuatnya terlihat lebih berisi. Biasanya rambutnya tampak lurus dan lepek. Riasan minimalis nan natural tetap memancarkan kulit eksotis khas Rhea. Jika diperhatikan lebih teliti, wajah gadis itu tidak buruk. Ada aura manis dan kalem.yang berpadu menjadi satu. Gaun yang dipilih oleh salah satu penata busana yang tenar di kalangan artis itu pun tampak begitu serasi di badan mungil Rhea. Ia terlihat semakin anggun.
Rhea tertunduk. Ia tak percaya diri dengan semua yang melekat pada tubuhnya saat ini. Gavin tak memberikan komentar apapun. Ia hanya berterima kasih pada ketiga asisten yang telah membantu melakukan make over pada Rhea.
Mereka berangkat menuju hotel, tempat diadakannya pesta. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Rasanya enggan untuk saling menyapa atau sekedar berbincang ringan.
Pesta diadakan di ballroom salah satu hotel berbintang lima. Gavin mendengar kabar, tamu yang diundang sekitar lima ratus orang. Dari rumor yang beredar, Azka akan mengumumkan pertunangannya di acara tersebut.
Setiba di area parkir hotel, Gavin melirik Rhea yang tampak anteng.
“Bersikaplah sebagai mana seorang istri. Aku ingin kita berpura-pura sebagai pasangan suami istri yang saling mencintai dan harmonis di depan publik.”
Rhea mengangguk pelan, “Aku mengerti.”
Keduanya berjalan beriringan menuju ballroom. Gavin meminta Rhea untuk mengapit lengannya.
Sebagian besar tamu yang diundang hadir untuk turut merayakan kebahagiaan Azka dan seluruh staf di perusahaannya. Acara seperti ini tidak asing untuk Rhea. Dulu ayahnya kadang mengajaknya menghadiri pesta yang diadakan rekan-rekan bisnis sang ayah.
Hidangan yang disajikan dalam pesta tersebut adalah hidangan yang lezat dan terbaik, hasil kecakapan beberapa chef tenar. Senandung lagu yang didendangkan penyanyi yang sudah punya nama yang baik di kalangan pekerja seni membuat atmosfer terasa begitu romantis, sesuai dengan konsep acara yang selain mengadakan syukuran juga mengumumkan pertunangan.
“Selamat malam para hadirin. Pertama saya mengucapkan terima kasih atas kehadirannya malam ini. Kedua, selain merayakan keberhasilan perusahaan kami dalam membangun apartemen Azka, saya juga ingin mengumumkan pertunangan saya dengan seorang perempuan yang sangat saya cintai, Sandra Emerald Alexa.”
Gavin terkejut bukan kepalang mendengar nama mantan kekasih yang pernah mengisi hari-harinya dengan cinta dan kebahagiaan itu disebut. Lebih terkejut lagi kala sang gadis yang ternyata duduk di salah satu kursi digandeng tangannya oleh Azka dan dituntun naik ke stage. Tepuk tangan meriah membahana di segala sudut. Banyak senyum terulas menyaksikan moment Azka memasukkan cincin ke jari manis Sandra, kecuali Gavin yang menatap moment itu dengan hati hancur berkeping-keping. Sekuat tenaga ia mencoba move on dan menghempas jauh-jauh kenangan indah yang pernah terukir antara dirinya dengan Sandra, dan malam ini luka yang belum mengering itu kembali menganga.
Sakit, hancur, retak, sungguh semua ini begitu menyakitkan untuk Gavin. Kini ia tahu alasan sebenarnya di balik alibi Sandra yang mengatakan ingin fokus pada pendidikan dan karirnya. Ia menemukan laki-laki lain dan malah memutuskan bertunangan dengan laki-laki itu. Gavin merasa dikhianati oleh dua orang sekaligus, satu kekasihnya dan satu lagi temannya.
Gavin dan Rhea duduk di meja depan yang berdekatan dengan stage. Sandra menyadari akan kedatangan Gavin dan istrinya. Wanita cantik itu melirik Rhea sekilas. Sandra sedikit terkejut melihat wanita pilihan Gavin yang jauh dari kriteria sang mantan. Wanita itu terlihat sederhana dan polos.
Gavin sempat beradu pandang dengan Sandra. Ada rasa pedih setiap kali melihat wanita itu. Seseorang yang dulu ia harapkan menjadi sandaran untuk berbagi dan membangun masa depan bersama, kini bertunangan dengan rekan sekaligus pesaing bisnisnya. Ia berpikir, Azka sengaja mengundangnya untuk membuka kembali luka lamanya.
Sesi berikutnya adalah game dansa antar pasangan. Masing-masing pasangan akan dinilai kekompakannya saat berdansa dan pemenang game akan mendapat hadiah berupa satu set berlian mewah.
Gavin menggandeng Rhea melangkah maju ke dance floor untuk ikut berpartisipasi. Bukan set berlian itu yang ia kejar, tapi semata ingin menunjukkan pada Sandra bahwa ia sudah move on dan bahagia dengan pernikahannya.
