Hari-hari pertama Indira di desa adalah ujian kesabaran. Dari seorang gadis kota yang terbiasa dengan kemewahan, ia tiba-tiba harus tinggal di rumah kecil sederhana milik Bibi Ningsih. Tidak ada pendingin ruangan, tidak ada kamar luas dengan kasur empuk, bahkan listrik pun kadang padam saat malam. Indira sering terjaga hingga larut, menatap langit-langit kamar dengan hati yang gelisah.
Setiap pagi, ayam jantan berkokok keras tepat di bawah jendela kamar. Indira yang tak terbiasa mendengar kegaduhan itu harus memaksa dirinya membuka mata lebih cepat. Ia melangkah ke luar, menyapa udara dingin yang menusuk kulit. Desa itu indah, dengan sawah hijau terbentang, sungai yang jernih, dan suara anak-anak berlarian. Tapi bagi Indira, semua terasa asing.
“Bangun pagi itu sehat, Nduk,” ucap Bibi Ningsih suatu kali sambil menjemur pakaian. “Kalau di desa, orang malas bangun cepat bisa dibilang aneh. Kamu harus ikut menyesuaikan diri.”
Indira hanya tersenyum tipis, mencoba menelan kenyataan. “Iya, Bi. Aku sedang belajar membiasakan diri.”
Hari-hari berlalu. Indira mulai ikut membantu di dapur, mencuci piring di sungai, bahkan sesekali membantu tetangga menyiangi sayuran. Warga desa awalnya heran melihat gadis cantik dengan kulit terawat itu berkotor-kotoran di lumpur. Namun perlahan, kabar bahwa Indira adalah anak angkat Bibi Ningsih membuat mereka menerima kehadirannya.
Dua bulan sudah Indira tinggal di desa. Wajahnya mulai lebih cerah, tidak sesuram saat pertama kali datang. Senyum perlahan kembali menghiasi bibirnya. Namun di balik itu, ada kegelisahan yang tak bisa ia abaikan. Tabungan yang ia bawa dari kota semakin menipis.
Suatu malam, saat mereka makan bersama, Indira membuka percakapan serius. “Bi, uangku sudah hampir habis. Kita tidak bisa terus-terusan mengandalkan tabungan. Aku harus mulai memikirkan usaha.”
Bibi Ningsih menatapnya sambil mengunyah pelan. “Kita mau usaha apa, Non? Di desa ini banyak orang sudah punya mata pencaharian masing-masing. Jangan sampai usaha kita nanti malah bentrok dengan mereka.”
Indira termenung sejenak, lalu berkata, “Kita kan pandai memasak, Bi. Dulu Papa sering bilang aku bisa membuka usaha katering. Mungkin… kita bisa mulai dari situ.”
Iya. Indira memang sejak dulu kerap membantu Bik Ningsih memasak di dapur rumah mewahnya.
Mata Bibi Ningsih berbinar. “Ide bagus, Non. Kalau begitu, besok kita coba masak beberapa menu dan titipkan ke warung-warung. Kalau laku, kita lanjutkan.”
Keesokan harinya, Indira dan Bibi Ningsih bekerja keras di dapur. Mereka memasak lauk sederhana: sayur asem, ayam goreng, sambal terasi, dan tempe orek. Semua dikemas rapi dalam kotak nasi. Indira lalu memberanikan diri mendatangi warung kecil di tepi jalan desa.
“Bu, bolehkah saya menitipkan beberapa kotak nasi untuk dijual di sini?” tanyanya penuh harap.
Pemilik warung, seorang ibu paruh baya bernama Bu Sari, menatapnya penuh kurang percaya. “Masakanmu enak nggak?”
Indira tersenyum canggung. “Boleh dicoba dulu, Bu. Kalau tidak enak, saya tidak akan keberatan.”
Bu Sari akhirnya mengangguk. “Baiklah. Titipkan sepuluh kotak dulu. Kita lihat nanti.”
Hari itu Indira pulang dengan hati berdebar. Saat sore tiba, ia kembali mengecek. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati semua kotak sudah habis.
“Wah, ternyata masakanmu laris, Nduk!” seru Bu Sari. “Besok titipkan lebih banyak, ya.”
Semangat Indira berkobar. Ia dan Bibi Ningsih menambah jumlah kotak setiap hari. Tak hanya di warung, mereka juga menitipkan ke kantin sekolah desa. Anak-anak sekolah menyukai lauk buatan Indira, terutama ayam gorengnya yang renyah.
Enam bulan berlalu, usaha kecil itu berkembang pesat. Kini bukan hanya warung dan kantin, tetapi juga acara hajatan warga desa yang memesan katering dari Indira. Setiap pagi, rumah kecil mereka ramai oleh aroma masakan. Panci-panci besar terisi penuh, kompor menyala tanpa henti, dan Indira sibuk mencatat pesanan.
“Bi, aku kewalahan. Pesanan semakin banyak. Kita butuh bantuan tenaga,” ujar Indira suatu pagi sambil mengikat rambutnya yang berantakan.
Bibi Ningsih tertawa. “Alhamdulillah, itu tandanya rejekimu lancar, Nduk. Kita bisa ajak tetangga sekitar membantu. Sekalian berbagi rejeki.”
Dan benar saja, beberapa ibu rumah tangga di desa mulai ikut bekerja. Ada yang membantu memasak, ada yang mengemas kotak, ada pula yang mengantarkan pesanan. Rumah sederhana itu kini berubah menjadi dapur produksi kecil yang ramai setiap hari.
Tepat setahun sejak kepindahannya, Indira menyadari bahwa ia mulai betah di desa. Wajahnya tak lagi muram. Ia belajar menanam cabai di pekarangan, tertawa bersama anak-anak tetangga, bahkan ikut arisan ibu-ibu desa. Luka masa lalu masih ada, tapi perlahan ia belajar mengubur semuanya.
Nomor teleponnya sudah ia ganti, memutus semua akses dari keluarga tirinya. Hanya dua sahabat karibnya dari kota, Zaskia dan Maya, yang masih menjalin komunikasi. Sesekali mereka datang ke desa, membawa cerita terbaru dari kota.
Suatu sore, saat mereka duduk di teras sambil menikmati teh panas, Kia berbisik hati-hati. “In, aku harus cerita. Ayu dan Adrian sudah menikah bulan lalu. Kami juga diundang, tapi tentu saja tidak ada yang berani menyebut namamu.”
Indira terdiam, menatap langit jingga. Hatinya masih perih, tapi ia memaksa tersenyum. “Biarkan saja. Mereka sudah memilih jalan hidupnya. Aku tidak mau lagi menoleh ke belakang.”
Bibi Ningsih yang duduk di sampingnya menepuk bahu Indira lembut. “Bagus begitu, Nduk. Hidupmu masih panjang. Jangan buang waktu untuk orang-orang yang menyakitimu.”
Indira mengangguk. Ia sadar, benar kata Bibi: masa lalu tak layak lagi diratapi.
Hingga suatu hari, kabar besar mengguncang desa. Pemerintah bersama investor swasta merencanakan pembangunan sebuah mall besar di lahan kosong dekat jalan utama. Berita ini sudah berbulan-bulan beredar, tapi kali ini benar-benar nyata. Truk-truk besar mulai masuk, pekerja proyek berdatangan, dan desa mendadak ramai.
Bagi banyak warga, kehadiran mall adalah berkah sekaligus tanda perubahan besar. Dan bagi Indira, itu menjadi pintu rejeki yang tak ia duga.
Suatu sore, seorang kepala dusun datang menemui Indira. “Nduk, para pekerja proyek butuh katering harian. Warga merekomendasikanmu. Kau sanggup?”
Indira terbelalak. “Katering untuk pekerja proyek? Jumlahnya pasti banyak, Pak.”
Kepala dusun tersenyum. “Memang banyak. Tapi kami yakin kau bisa. Masakanmu sudah terkenal enak di desa.”
Indira terdiam sejenak, lalu menoleh pada Bibi Ningsih. Tatapan mereka saling bertemu, penuh semangat.
“Insya Allah, Pak. Kami sanggup,” jawab Indira akhirnya dengan mantap.
Dan sejak hari itu, usahanya semakin melejit. Pesanan ratusan kotak setiap hari membuat dapur mereka tidak pernah sepi. Para pekerja proyek puas dengan masakannya, bahkan beberapa di antaranya mulai akrab dengan Indira dan Bibi Ningsih.
Indira tidak pernah menyangka, dari keterpurukan ia bisa bangkit. Dari gadis kota yang terbuang, kini ia menjadi gadis desa yang mandiri, disegani, dan dicintai banyak orang.