Pagi itu matahari baru saja naik, sinarnya menyelinap di antara pepohonan desa yang rimbun. Suasana masih lengang, hanya terdengar suara ayam berkokok dan beberapa ibu yang sibuk menyiapkan dagangan di warung kecil. Di tengah suasana sederhana itu, sebuah mobil SUV hitam berhenti di depan rumah kontrakan yang semalam baru ditunjukkan Usman kepada atasannya. Kontrakan itu tidak besar, hanya rumah sederhana dengan cat putih yang sudah mulai kusam. Namun halaman depannya cukup rapi dengan pot bunga seadanya.
Arman turun dari mobil dengan kemeja rapi, wajahnya menampilkan ekspresi puas. Usman segera menyusul sambil membawa koper milik atasannya.
"Nah, ini rumahnya, Pak. Sudah saya bicara sama pemiliknya. Katanya kalau Bapak mau bayar langsung setahun, bisa dapat harga miring," ujar Usman dengan nada antusias.
Arman melirik sekeliling, menilai dengan saksama. "Tidak masalah. Yang penting saya bisa tenang kalau datang ke sini. Hotel terlalu ramai, bedeng proyek tidak mungkin, jadi kontrakan ini cukup pas."
Pemilik rumah keluar, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah. Setelah proses singkat, pembayaran dilakukan dan kunci resmi berpindah tangan. Arman menghela napas lega, seolah kepindahannya ini memang sudah ia rencanakan jauh-jauh hari.
Kabar bahwa seorang kepala proyek memilih tinggal di desa cepat menyebar. Warga yang lewat di depan kontrakan melirik penasaran. Seorang ibu penjual sayur bahkan sempat berbisik pada tetangganya.
"Eh, itu orang proyek ya? Kok mau tinggal di kampung kita? Biasanya orang kota sombong, maunya di hotel."
"Ya namanya juga pekerja proyek, Bu. Mungkin lebih gampang kalau dekat lokasi kerja."
Arman yang mendengar lirikan-lirikan itu hanya menanggapi dengan senyum tipis. Dalam hati, ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Tapi kali ini berbeda—perhatian warga tidak penting baginya. Ada satu sosok yang jauh lebih ia pikirkan.
Usman masuk membawa beberapa barang. "Pak, ini motor saya sudah dipindahkan ke sini. Jadi kalau Bapak mau pakai, silakan."
Arman menepuk bahu Usman. "Bagus. Saya butuh kendaraan yang tidak terlalu mencolok di sini. Oh ya, nanti coba tanyakan siapa yang bisa membantu saya bersih-bersih rumah ini. Tua atau muda nggak masalah, yang penting bisa dipercaya."
"Siap, Pak. Nanti saya carikan."
Arman tersenyum puas. Sungguh, ini semua diluar dari rencananya. Karena niat awal dia datang ke desa ini hanya untuk mengecek perkembangan pekerjaan proyek. Dan jadwal kunjungan seharusnya cukup satu minggu saja. Tapi pada kenyatannya apa? Arman berubah tujuan dan malah menyewa rumah untuk setahun ke depan.
•••
Siang hari ini.
Arman tengah mengecek beberapa pekerjaan proyek ketika dia mengangkat tangan kanannya dan melihat jam yang melingkar di sana sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Setengah jam lagi waktu istirahat tiba. Arman buru-buru menjauh dari deru mesin molen yang berputar, melepas helm proyek yang sejak tadi terasa panas menekan kepalanya, lalu memanggil salah satu mandor kepercayaannya.
“Usman, ikut saya,” ucap Arman singkat.
“Mau ke mana, Pak?” tanya Usman yang baru saja mencatat daftar kebutuhan material.
“Ambil makan siang.”
Usman spontan mengerutkan dahi. “Bukankah biasanya Mbak Indira ada kurir yang antar? Anak-anak yang kerja sama Bik Ningsih itu, kan?”
Iya, biasanya Indira memang meminta tolong pada tukang ojek kampung untuk menjadi kurir pengantar makanan. Kadang Indira sendiri yang mengantar. Terkadang pula salah satu dari pekerja proyek yang berbaik hati mengambilkan makanan tersebut ke rumah Indira. Tapi sekarang terasa aneh dan janggal bagi Usman ketika sang owner pemilik proyek sendiri yang akan mengambil makanannya tersebut untuk para pekerja.
“Nggak apa-apa,” jawab Arman tenang sambil membersihkan debu di lengannya. “Sekalian saya mau ketemu Indira. Saya mau pesan katering harian langsung, daripada terus jajan di warung.”
Usman menahan senyum. “Sepertinya Pak bos lagi usaha mendekati Mbak Indira, ya?” godanya dengan nada dibuat-buat.
Arman langsung menoleh tajam. “Kalau di depan Indira jangan pernah sebut saya bos. Paham?”
“Siap, Pak!” Usman mengangkat tangan seolah memberi hormat, meski matanya tetap berbinar penuh rasa ingin tahu.
Arman tak menanggapi lebih jauh. Ia tahu mulut Usman kadang terlalu ringan, tapi pria itu cerdik dan bisa dipercaya menjaga rahasia. Sambil meraih motor butut milik Usman yang baru ia beli beberapa hari lalu, Arman mengisyaratkan agar Usman ikut naik. Mobil mewahnya sudah dibawa kembali ke kota, agar keberadaannya di desa tak terlalu mencolok. Kini, dengan motor sederhana, ia lebih leluasa bergerak.
Motor berguncang melewati jalan tanah yang sebagian masih berdebu karena pembangunan. Angin siang berembus cukup kencang, membuat kemeja putih Arman berkibar tipis. Usman sesekali melirik ke arah pria kota itu, merasa aneh melihat bos besar proyek mall justru tampak nyaman mengendarai motor reotnya.
“Bapak ini… aneh juga,” gumam Usman, nyaris tak terdengar.
“Apa?” Arman melirik sekilas.
“Bukan apa-apa, Pak. Cuma biasanya orang kota kayak Bapak itu gengsinya tinggi. Eh, malah betah naik motor tua, mau ngontrak di desa, sekarang rajin ke rumah Bik Ningsih segala.”
Arman hanya terkekeh pelan. “Mungkin karena saya menemukan sesuatu yang berbeda di sini.”
“Sesuatunya itu Mbak Indira, kan?” Usman lagi-lagi berani menggoda.
Arman tersenyum samar, tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Ia hanya menatap lurus ke depan, membiarkan suara knalpot motor menemani perjalanannya.
Rumah Bik Ningsih tampak sederhana, dengan halaman luas yang penuh jemuran kain dan aroma masakan yang kuat tercium dari dapur. Asap tipis mengepul dari tungku, bercampur dengan aroma bumbu bawang goreng yang menggugah selera.
Begitu motor berhenti, beberapa anak kecil yang sedang bermain di halaman tetangga langsung menoleh. “Eh, itu orang proyek!” bisik mereka sambil berlari kecil.
Arman turun dari motor, merapikan lengan kemejanya. Ia menyapu pandangan, dan benar saja, dari balik jendela dapur terlihat sosok yang sedang sibuk. Indira, dengan rambut diikat sederhana dan apron melekat di tubuhnya, tengah mengaduk sayur di wajan besar.
Ada sesuatu yang menenangkan dari pemandangan itu. Arman menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak yang tiba-tiba muncul di dadanya.
“Pak Arman, mari masuk,” sapa Bik Ningsih begitu melihat mereka. Wajahnya sumringah, meski keringat masih menetes dari pelipis karena sibuk di dapur.
“Siang, Bik. Maaf mengganggu,” jawab Arman sopan.
“Tidak mengganggu. Makanan sebentar lagi siap. Duh, saya juga tidak menyangka kalau Pak Arman sendiri yang mengambilnya. Padahal ini saya mau minta Wawan untuk ngojekin ke lokalisasi proyek."
"Nggak apa-apa, Bik. Lagipula saya datang ke sini juga ada maksud lain. Saya ingin bicara soal katering harian,” kata Arman sambil melirik sekilas ke arah Indira yang masih berpura-pura sibuk di dapur, padahal ia tahu gadis itu mendengar jelas.
Usman hanya nyengir di belakang, merasa seperti menonton drama.
"Oalah. Kalau begitu mari silahkan masuk."
Mereka dipersilakan duduk di ruang tamu yang sederhana namun bersih. Indira akhirnya keluar dari dapur dengan membawa teko berisi teh hangat. Wajahnya tetap datar, dingin, bahkan cenderung cuek.
“Silakan minum,” ucapnya singkat, lalu duduk di kursi seberang tanpa menatap langsung ke arah Arman.
“Terima kasih, Mbak Indira,” jawab Arman sambil menerima cangkir teh.
Suasana hening sejenak, hanya terdengar suara burung di luar rumah. Hingga akhirnya Bik Ningsih membuka percakapan.
“Jadi, Pak Arman mau pesan katering harian? Bukankah selama ini sudah kami kirim sesuai permintaan mandor?”
Arman meneguk tehnya dulu, lalu mengangguk. “Iya, Bik. Tapi saya ingin ada pesanan khusus untuk saya sendiri. Bukan untuk seluruh pekerja, hanya untuk makan saya setiap hari."
"Kalau mengenai itu, langsung dengan Indira saja ya, Pak. Dia yang mengurus tentang katering harian."
Dalam hati Arman bersorak kegirangan. Memang inilah yang sejak tadi dia inginkan.
•••
Setelah semua urusan selesai, Arman pamit. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat berdiri di depan rumah sebentar, menatap halaman yang dipenuhi suara anak-anak desa. Usman sudah menyalakan motor, tapi Arman masih terpaku.
“Pak, ayo naik,” seru Usman.
Arman mengangguk. “Iya, sebentar.” Ia menoleh sekali lagi ke arah pintu rumah, di mana Indira terlihat samar dari balik tirai jendela.
Hanya sekelebat, tapi cukup membuat hati Arman berdebar.
Perjalanan kembali ke proyek terasa lebih singkat. Usman yang duduk di belakang tak bisa menahan diri lagi.
“Pak, jujur saja, Bapak serius sama Mbak Indira, kan?”
Arman tidak langsung menjawab. Matanya tetap fokus pada jalan berdebu di depan. Setelah beberapa detik, ia berkata lirih, “Saya belum tahu. Yang jelas, ada sesuatu pada dirinya yang tidak bisa saya abaikan.”
Usman terdiam, lalu tersenyum kecil. “Kalau begitu, sepertinya saya bakal sering jadi saksi cerita menarik, Pak.”
Arman hanya terkekeh, membiarkan angin siang membawa semua kata-kata yang tak sempat ia ucapkan.
Di dalam hati, ia tahu: langkah pertamanya sudah dimulai.