bc

Kembalinya Pewaris yang Terbuang

book_age16+
40
IKUTI
1K
BACA
family
HE
sweet
like
intro-logo
Uraian

Ketika ayahnya meninggal, Indira Akbar kehilangan segalanya. Tahta, harta, bahkan cintanya—dirampas oleh ibu tiri, adik tiri, dan kekasih yang berkhianat. Ia diusir, terbuang, hanya ditemani seorang pembantu setia yang membawanya kembali ke desa.

Di tengah kesederhanaan, Indira bangkit dari keterpurukan. Merintis usaha kecil, hingga takdir mempertemukannya dengan Arman—seorang pria misterius yang kelak mengubah hidupnya. Pernikahan mereka membawa secercah harapan, namun takdir kembali memisahkan.

Saat Indira mencoba peruntungannya di kota, ia terkejut mengetahui bahwa perusahaan tempatnya bekerja ternyata milik Arman. Pertemuan kembali itu bukan sekadar takdir, melainkan awal dari perjuangan besar.

Dengan cinta sebagai kekuatan, Indira dengan dibantu Arman, merebut kembali haknya, menegakkan kejayaan keluarganya, dan membuktikan bahwa seorang pewaris yang terbuang mampu bangkit lebih kuat dari siapa pun.

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Setelah Meninggalnya Yusuf Akbar
Kematian memang selalu datang tanpa aba-aba. Bagi Indira Akbar, hari itu adalah hari paling kelam dalam hidupnya. Seorang dokter keluarga yang selama ini merawat ayahnya, Yusuf Akbar, baru saja menyampaikan kabar yang tidak pernah ia bayangkan: serangan jantung merenggut nyawa pria yang menjadi tiang penopang hidupnya. Semua terasa begitu cepat, seolah mimpi buruk yang menolak berakhir. Rumah megah keluarga Akbar mendadak terasa seperti kuburan dingin. Aroma bunga sedap malam memenuhi ruang tamu, bercampur dengan isak tangis para pelayat. Indira berdiri kaku di depan peti jenazah ayahnya, matanya sembab, dadanya terasa sesak. Selama ini, hanya ayahnya yang menjadi tempatnya bersandar setelah kepergian ibundanya ketika Indira masih berusia tujuh belas tahun. Kini, sosok itu hilang begitu saja, meninggalkan dirinya dalam kekosongan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Namun, duka Indira tidak bertahan lama. Sehari setelah ayahnya dimakamkan, badai lain datang, lebih kejam daripada sekadar kehilangan. Ibu tirinya, Malinda, duduk anggun di ruang keluarga. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam. Di sampingnya, adik tiri Indira, Ayusita, terlihat seolah tidak peduli. Tangan mungilnya sibuk memoles kuku, seakan kematian ayah tiri mereka bukan peristiwa besar. Indira masuk dengan langkah lunglai. “Ada apa mama memanggilku?” Suaranya lirih, penuh rasa sedih. Malinda tersenyum sinis, lalu mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat dari meja. “Indira, sebaiknya kau baca ini. Surat wasiat yang ditandatangani almarhum ayahmu beberapa bulan lalu.” Indira mengernyit, mengambil map itu dengan tangan bergetar. Matanya bergerak cepat menyusuri baris demi baris kalimat di atas kertas resmi berkop notaris. Semakin jauh membaca, semakin wajahnya memucat. “Tidak… ini tidak mungkin,” bisiknya. Surat itu menyatakan dengan jelas: seluruh harta kekayaan, rumah, saham perusahaan, bahkan aset pribadi Yusuf Akbar resmi dialihkan atas nama Malinda dan Ayusita. Nama Indira sama sekali tidak disebutkan. Malinda menyandarkan punggungnya dengan elegan, seolah menikmati setiap detik penderitaan yang terukir di wajah anak tirinya. “Aku tahu ini mengejutkan, tapi begitulah kenyataannya. Mulai hari ini, semua ini menjadi milik kami. Kau… tidak lagi punya tempat di rumah ini.” Indira tersentak mundur, wajahnya basah oleh air mata. “Tidak! Papa tidak mungkin melakukan ini! Papa selalu bilang perusahaan ini akan jadi tanggung jawabku! Ini… ini pasti ada yang salah!” Ayu mendengus sambil melipat tangannya. “Kau pikir Papa benar-benar menyayangimu lebih dari Mama? Jangan naif, Indira. Mungkin saja Papa sadar kalau aku jauh lebih pantas.” Indira meremas kertas itu dengan marah. “Kau berbohong! Kalian memalsukan ini! Papa tidak pernah—” Namun Malinda berdiri, menatapnya lurus. “Jaga ucapanmu. Itu ditandatangani di depan notaris resmi. Bahkan pengacara keluarga pun sudah menyatakan semuanya sah. Jika kau tidak percaya, silakan tanyakan langsung.” Seolah mengerti perintah tuannya, seorang pria paruh baya berjas rapi melangkah masuk. Indira mengenalnya: Pak Surya, pengacara keluarga yang selama ini selalu mendampingi urusan bisnis ayahnya. “Pak Surya,” Indira bergegas mendekat, memohon. “Tolong katakan kalau ini tidak benar. Papa tidak mungkin… Papa tidak mungkin meninggalkan aku begitu saja.” Pengacara itu menunduk, suaranya datar. “Maaf, Nona Indira. Wasiat ini sah dan berlaku secara hukum. Saya sudah