Cukup banyak pasangan yang mengikuti permainan. Rhea merasa canggung saat Gavin mengarahkan tangannya untuk melingkar di leher sang suami, sedangkan kedua tangan Gavin memeluk pinggang Rhea. Ini pertama kali bagi keduanya berdansa dan berpelukan.
Kedua insan itu saling menatap dengan rasa gugup yang mendominasi. Menatap wajah Gavin sedekat ini hadirkan debaran tak menentu di d**a Rhea. Ia belum pernah berinteraksi fisik sedekat ini dengan laki-laki. Sensasi berdansa diiringi lagu romantis ternyata bisa mendebarkan dan membuatnya deg-degan tak menentu. Dalam hati ia bermonolog, kenapa ini harus pura-pura? Bisakah ini menjadi nyata? Namun ia segera membangunkan dirinya dari angan yang hanya sekejap. Ia tak akan berharap. Ini hanya pura-pura. Ia tak mau terbawa perasaan. Bahkan ketika Gavin menatapnya lekat, Rhea berusaha untuk menganggapnya sebagai tatapan biasa kendati ada desiran yang tak bisa ia cegah. Rhea tak ingin jatuh pada laki-laki itu jika pada akhirnya akan berujung kecewa.
Sandra dan Azka ikut turun ke dance floor, bukan sebagai peserta game, tapi untuk sekedar berdansa. Tanpa sengaja mata Gavin bertabrakan dengan mata indah Sandra. Dan entah dari mana datangnya ide itu, Gavin mencium bibir Rhea tepat di hadapan Sandra.
Rhea terperanjat. Ia tak menyangka Gavin akan mencumbunya di muka publik. Ia belum pernah berciuman sebelumnya. Ia tak tahu bagaimana membalas ciuman itu. Rhea hanya meresapi lembutnya bibir Gavin menyapu bibirnya. Laki-laki itu mencoba melumat, tapi Rhea tak membalas apapun. Bibirnya masih terkatup. Sementara gemuruh di dadanya masih saja berkecamuk. Deg-degan luar biasa...
Gavin tertegun sesaat. Wanita di hadapannya ini begitu pasif. Ini pertama kali ia mencium perempuan tanpa balasan berarti.
Sandra mengalihkan tatapannya ke arah lain. Entah kenapa ia sakit melihat keromantisan yang terbangun antara Gavin dan istrinya. Ia tahu, ia tak berhak untuk sakit. Ia dan Gavin sudah tak memiliki hubungan apapun meski jauh di dasar hatinya, masih ada rasa terpendam untuk sang CEO. Ia menerima Azka semata karena menuruti keinginan orang tuanya.
Pesta itu berakhir jua. Gavin dan Rhea berhasil memenangkan game dan berhak atas hadiah utama. Keduanya kembali ke apartemen dengan perasaan yang berbeda. Gavin masih saja patah hati karena kecewa atas pertunangan antara Sandra dan Azka, sedang Rhea masih belum bisa menghilangkan jejak bibir Gavin di bibirnya. Entah kenapa sapuan lembut bibir Gavin masih terasa membekas.
Setiba di apartemen, keduanya saling diam, enggan untuk saling bicara. Mendadak ada rasa sungkan yang jauh lebih mengacaukan dibanding sebelumnya.
Rhea berganti gaun tidur yang terlihat manis dan pas membalut tubuh mungilnya. Lagi-lagi ini ujian untuk Gavin, ujian untuk menahan diri agar jangan sampai tergoda menyentuh Rhea. Entah, jika terus disuguhi paha mulus setiap malam, mungkin pertahanannya akan jebol juga.
Keduanya duduk selonjoran di ranjang, tanpa kata. Rasanya Gavin tak bisa lagi memendam rasa ingin tahunya akan alasan Rhea yang tak membalas ciumannya saat berdansa tadi. Ini seperti pengabaian untuknya.
“Kenapa kamu diam saja waktu aku cium? Kenapa nggak balas?”
Rhea sama sekali tak menyangka bahwa Gavin akan bertanya seperti ini.
Rhea tertunduk lalu memberanikan diri menatap sang suami.
“Aku... Aku.... Aku...nggak tahu cara membalasnya. Aku belum pernah berciuman sebelumnya.”
Wajah Rhea terlihat sendu dengan sorot mata bening yang memendarkan aura polosnya. Wajah innocent itu tampak tanpa beban saat menjawab, seperti muka anak-anak yang terlalu polos.
“Lain kali jika aku menciummu di publik, balas ciumanku agar orang menilai bahwa hubungan kita baik-baik saja dan manis.”
Rhea terpaku sejenak.
“Aku malu sebenarnya. Kenapa tadi kamu menciumku?”
Gavin menatap Rhea lekat.
“Jangan salah paham. Aku menciummu bukan karena tertarik padamu. Aku hanya ingin membuat Sandra cemburu. Sandra tunangan Azka adalah mantan kekasihku,” tandas Gavin.
Ia berbaring dan memejamkan mata, tak menyadari ada kekecewaan tergambar di ekspresi wajah Rhea. Gadis itu berusaha untuk menganggap ciuman itu sebagai moment biasa yang tak berarti apa-apa.
******