Prolog
Virus Covid-19 bermutasi dengan cepat menjadi virus Covid-23 dan tahun 2030 ini menjadi puncak kengerian virus yang sudah menguasai seluruh dunia. Adanya vaksin bukannya membuat dunia menjadi normal, justru membawa masalah baru. Masalah yang menjadi bencana global, yaitu serangan zombie!
Semua orang yang mendapatkan suntikan vaksin mengalami demam tinggi hingga kejang-kejang. Dalam waktu dua puluh empat jam, orang-orang itu kehilangan kesadaran dan mulai menjadi pemangsa sesama manusia. Bukan soal kanibalisme saja, setiap korban yang digigit atau dimakan, dalam waktu dua puluh empat jam akan terbangun kembali dan menjadi zombie atau mayat hidup! Mereka sangat sensitif dengan cahaya dan mengejar manusia yang belum menjadi zombie.
Bencana global ini membuat panik dunia termasuk Indonesia. Beberapa kota besar yang diprioritaskan mendapatkan vaksin menjadi kacau balau karena reaksi mengerikan vaksin tersebut. Termasuk di Kota Yogyakarta.
***
03 Februari 2030
Hari kedua setelah vaksinasi di Kota Yogyakarta ....
Seorang pemuda yang mengalami kecelakaan kerja setahun yang lalu mulai mendapatkan kesadarannya. Dia terbangun dari koma. Mencoba membuka mata perlahan. Tegar namanya. Dia sadar dari koma setelah setahun dirawat di rumah sakit swasta Kota Yogyakarta. Dia merasa tubuhnya sulit digerakkan. Saat masih mencoba mengingat apa yang terjadi, tiba-tiba ada suara kekacauan dari luar kamar ICU. Sepertinya dia sadar disaat yang tak tepat.
“Lari! Lari!”
“Selamatkan diri kalian!”
“Aaaaa!”
“Graaaa … graaa ….”
Teriakan itu terdengar bersamaan dengan suara langkah kaki orang yang berlarian tak tentu arah. Tegar mencoba menggerakkan tubuhnya dan mengingat apa yang terjadi. Saat menengok kalender di sudut dinding, dia terkejut karena sekarang tanggal 03 Februari 2030 yang berarti sudah setahun dia tak sadarkan diri.
“Sebenarnya ada apa ini?” gumam Tegar yang merasa bingung.
Pintu dibuka tiba-tiba dan seketika Hesti masuk ke ICU tempat Tegar dirawat.
“Tegar? Kau sudah sadar? Syukurlah kamu sudah sadar dari koma. Saat ini kondisi sedang kurang baik. Aku akan membantumu keluar dari rumah sakit ini. Ayo duduk di kursi roda ini,” ucap Dokter Hesti tanpa menunggu respon Tegar.
Wanita itu segera melepaskan semua peralatan medis yang berada di tubuh Tegar. Lelaki itu hanya menurut saat dipindahkan ke kursi roda. Tubuhnya masih terasa kaku.
“Graaaa!” Suara dari luar membuat Hesti panik dan segera memberi aba-aba untuk Tegar diam.
“A-apa itu?” tanya Tegar dengan bingung.
“Ssst … diam. Mereka tak akan melihat kita,” bisik Hesti sambil menekan off sakelar lampu kamar ICU itu.
Tegar hanya bisa pasrah terdiam mengikuti instruksi dokter cantik di sampingnya. Suara orang berlarian dan raungan pun berlalu setelah beberapa menit terdengar kacau. Hesti mencoba melihat dari jendela ruangan ICU untuk memastikan apakah sudah aman ke adaan di luar sana.
“Tegar, aku akan berusaha bawa kamu keluar dari rumah sakit ini, ya. Tolong berusaha gerakkan badanmu. Aku akan mendorong dengan kursi roda sementara ini,” kata Hesti dengan panik dan segera membuka pintu ruangan ICU.
Setelah dirasa aman, Hesti langsung mendorong kursi roda itu dan berusaha secepat mungkin menuju lift khusus karyawan yang ada di belakang nurse station. Hesti kelelahan sejak tadi berlari dan menghindar. Namun rasa capek itu menghilang saat melihat Tegar sudah sadar dari koma. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Tegar belum sadar.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa rumah sakit ini menjadi berantakan? Mengapa ada bercak darah dan seakan terjadi guru hara di sini? Arggh … sial! Aku masih susah menggerakkan tubuhku yang kaku ini,” batin Tegar bergejolak melihat sekeliling koridor yang kacau balau.
Sesekali terdengar jeritan dari kejauhan yang membuat bulu kudu merinding. Hesti mendorong dengan cepat kursi roda itu dan menekan tombol lift ke atas. Hesti tak berani turun karena tahu apa yang terjadi di bawah sana. Saat lift terbuka, Hesti terkejut ada mayat di sana. Wanita itu segera menarik keluar mayat yang sudah tercabik-cabik dari dalam lift keluar. Meski jijik dan mual, Hesti lakukan segera. Mereka tidak memiliki banyak waktu.
Setelah itu Hesti mendorong kursi roda itu ke dalam lift dan menutup pintu lift dan menekan tombol ke atas.
“Kita lebih baik ke atap karena di bawah lebih mengerikan dari sini. Bantuan yang datang juga kurang mewadahi,” ujar Hesti yang membuat Tegar semakin bingung.
“Sebenarnya ada apa dengan semua kekacauan ini?” Tegar menatap Hesti dengan penuh tanda tanya.
“Ini karena vaksin Covid-23 yang beredar memiliki efek samping mengerikan. Orang-orang yang divaksin mengalami demam tinggi dan kemudian mengalami kehilangan kesadaran. Kemungkinan hal itu yang memicu kanibalisme dan penularan zombie. Jadi kalau ada yang tergigit harus segera dijauhi,” jelas Hesti yang tidak dimengerti oleh Tegar.
Bagaimana mungkin manusia menjadi kanibal dan zombie? Apakah hal itu hanya kejadian yang seperti di televisi? Ataukah benar kenyataan yang terjadi di dunia?
Begitulah pemikiran Tegar yang mencoba mencerna semua penuturan dari Hesti. Setelah lift sampai di lantai paling atas, Hesti pun meminta Tegar untuk mencoba berjalan karena mereka akan naik tangga ke atap rumah sakit. Tak mungkin menggunakan kursi roda.
“Ayo kumohon kamu berjalan. Kita harus ke atap rumah sakit agar selamat. Keadaan di bawah sangat kacau,” kata Hesti sambil memapah Tegar.
Lelaki itu mengangguk dan berusaha sebisa mungkin untuk berdiri menggerakkan kakinya. Tegar tahu jika hal ini darurat dan berusaha sekuat tenaga melawan rasa kaku tubuhnya. Hesti dan Tegar berjalan secepat mungkin ke tangga darurat ke atap rumah sakit. Meski kesulitan, Hesti tetap memapah Tegar. Mereka menengok kanan dan kiri kemudian segera membuka pintu menuju tangga ke atap rumah sakit. Hesti pun berinisiatif untuk mengganjal gagang pintu dengan tongkat pel yang ada di belakang pintu untuk menahan agar tidak bisa dibuka.
“Ayo kita naik. Semoga di atas aman. Aku mendengar kalau ada bantuan dari tentara angkatan udara menggunakan helikopter jadi kupikir lebih baik kita di atap.” Hesti antisipasi dengan pemikirannya karena kondisi saat ini makin memburuk.
“Dokter … sepertinya tidak mungkin bantuan datang secepat itu kalau mengingat kondisi seperti yang kamu ceritakan. Semoga ada jalan keluar lain di atas,” kata Tegar yang berusaha sekuat tenaga untuk naik tangga dan sampai di atap rumah sakit bersama Hesti.
Ternyata tak hanya Hesti dan Tegar yang berada di atap rumah sakit, ada beberapa orang yang juga berada di sana. Mereka kaget saat Hesti dan Tegar mencoba membuka pintu atap.
“Tolong buka pintunya!” seru Hesti sambil mencoba membuka pintu.
“Kalian siapa? Apakah tergigit?” tanya seorang lelaki dari balik pintu.
“Tidak! Kami aman. Cepat buka pintu!” Hesti panik karena takut para zombie itu akan mengejar sampai ke atap rumah sakit.
“Bagaimana kalau dia berbohong?”
“Kasihan dia kalau tidak ditolong. Bukakan saja pintunya.”
“Baiklah.”
Setelah terdengar perundingan, pintu pun dibuka. Hesti segera memapah Tegar ke sana. Namun ada satu orang yang langsung mencecar dengan berbagai pertanyaan.
“Hei! Kenapa lelaki itu kau papah? Apakah dia sudah tergigit orang-orang gila tadi?! Aku tak peduli apakah kau dokter atau apa. Saat ini semua sama saja dalam kondisi panik dan butuh keselamatan diri sendiri!” hardik seorang lelaki dengan jas hitam terlihat seperti orang penting dari penampilannya.
“Maaf. Perkenalkan sebelumnya, aku Dokter Hesti spesialis saraf yang menangani pasienku ini bernama Tegar. Dia koma selama setahun di ICU dan baru sadar hari ini. Apakah pantas aku meninggalkannya sendirian di bangsal hanya karena takut dengan kekacauan ini? Sepertinya meski takut, kemanusiaan tetap harus dijunjung, bukan?” jelas Hesti dengan mantap. Dia tahu jika orang-orang mengira Tegar terinfeksi atau semacamnya karena masih lemas dan sulit bergerak.
“Oh, baiklah. Namaku Edo pemilik SPBU Jombor. Berhubung tidak ada bekas gigitan, kami perbolehkan kalian di sini. Cepat tutup pintu lagi!” Ternyata lelaki itu memang orang terpandang dan suka memerintah.
Orang lain pun segera menutup kembali pintu dan mengganjalnya dengan barang-barang. Hesti merasa beruntung bisa sampai ke atap rumah sakit bersama Tegar. Meski hanya pasiennya, Hesti merasa kasihan akan nasib Tegar yang kurang beruntung karena kecelakaan kerja dan berakhir dengan koma.