Part 6

1658 Kata
Part 6   Rhea keluar dari kamar mandi dengan sudah berganti baju. Ia memilih dress lebih simpel, berkancing, dan berlengan pendek. Gavin menatapnya dengan kekesalan yang terpendam. Ia mengamati cara Rhea menyisir rambutnya. Entah, gadis itu terkadang begitu membingungkan. Ia terlihat polos tapi nyatanya ia berani bermain di belakangnya. Rasanya ia perlu berhati-hati menghadapi Rhea. Atau memang semua perempuan berpotensi untuk mendua seperti yang dilakukan Sandra. Ia yakin benar Sandra sudah berhubungan lama dengan Azka, jauh sebelum mereka putus. Rhea beranjak. Tatapannya menyasar pada sosok suami yang duduk termenung di ujung ranjang. Tatapannya begitu menelisik, entah apa yang dipikirkan.  Adzan Subuh berkumandang merdu. “Mas, udah adzan. Apa Mas nggak ingin sholat Subuh bareng? Atau mungkin Mas mau ke Masjid?” Rhea ingin Gavin lebih disiplin lagi dalam beribadah. Ia tahu, tak mudah membuka hati Gavin yang mungkin telah lama mengabaikan kehidupan spiritualnya. Gavin terdiam. Ia memang belum sadar dan belum tergerak untuk menjemput hidayah. Rhea pun tahu diri dengan tak lagi memaksa. Apalagi wajah Gavin terlihat merah seperti memendam kekesalan. Rhea sholat Subuh, sedang Gavin masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Seusai sholat, Rhea melangkah nenuju dapur untuk merebus air, membuat kopi, dan memasak menu sarapan sederhana. Gavin masih terpekur di ruang tengah sembari menyalakan televisi agar suasana tak begitu beku. Rasanya ia tak tahan lagi untuk terus-terusan diam. Mungkin selama ini ia terlalu longgar menghadapi Rhea. Gadis itu akan semakin nglunjak jika dia membiarkannya berteman dengan siapapun, terutama orang yang tak jelas identitasnya dan memprovokasi lewat chat. Atau karena belakangan ini ia berusaha menyentuh gadis itu hingga akhirnya Rhea besar kepala dan merasa diinginkan dan dengan seenaknya menyulut api di belakangnya. Gavin berjalan menuju dapur. Rhea terkesiap dengan kedatangannya. Ia tengah mencuci wortel. “Aku udah bikinin Mas kopi.” Rhea melirik secangkir kopi di atas meja. Gavin melirik sekilas. “Rasanya tidak terlalu manis. Aku cuma pakai satu sendok teh,” lanjut Rhea. Gavin tak merespons. Ia acuh tak acuh dengan secangkir kopi itu. Minatnya terhadap kopi mendadak hilang. “Apa sebelum menikah denganku, kamu punya pacar?” pertanyaan Gavin terlontar begitu saja, tanpa pembuka, tanpa basa-basi, dan sukses membuat Rhea menyipitkan alisnya. Gadis itu tak pernah menyangka Gavin akan bertanya seperti ini. “Aku tak pernah berpacaran. Jika aku punya pacar, aku akan berpikir berulang kali untuk menikah sama Mas.” Gavin tersenyum miring. “Siapa itu Sky?” Gavin bersedekap dan menatap Rhea penuh selidik. Ekspresi wajahnya begitu dingin. Rhea menyadari, Gavin telah membaca isi chat-nya dengan Sky. Ia bingung apa ia harus menyalahkan Gavin karena telah lancang membaca isi chat-nya dengan Sky? Namun apa memang bisa disebut lancang sementara suami istri harus terbuka satu sama lain. “Sky adalah teman lama. Aku mengenalnya jauh sebelum kita menikah,” jawab Rhea tenang. Lagi-lagi Gavin menyeringai. “Teman lama, ya? Sampai-sampai dia memanggilmu sayang di chat terbarunya? Sayang, sudah bangun belum? Romantis sekali.” Gavin memalingkan muka. Rhea mengernyit. Ia belum membaca isi chat Sky yang terbaru. “Dia perempuan,” sela Rhea segera. “Perempuan? Perempuan memanggil sayang? Apa kamu lesbian?” Gavin menajamkan matanya. “Aku bukan lesbian. Bukankah sudah hal wajar sesama perempuan terkadang menyapa dengan panggilan sayang, beb, bahkan chat dengan emoticon kiss, love... Apa hal seperti ini disebut lesbian?” Rhea berusaha membela diri karena ia merasa Gavin menuduhnya berselingkuh. “Aku tidak pernah memanggil teman cowok dengan panggilan sayang di chat,” sela Gavin ketus. “Jelas, kalau sesama cowok memanggil sayang jelas terkesan aneh, bisa-bisa disebut gay,” Rhea menimpali. “Kamu yakin kalau dia perempuan? Kamu kenal dia dari mana? Dari isi chat kamu, aku bisa merasakan hubungan yang sangat dekat antara kalian. Sampai-sampai kamu ceritakan permasalahanmu dengannya.” Gavin terus mencecar. “Aku tidak punya teman untuk berbagi cerita. Kami memang belum pernah bertemu dan selama ini selalu berkomunikasi lewat chat. Awal berkenalan dengannya, aku pernah bertanya, apa dia perempuan? Dia bilang, ya, dia perempuan.” Gavin tak merespons. Ia tak percaya begitu saja. “Sekarang Mas bayangin, aku punya trauma masa lalu karena ibuku berselingkuh. Aku sebenarnya takut menikah. Dari SD aku sudah menjadi korban bullying. Aku tak punya teman akrab. Aku selalu merasa orang-orang tak mau berteman denganku. Mereka menjauh. Bahkan saat menikah pun, Mas memperlakukanku begitu buruk di awal. Hingga sekarang Mas belum menerimaku. Aku merasa tak dianggap. Apa aku salah jika aku berbagi cerita pada Sky?” Rhea menyuarakan isi hatinya. Sesuatu yang jarang dilakukannya, melontarkan apa yang berkecamuk di hati pada seseorang yang bisa ia lihat secara nyata. “Dulu tak salah, tapi sekarang salah karena kamu menceritakan begitu detail pada Sky tentang masalah perusahaan. Dari yang aku baca, Sky sepertinya tahu banyak tentang keluargaku dan seolah mengenalku. Dia menyebutku hanya memikirkan d**a, paha, s**********n, apa-apaan? Tahu apa dia? Meski aku b***t, aku tak pernah membawa perempuan manapun ke ranjang. Silakan jika dia mau bertaruh denganku. Dari isi chat-nya , jelas dia bukan seseorang yang sekadar kamu kenal dari dunia maya. Dia tahu kehidupan nyatamu. Dan aku curiga, dia laki-laki.” Intonasi suara Gavin terdengar meninggi dan penuh penekanan. “Aku nggak pernah menceritakan detail masalah perusahaan padanya. Aku juga bingung kenapa dia bisa tahu. Aku tak pernah bercerita siapa nama ayahku, papamu, nama perusahaan, dan aku hanya memberi tahu namamu. Dia juga tinggal di tempat jauh, di luar Jawa.” Gavin menggeleng pelan. “Jelas dia orang yang tahu banyak tentang perusahaan properti. Siapa yang tidak mengenal Gavin Raditya Angkasa? Siapa yang tidak tahu perusahaan Andre Angkasa di dunia usaha properti? Mudah untuknya mencari tahu. Apalagi kamu menggunakan nama aslimu. Orang-orang dari usaha properti tahu bahwa Gavin Raditya Angkasa baru saja menikah dengan perempuan bernama Rhealita.” Rhea tercenung. Ia semakin penasaran akan sosok Sky. Apa mungkin apa yang dikatakan Gavin benar adanya? “Aku tidak suka kamu berkomunikasi dengannya lagi. Identitasnya tak jelas. Dan aku sangat yakin dia adalah laki-laki. Atau mungkin kamu memang punya hubungan spesial dengannya?” Tuduhan Gavin membuat Rhea tersudut. Ia tak terima. “Tuduhan Mas nggak berdasar. Aku tahunya dia perempuan, Mas. Demi Allah, aku nggak pernah berpikiran kalau dia laki-laki. Kalau soal hubungan spesial dengan orang lain, harusnya aku yang mempertanyakan pada Mas Gavin. Sehari setelah kita menikah, Mas bawa perempuan lain ke apartemen dan menciumnya di depanku.” Gavin bungkam. Ia tak menduga pada akhirnya Rhea yang pendiam, penakut, lemah, kini menunjukkan power-nya dengan berani mementahkan kata-katanya. Atau memang perempuan sediam apapun akan ada masanya berubah menjadi cerewet dan sedikit galak setelah menikah? “Aku tak punya hubungan apapun dengan Gladisa.” Gavin sedikit menurunkan volume suaranya. “Tak punya hubungan apapun tapi dengan mudahnya berciuman. Bagaimana jika punya hubungan khusus.” Rhea menaikkan sebelah sudut bibirnya, tersenyum sinis. Gavin menatap Rhea tajam. Wanita di hadapannya ternyata begitu menggemaskan ketika sedang marah. “Menurutmu apa yang akan dilakukan jika dua orang punya hubungan khusus?” Gavin bertanya dengan nada tegas. Rhea melirik Gavin sekilas lalu kembali mengalihkan tatapan ke arah lain. Gavin bergerak maju, mendekat pada Rhea. Gadis itu refleks mundur ke belakang. Gavin terus melangkah ke depan, Rhea mundur teratur hingga akhirnya ia berhenti karena tubuhnya sudah menghimpit dinding. Gavin menyandarkan sebelah tangannya di dinding dan menatap Rhea dari jarak yang begitu dekat. Rhea kembali deg-degan. “Apa yang bisa dilakukan okeh dua orang yang memiliki hubungan khusus? Terutama yang sudah menikah?” Gavin semakin mendekatkan wajahnya. Ia menatap wajah Rhea begitu menelisik. Gadis itu terlihat grogi, gugup, dan salah tingkah. Rhea berusaha menyapu pandangan ke sudut lain. Ia tak berani membuat kontak mata dengan Gavin yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. “Kenapa diam saja? Jika yang tidak memiliki hubungan khusus bisa berciuman, berarti yang sudah menikah bisa lebih dari itu?” Gavin menelusuri pipi Rhea dengan jari-jarinya. Debaran semakin bergemuruh di d**a Rhea. Ia membeku dalam kecanggungan tapi juga menikmati sensasinya yang entah kenapa menghadirkan desiran tak menentu. Rhea semakin gugup kala Gavin mengecup lehernya dan jari-jarinya terampil melepas kancing di baju yang Rhea kenakan. Dering ponsel Gavin membuyarkan moment intim yang hampir terbangun itu. Gavin mundur sejengkal dan berjalan menuju ruang tengah. Ia ambil smartphone dan mengangkatnya. “Apa? Ke kantor sekarang? Okay, saya mandi dulu.” Gavin mendesau kesal. Gavin melangkah menuju kamar mandi. Rhea mengancingkan kembali bajunya. Debaran itu masih menguasai. Interaksi semakin dekat. Gavin sudah tak sungkan lagi untuk memulai membangun kontak fisik dengannya. Selama Gavin mandi, Rhea melanjutkan aktivitas memasaknya. Seusai mandi dan berpakaian, Gavin mengambil ponsel Rhea. Ia menyodorkan satu ponsel miliknya pada Rhea yang jarang dipakai. “Sementara pakai ponsel ini dulu. Di situ sudah ada nomorku, papa, dan ayahmu. Ponselmu aku bawa. Aku tak akan membiarkan Sky lolos dan terus mengusikmu.” Gavin duduk dan menyeruput kopinya yang sudah dingin. Rhea tak pernah mengira, Gavin akan menyita ponselnya. Ia bahkan belum sempat menanyakan pada Sky apa maksudnya memanggilnya sayang. “Mas tidak sarapan?” tanya Rhea memecah ketegangan yang sempat terjadi lima belas menit yang lalu. Gavin menggeleng, “Aku buru-buru. Ada urusan kantor. Aku akan sarapan di kantor.” “Atau aku siapkan bekalnya?” Gavin menatap gadis itu sejenak. Ia melirik hidangan yang tersaji. Rhea sudah memasak semua itu untuknya. Pria itu tak enak hati jika menolak. Gavin mengangguk pelan. Rhea tersenyum lega. Ia mengambil kotak bekal dan menyiapkan bekal itu cepat. Ada yang berbeda dari cara Gavin berpamitan hari ini. Biasanya dia jarang berpamitan. Kali ada kemajuan berarti. Ia berpamitan pada Rhea. Meski belum ada cium kening dan jabat tangan, Rhea bersyukur atas perubahan kecil yang terasa bermakna itu. Setelah Gavin berangkat, ia melanjutkan aktivitas membersihkan apartemen. Meski Gavin memiliki uang untuk menggaji asisten, tapi Rhea tak akan meminta Gavin untuk mempekerjakan seorang asisten. Ia bisa mengatasinya. Rhea berpikir, seperti inilah menjadi seorang istri. Ia berusaha melakukan apa yang dia bisa dan keluar dari image lemah dan manjanya. Hidup itu tak mudah dan untuk bertahan, uang, kedudukan, itu tak cukup, karena manusia juga harus memiliki ketrampilan. Ia tak akan sepenuhnya bergantung pada Gavin. Dia akan melakukan sendiri apa yang bisa ia lakukan. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN