Part 4

1356 Kata
Part 4   Pagi ini seperti biasa Rhea beraktivitas di dapur setelah sholat Subuh. Gavin masih terlelap, apalagi sekarang hari Minggu, kemungkinan Gavin akan bangun lebih siang. Rhea memasak sop ayam, telur dadar, dan tumis brokoli. Sebenarnya ia bingung memasak apa. Di rumahnya dulu, Bibi Lilis sering memasak sop dan tumis brokoli. Ia browsing resep di internet dan memilih resep yang menurutnya simple dan mudah dipraktikkan. Seusai masak, Rhea mandi agar badan lebih segar dan wangi. Ia memilih dress simpel tanpa lengan, kerah yang agak rendah, dan rok dress yang mini, lagi-lagi mengumbar paha mulusnya. Ia mencoba berpakaian sesuai selera Gavin. Lama-lama ia terbiasa dengan model pakaian seperti ini. Ia hanya berani mengenakannya di apartemen, semata untuk tampil lebih menarik di mata Gavin. Ia mengambil sebotol parfum yang dulu diberikan keluarga Gavin untuk seserahan pernikahan. Ia suka wanginya. Gadis mungil itu kembali ke dapur untuk menyeduh kopi. Sudah jam tujuh, ia menduga, Gavin akan bangun sebentar lagi. Benar saja, suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, yang artinya Gavin sudah bangun. Laki-laki itu keluar setelah menggosok gigi dan mencuci muka. Ia terkejut saat aroma kopi menyeruak. Ia melirik Rhea yang meletakkan secangkir kopi di meja makan. Bukan kopinya yang menarik perhatiannya, tapi penampilan Rhea yang semakin hari semakin menantang. Bagaimana tidak? Dress yang ia kenakan berukuran mini, mengekspos paha mulusnya dan gaun itu juga menonjolkan belahan dadanya. Gavin sekuat tenaga menahan godaan di pagi ini. Ia tak mencintai Rhea dan tak akan melakukan sesuatu padanya. “Aku buatkan kopi dan udah masak juga,” ucap Rhea seraya mengulas senyum manisnya. Gavin melirik secangkir kopi dan makanan yang tersaji di atas meja. Ia menarik mundur salah satu kursi lalu duduk. Ia menyeruput kopi itu dan menyesapnya dalam-dalam. Rhea duduk di hadapan Gavin. Ia senang karena Gavin mau meminum kopi buatannya. Kopi itu terlalu manis untuk Gavin. “Aku biasa minum kopi dengan sstu sendok teh gula, itu sudah cukup,” ujar Gavin datar. Rhea tahu, Gavin tengah mengkritik kopi racikannya yang sepertinya terlalu manis. “Apa terlalu manis?” tanya Rhea memicingkan matanya. Gavin hanya melirik Rhea sepintas lalu kembali menyeruput kopinya. Ia tak menjawab. “Apa Mas mau sarapan juga?” tanya Rhea lagi. Gavin mengangguk pelan. Penampilan masakan Rhea cukup membuatnya penasaran. Nasi goreng yang kemarin Rhea masak, rasanya aneh. Mungkin kali ini sedikit keberuntungan singgah, masakan itu layak dimakan. Semua menu itu bisa mudah dimasak Gavin. Namun ia ingin mencicipi buatan Rhea. Rhea mengambilkan secentong nasi beserta lauknya. Ia juga menuang sup ke dalam mangkok kecil. Rhea meletakkan piring itu di hadapan Gavin. Setelah itu ia mengambil nasi untuk dirinya sendiri. Keduanya melahap makanan masing-masing tanpa saling bicara. Rasa masakan Rhea kali ini lebih layak dibanding nasi goreng waktu itu. Meski tidak istimewa, tapi ada peningkatan berarti. Gavin tak berkomentar apapun. Sejatinya ia bukan tipe yang pilih-pilih makanan. Dari masakan pedagang di pinggir jalan sampai makanan restoran mewah, jika ia suka, ia akan memakannya. Dan meski rasa makanan hambar sekalipun, jika makanan itu hanya satu-satunya makanan yang ada, dia akan memakannya. Tatapan laki-laki itu sesekali menyasar pada penampilan Rhea yang cukup berani untuk ukuran seorang gadis polos yang sebelumnya selalu mengenakan pakaian kedodoran. Tatapan itu seolah menghunus, menelisik setiap jengkal tubuh Rhea. Tulang selangka yang menonjol menjadi pertanda tubuh kurusnya. Namun entah kenapa terlihat begitu seksi. Wajah gadis itu tampak tenang dengan kacamata yang menutupi keindahan matanya. Gavin melihat Rhea tanpa kacamata beberapa kali. Sebenarnya ia memiliki sepasang mata yang indah dan bening. Gavin bingung sendiri, gadis ini polos tapi seakan tahu banyak bagaimana memikat laki-laki hanya dengan mengenakan pakaian yang agak terbuka. Rambutnya yang kurang tebal disanggul di belakang dan ia biarkan sedikit poni jatuh menutupi dahinya, membuat wajah itu terlihat begitu cute. Leher jenjang Rhea terpapar sempurna, begitu juga dengan tengkuknya dan ini menghadirkan sekelebat fantasi di otak Gavin. Ia membayangkan meninggalkan jejak kecupan di leher jenjang itu. Gavin mengerjap, kembali mengingatkan diri sendiri untuk menahan diri. Ia tak mau tergoda oleh Rhea. Rhea menyadari dirinya tengah ditatap sedemikian menelisik oleh Gavin. Ia menghentikan gerakan mulutnya yang tengah mengunyah makanan. Selanjutnya ia memberanikan diri mengangkat wajahnya dan balik menatap Gavin. Suasana yang sangat awkward ketika Rhea memergoki Gavin tengah menatapnya tapi laki-laki itu mencoba bersikap biasa saja. Biasanya dia kan memalingkan wajahnya ke arah lain. Kali ini tetap memusatkan penglihatannya pada sosok yang tak seberapa cantik dan seksi itu, tapi nyatanya mampu membuat pria itu tak sedikit pun mengalihkan pandangannya. Keduanya saling menatap seakan lupa pada interaksi keduanya yang masih minim. Mungkin tatapan itu cukup mewakili getaran yang mulai menyapa. Mendadak Rhea merasa gugup dan salah tingkah sendiri. Untuk menetralkan kegugupannya, ia menyantap kembali makanannya. Sesekali ia melirik Gavin dan laki-laki itu masih menatapnya. Rhea semakin canggung. Dering ponsel Gavin membuyarkan kecanggungan itu. Gavin mengangkat telepon. “Ya, Pa...” Gavin mengaktifkan speaker. “Gavin kalau kamu ingin cuti honeymoon, lebih baik sekarang saja ambil cutinya. Kalau menunggu sampai nanti, pekerjaan kamu akan semakin padat.” Gavin beradu pandang dengan Rhea. “Tidak apa-apa, Pa. Tidak honeymoon juga tidak masalah.” “Ya honeymoon juga penting agar waktu kalian untuk berdua lebih berkualitas. Papa ingin cepat dapat cucu.” Seketika Gavin dan Rhea melongo sejenak. Keinginan yang tak mungkin terealisasi selama tidak ada kontak fisik yang intim antar keduanya. “Sabar aja, Pa. Kalau udah waktunya juga pasti dikasih cucu.” “Ya, sudah, Papa mau sarapan dulu. Salam untuk Rhea.” Gavin menatap Rhea kembali. Rhea menunduk. “Apa orang tua Indonesia selalu begini, baru saja menikah sudah berharap ingin dapat cucu,” gumam Gavin. “Pernikahan memang begitu, kan? Sudah wajar dan normal jika suatu saat hadir anggota baru dalam keluarga. Kecuali jika....” ucapan Rhea menggantung. Ia sungkan untuk meneruskan. “Kecuali apa?” tanya Gavin segera. Rhea membisu. “Aku tanya kecuali apa? Kenapa tidak diteruskan?” tanya Gavin lagi. Rhea mengembuskan napas. “Kecuali jika suami tidak pernah menyentuh istrinya, maka harapan orang tua untuk memiliki cucu tidak akan terwujud,” jawab Rhea pelan tanpa berani menatap Gavin. “Menyentuh yang bagaimana? Apa dengan hanya menyentuh tangannya, bisa membuat hamil?” Gavin mencoba meledek Rhea, ingin tahu sejauh mana pikiran gadis polos itu berkelana. Wajah Rhea memerah. Bagaimana bisa Gavin bertanya hal seperti itu. “Kenapa tidak menjawab?” cecar Gavin. “Mas pasti jauh lebih paham dariku,” sahut Rhea menimpali. Gavin menyeringai. Ia bangkit dari posisinya. Langkahnya semakin dekat pada gadis itu. Debaran di d**a Rhea semakin bertalu. Gavin menyandarkan tangannya di meja dan ia menundukkan badannya hingga jarak antara dirinya dan Rhea semakin dekat. Rhea gugup dan deg-degan kala wajah Gavin terpampang begitu dekat di depan matanya. Pria itu menatapnya penuh selidik. “Kamu menantangku untuk menyentuhmu?” Pertanyaan Gavin membuat semburat merah di wajah Rhea semakin kentara. Rhea mendorong mundur kursi yang didudukinya agar semakin menjauh dari Gavin. Ia beranjak dan berbalik. Saat hendak melangkah, Gavin mencengkeram tangan Rhea dan mendorong gadis itu hingga menghimpit dinding. Rhea tersentak kaget. Gavin mengurung gadis berkacamata itu dengan kedua tangannya yang ia sandarkan di dinding, di sisi kanan dan kiri tubuh mungil Rhea. Gadis itu semakin deg-degan hingga napasnya terdengar memburu. Gavin mendekatkan wajahnya, memiringkan sedikit dan mencoba menyentuh ujung bibir Rhea dengan bibirnya. Rhea memiringkan wajahnya ke kanan, menghindari ciuman Gavin. Laki-laki bercambang tipis itu tak menyerah. Ia memiringkan wajahnya kembali dan berusaha mencium bibir Rhea dari arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Lagi-lagi Rhea memiringkan wajahnya kembali. Gavin yang kesal dengan ulah Rhea menangkup kedua pipi Rhea dengan kedua tangannya. Ia menghadapkan wajah Rhea agar mau menatapnya. Napas wanita itu terdengar berkejaran. Gavin mendekatkan wajahnya. Kali ini Rhea pasrah. Ia terpejam. Gavin menelusuri garis pipi Rhea dengan jari-jarinya. Ditatapnya wajah Rhea yang terlihat cemas dan takut. Entah kenapa wajah Rhea terlihat begitu manis, jauh lebih menarik dari sebelumnya. Laki-laki itu hanya mengusap bibir Rhea, setelah itu ia menjauh dan melangkah meninggalkan Rhea yang mematung. Ia tak ingin jatuh pada gadis itu. Rhea membuka matanya. Entah, ia harus lega atau kecewa karena Gavin tak jadi menciumnya. Debaran itu masih merajai. Rhea meraba dadanya dan merasakan degup jantungnya berpacu lebih cepat. Tanpa tahu alasannya, senyum itu tiba-tiba terulas. Ia tak mampu mendeskripsikan perasaannya. Ia hanya merasa bahagia. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN