Malam itu udara terasa berat. Sisa keramaian di rumah Pak Lurah perlahan mereda. Warga sudah kembali ke rumah masing-masing setelah menyaksikan pernikahan mendadak antara Indira dengan Arman.
Begitu pun dengan Indira dan Arman. Kini, mereka sudah berada di ruang tamu rumah Bik Ningsih dengan didampingi oleh dua lelaki yaitu Usman serta Wawan.
Cahaya lampu menyoroti wajah-wajah lelah yang masih belum sepenuhnya percaya pada kejadian malam itu. Indira duduk di ujung kursi panjang dengan kepala tertunduk, sementara Bik Ningsih duduk di sebelahnya, sesekali mengelus bahu gadis itu untuk menenangkan.
Arman duduk berhadapan, wajahnya tenang meski di balik tatapan matanya tersimpan rasa campur aduk: tanggung jawab, bingung, sekaligus takut salah langkah.
“Indira!” suaranya memecah keheningan, pelan tapi tegas. “Saya minta maaf karena sudah lancang… berani sekali menikahi kamu tanpa izin, tanpa bicara panjang. Jujur, saya juga nggak nyangka kalau saya bisa seberani itu tadi.”
Indira mendongak perlahan. Matanya masih sembab, tapi suaranya lembut, nyaris seperti bisikan. “Kenapa Pak Arman harus minta maaf? Justru saya yang harusnya berterima kasih. Kalau bukan karena Pak Arman, mungkin saya sudah dipaksa menikah dengan Dimas. Saya tidak tahu harus bagaimana tadi kalau Bapak tidak datang.”
Wawan yang duduk di pojok hanya menunduk. Ia paham betul apa yang terjadi malam itu benar-benar di luar dugaan siapa pun. Sementara Usman bersandar di kursi, memandangi dua orang yang kini telah sah menjadi suami-istri itu dengan perasaan kagum sekaligus iba.
“Pak Arman benar-benar nekat tadi,” gumam Usman setengah bercanda. “Tapi kalau bukan Bapak yang maju, mungkin nasib Mbak Indira sudah lain," lanjutnya.
Arman tersenyum kecil mendengarnya. Pria itu menatap salah satu anak buahnya yang menjadi saksi pernikahannya dengan Indira. “Saya cuma nggak bisa diam lihat ketidakadilan, Man. Apalagi menyangkut perempuan baik yang teraniaya karena fitnah.”
Bik Ningsih menarik napas panjang. “Pak Arman, apa pun alasannya, bibik tetap berterima kasih. Kamu sudah selamatkan nama baik Indira. Tapi jujur saja, semua ini begitu cepat, Pak. Bibik masih belum bisa percaya kalau Indira sekarang sudah bersuami.”
“Indira,” ujar Arman dengan nada lembut tapi mantap, “saya yakin semua ini bukan kebetulan. Mungkin memang sudah jalannya Allah seperti ini. Saya juga nggak punya jawaban kenapa harus terjadi, tapi yang pasti saya ikhlas. Saya nggak menyesal sudah membantu kamu.”
Indira menatapnya, ragu. “Ikhlas? Tapi Pak Arman… bagaimana mungkin kita bisa menjalani pernikahan ini, kalau di antara kita sendiri tidak ada yang menginginkan hal ini terjadi?”
Pertanyaan itu membuat ruangan kembali hening. Hanya suara jangkrik di luar jendela yang terdengar samar. Arman menarik napas panjang, lalu menatap Indira dalam-dalam.
“Benar,” katanya pelan. “Mungkin awalnya kita berdua nggak menginginkan ini. Tapi saya percaya setiap kejadian pasti punya maksud. Tentang kesabaran, tentang keikhlasan… dan mungkin, tentang menerima takdir.”
Bik Ningsih mengangguk setuju, matanya berkaca-kaca. “Nduk, kalau Allah sudah menulis jodohmu dengan cara seperti ini, berarti memang sudah jalannya. Kadang kita nggak bisa milih gimana kisah hidup dimulai, tapi kita bisa pilih bagaimana menjalaninya.”
Indira terdiam lama. Kata-kata itu menembus hatinya. Ia tahu Bik Ningsih benar, tapi menerima sesuatu yang datang tiba-tiba bukan hal mudah. Ia masih belum tahu bagaimana harus bersikap pada pria yang kini sah menjadi suaminya, tapi juga masih terasa seperti orang asing baginya.
Arman tampak memahami kegelisahannya. “Untuk sementara,” ucapnya hati-hati, “biarkan semua berjalan apa adanya dulu, ya, In. Saya juga tidak akan menuntut apa pun dari kamu. Saya tahu kamu butuh waktu — dan saya pun begitu. Kita sama-sama butuh waktu untuk menerima keadaan ini.”
Indira menunduk, suaranya pelan. “Terima kasih, Pak Arman, karena Bapak mau mengerti. Saya janji tidak akan mempermalukan Bapak. Saya akan tetap bersikap sopan dan menjaga nama baik pernikahan ini.”
“Tidak perlu janji,” jawab Arman lembut. “Saya tahu kamu perempuan baik. Saya yakin kamu akan melakukan yang terbaik tanpa harus disuruh.”
Suasana sedikit mencair. Wawan yang sedari tadi diam mulai tersenyum kecil. “Kalau gitu, saya doain semoga pernikahan mendadak ini jadi awal yang baik ya, Pak, Mbak.”
Usman menimpali sambil terkekeh. “Iya, siapa tahu nanti malah beneran jatuh cinta, kan?”
Bik Ningsih menatap keduanya tajam. “Kalian ini ada-ada aja. Urusan orang baru nikah, sudah main godain aja.” Tapi senyum tipis muncul juga di wajah tuanya, setidaknya ketegangan mulai mereda.
Arman berdiri perlahan. “Sudah malam. Saya pamit dulu, Bik. Nanti biar Indira istirahat. Besok saya ke sini lagi kalau diperlukan.”
Bik Ningsih tampak khawatir. “Pak Arman nggak mau nginep di sini saja? Biar nggak jauh-jauh balik ke kontrakan.”
Arman menggeleng sopan. “Terima kasih, Bik, tapi biar saya di kontrakan saja dulu. Kita jalani ini pelan-pelan, nggak usah terburu-buru. Lagipula, saya nggak mau bikin Indira merasa canggung.”
Indira menatapnya sejenak sebelum berkata “Hati-hati di jalan ya, Pak Arman.”
Arman mengangguk dan tersenyum. “InsyaAllah. Kamu juga istirahat. Jangan terlalu dipikirkan, ya. Besok akan lebih baik dari malam ini.”
Ia melangkah ke luar rumah, diikuti oleh Usman dan disusul oleh Wawan yang juga ikut berpamitan pulang. Malam itu dingin, tapi di d**a Arman justru terasa hangat. Entah kenapa, meskipun pernikahan itu datang begitu tiba-tiba, ia merasa seperti sedang menjalani sesuatu yang memang sudah ditakdirkan sejak lama.
Sementara di dalam rumah, Indira duduk termenung di kursinya. Bik Ningsih menatapnya penuh kasih, lalu berkata pelan, “Nduk, kalau Allah sudah menempatkan seseorang di hidupmu, pasti ada alasan. Jangan takut. Jalani saja satu hari demi satu hari.”
Indira menatap jendela, memandangi bintang yang bersinar redup di langit malam. “Iya, Bik. Mungkin memang ini sudah jalan-Nya.”
Dan malam itu berakhir dengan perasaan ganjil di hati keduanya — campuran antara lega, takut, dan tanda tanya besar tentang masa depan yang baru saja dimulai dengan cara yang tak pernah mereka duga.
•••
Esok paginya, tidak ada yang berubah dari aktifitas di rumah Indira. Pesanan katering masih membludak meski kejadian semalam sempat menghebohkan dan masih menjadi perbincangan hangat di desa.
Aroma tumisan bumbu dan wangi nasi uduk sudah memenuhi dapur rumah Bik Ningsih. Para ibu yang biasa membantu usaha katering kecil itu mondar-mandir membawa panci, mengiris bawang, dan mencuci sayur di belakang rumah. Indira, dengan wajah masih lelah tapi tetap ramah, ikut membantu menata kotak makanan.
Sudah semalam penuh ia tak bisa tidur nyenyak. Tatapan orang-orang desa masih terbayang di kepalanya, suara penghulu yang mengucapkan akad masih bergema di telinganya. Ia menikah—dengan cara yang sama sekali tak ia rencanakan.
“Eh, Mbak Indira!” seru Bu Siti, salah satu ibu yang membantu di dapur, sambil menyenggol lengan temannya. “Gimana rasanya jadi istri Pak Arman? Dengar-dengar Pak Arman itu kan orang kota, ya?”
“Wah iya, bener tuh,” sahut Bu Yanti ikut menimpali sambil tertawa kecil. “Bener-bener keberuntungan. Nggak dapat Dimas, malah dapat Pak Arman. Coba bayangin kalau sampai Dimas yang berhasil nikahin Mbak Indira… pasti makan hati tiap hari.”
Yang lain langsung tertawa cekikikan, membuat wajah Indira semakin panas. Ia menunduk, mencoba tetap tersenyum sopan meski dadanya terasa sesak.
“Ah, Bu… jangan digoda gitu, saya aja masih bingung,” ucapnya pelan.
“Lho, kok bingung? Dapat suami baik, ganteng, pekerja keras, dan bukan orang sembarangan. Harusnya disyukuri, Mbak,” kata Bu Siti lagi sambil menuang kuah sayur ke wadah besar. “Lagian, semua orang tahu Dimas itu temperamennya jelek. Allah tuh ngasih ganti yang jauh lebih baik.”
Indira hanya diam. Dalam hati ia tahu kata-kata itu ada benarnya, tapi pernikahannya dengan Arman terasa seperti beban besar. Bukan karena Arman jahat—justru sebaliknya, pria itu terlalu baik. Terlalu tenang. Terlalu berwibawa untuk seseorang seperti dirinya. Dan mereka tidak kenal dekat. Bahkan baru beberapa hari ini bertemu dan berinteraksi.
Bik Ningsih, yang sejak tadi memperhatikan dari meja dapur, akhirnya menegur lembut.
“Sudah, sudah… jangan digoda terus. Kasihan Indira. Dia masih bingung. Kalian ini mulutnya suka nggak ngerem.”
Para ibu tertawa pelan, lalu mulai kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sementara itu Indira menghela napas panjang. Ia menatap panci besar di depannya tanpa fokus.
•••
Sementara itu, di rumah Pak Lurah, Dimas berjalan keluar kamar dengan rambut acak-acakan dan wajah tanpa dosa. Pak Lurah menatapnya sebal. Amarah yang sejak malam tadi ditahan, kembali naik ke ubun-ubun.
“Dimas!” suara lantang itu memecah keheningan pagi.
Dimas menghentikan langkahnya, sedikit mengernyit. “Ada apa, Pak?” tanyanya santai, seperti tidak terjadi apa-apa malam sebelumnya.
Pak Lurah menghampiri dengan langkah besar, menatap putranya dengan sorot mata tajam. “Mau ke mana kamu? Kamu masih berani keluar rumah dengan wajah tenang begitu, hah? Setelah bikin malu keluarga dan seluruh warga desa?”
Dimas memutar bola mata, lalu menghela napas seolah bosan. “Sudah lah, Pak. Toh akhirnya semuanya selesai, kan? Aku sudah mau tanggung jawab sama Indira, tapi malah ada orang lain yang nyerobot.”
“Nyerobot?” suara Pak Lurah meninggi. “Kau kira pernikahan itu urusan rebutan? Kalau bukan karena kebodohanmu, nggak mungkin Indira sampai harus menikah dengan orang proyek itu!”
Dimas mengeraskan rahangnya, menatap bapaknya dengan wajah menantang. “Tapi Indira memang seharusnya jadi milikku. Aku suka sama dia, Pak.”
“Dan kamu pikir cara yang kamu lakukan itu benar?” bentak Pak Lurah. “Membuat jebakan, lalu berusaha memaksa dia? Itu namanya aib, Dimas! Bukan cinta, tapi nafsu dan ambisi!”
Dimas mengepalkan tangan. “Aku cuma salah langkah, Pak. Tapi aku nggak bisa nerima orang seperti Arman yang tiba-tiba datang dan ngerusak semuanya!”
Pak Lurah menatapnya dengan kecewa yang dalam. “Kau ini makin nggak tau diri. Arman justru menyelamatkan nama baikmu dan keluarga ini. Kalau bukan dia yang berdiri malam itu, mungkin seluruh warga sudah menyerbu rumah kita dan menuduh kamu biadab!”
Ucapan itu membuat Dimas terdiam beberapa detik. Ia tahu bapaknya benar. Tapi gengsinya menolak untuk mengakuinya.
“Bapak lebih bela orang luar daripada anak sendiri,” gumamnya pelan, tapi masih bisa terdengar jelas.
Pak Lurah menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya. “Bapak bukan bela orang luar, tapi bela kebenaran. Dan kalau kamu masih keras kepala seperti ini, lebih baik kamu keluar dari rumah ini!”
Dimas menatap bapaknya tajam. “Baik. Kalau Bapak lebih memilih orang asing itu, aku pergi.”
“Silakan!” seru Pak Lurah. “Tapi ingat, jangan bawa-bawa nama Bapak kalau kamu bikin masalah lagi. Sekali kamu bikin rusuh, jangan harap bisa balik ke rumah ini!”
Suasana menjadi tegang. Bu Lurah yang sejak tadi menguping dari balik pintu akhirnya keluar, mencoba menenangkan keduanya.
“Sudahlah, Pak. Jangan diungkit-ungkit lagi. Nanti warga dengar.”
Tapi Pak Lurah sudah keburu kehilangan kesabaran. Ia menatap Dimas tajam. “Kamu ini sudah terlalu membuat malu. Dari dulu Bapak sabar, tapi sekarang kamu sudah kelewatan.”
Dimas membuang muka, menahan rasa panas di d**a. Tanpa bicara lagi, ia melangkah cepat keluar rumah, membanting pintu keras-keras hingga membuat kaca jendela bergetar.