memeriksanya, tidak ada yang janggal.” Indira terperangah. Rasanya dunia runtuh di hadapannya. Orang yang selama ini ia percaya pun ternyata memilih berpihak pada Malinda. Tangisnya pecah, namun justru suara tawa kecil menusuk telinganya. Ia menoleh, mendapati Ayu sedang tersenyum puas. Dan seakan itu belum cukup menghancurkannya, pintu ruangan kembali terbuka. Seorang pria tinggi dengan jas hitam masuk, wajah yang begitu dikenalnya: Adrian, kekasihnya. Indira berlari menghampirinya, berharap menemukan sedikit penghiburan. “Adrian! Katakan pada mereka! Katakan kalau kau tahu semua ini tidak adil!” Namun Adrian tidak meraih tangannya. Justru ia menoleh pada Ayu, lalu menggenggam tangan gadis itu erat. “Maaf, Indira. Aku harus jujur. Aku dan Ayu sudah lama menjalin hubungan. Kami berencana menikah.” Dunia Indira hancur seketika. “Adrian… apa yang kau katakan?” suaranya parau, tubuhnya hampir rubuh. Ayu menepuk lengan Adrian penuh kemenangan. “Kau terlalu polos, Indira. Sementara kau sibuk berkhayal akan menjadi pewaris, aku sudah mengambil semua yang kau miliki—perusahaan, rumah, bahkan kekasihmu.” Malinda menambahkan dengan dingin, “Kau tidak punya tempat lagi di sini. Segeralah pergi sebelum aku menyuruh orang mengusirmu secara paksa.” Indira jatuh berlutut. Air matanya mengalir deras. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan harta, tapi juga kehilangan kepercayaan, cinta, bahkan harga diri. Dalam keterpurukan itu, satu sosok muncul dari balik pintu: seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana, wajah yang penuh kasih. Bibi Ningsih, pembantu yang telah mengasuh Indira sejak kecil. Ia segera menghampiri, memeluk tubuh Indira yang bergetar. “Non, cukup… ayo kita pergi dari sini.” Indira menatapnya dengan mata penuh air. “Tapi, Bi… ini rumahku… ini kenangan Papa…” Bibi Ningsih mengelus rambutnya, suara parau tapi penuh ketegasan. “Kenangan itu tidak ada di dinding rumah, tapi di hatimu. Mereka boleh mengambil segalanya, tapi tidak bisa mengambil siapa dirimu sebenarnya.” Malinda melirik sinis. “Bagus, bawa saja anak itu. Dan kau juga, Ningsih. Aku tidak butuh pembantu yang setia pada orang lain. Kalian berdua keluar sekarang juga!” Dengan hati yang hancur, Indira akhirnya melangkah pergi. Air matanya jatuh di sepanjang lorong rumah megah itu, setiap sudutnya menyimpan kenangan tentang ayah yang kini hanya bisa ia genggam dalam ingatan. Bibi Ningsih menggenggam tangannya erat, menuntunnya keluar. “Ayo, Non.” “Kita mau ke mana, Bi?” “Kita pulang ke desa. Bibi masih punya tempat, meski sederhana.” Indira menoleh sekali lagi ke arah rumah besar yang kini bukan lagi miliknya. Rumah yang dulu penuh canda bersama ayah dan ibunya, kini hanya menyimpan pengkhianatan dan luka. Tangisnya pecah tanpa bisa dibendung. Namun di balik air mata itu, jauh di dalam hatinya, sebuah bara kecil mulai menyala. Bara yang kelak akan tumbuh menjadi api besar. ** Perjalanan menuju desa panjang dan sunyi. Indira menatap keluar jendela, menyaksikan kota yang dulu ia banggakan perlahan menjauh. “Bi, apa aku benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi?” suaranya lirih. Bibi Ningsih menoleh, wajahnya penuh iba. “Harta bisa hilang, tapi ilmu, akal, dan semangatmu tidak ada yang bisa merampas. Ingat pesan almarhum Tuan besar, Non Indi harus kuat.” Indira menggenggam tangannya sendiri, berusaha menahan air mata yang terus mengalir. Dalam benaknya, ia masih mendengar suara tawa Ayu, wajah dingin Malinda, dan pengkhianatan Adrian. Luka itu dalam, tapi entah bagaimana, di balik rasa sakit, ada keinginan untuk suatu hari kembali berdiri. Ketika mobil taksi online yang mereka tumpangi itu akhirnya berhenti di depan rumah sederhana milik Bibi Ningsih di desa, Indira turun dengan langkah lemah. Rumah itu jauh dari megah, namun hangat. Aroma tanah basah, suara jangkrik, dan sapaan tetangga menyambutnya. Di sinilah, di tempat asing namun ramah, Indira harus memulai hidup baru. Dari seorang pewaris kaya raya menjadi gadis sederhana tanpa apa-apa. Namun ia tidak tahu, bahwa kehancuran hari ini hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju kebangkitan.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
195.4K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
154.8K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
23.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
231.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
183.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
20.4K
bc

My Secret Little Wife

read
129.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook