Bab 1 Cinta satu Malam
Bandung malam itu dingin, tapi bukan karena hujan. Bukan pula karena angin. Namun karena hati Rania yang remuk untuk kesekian kalinya.
Langkahnya gontai saat keluar dari bar kecil tempat teman-teman lamanya mengadakan pesta reuni. Sekilas, wajahnya tampak biasa saja. Namun mata yang merah dan bibir yang terus digigit membocorkan segalanya.
Ia mengenakan dress hitam selutut—awalnya ia anggap aman. Sekarang terasa terlalu terbuka. Terlalu ringan. Terlalu kosong. Seperti dirinya.
Kalau dia bilang nggak bahagia denganku, kenapa dia nggak mutusin aku?"
Air mata Rania menetes tanpa ia sadari.
"Mereka bahagia, dan aku di sini menangis sendirian? Nggak adil..." batinnya, sambil menendang botol kosong di trotoar.
Malam itu sepi, tapi kepala Rania riuh oleh tanya-tanya yang tak terjawab. Setiap langkah seolah menggemakan ulang kata-kata pengkhianatan yang didengarnya tadi di bar.
“Maaf, aku nggak bisa bohong terus…”
Rania merasa hancur. Pengkhianatan itu terlalu mengguncang jiwanya.
"Kalau sahabatku sendiri bisa ngelakuin itu, siapa lagi yang bisa dipercaya di dunia ini?"
Ia terhuyung, hampir terjatuh—kalau saja tidak ada tangan hangat yang menangkapnya.
"Pelan-pelan. Kamu hampir nyium aspal barusan," tegur seseorang. Suaranya laki-laki. Rendah dan lembut.
Rania mendongak.
Yang pertama kali ia lihat adalah rahangnya. Tegas. Lalu bibirnya. Tipis. Nyaris tak tersenyum.
Yang paling memikat adalah mata itu… ah, mata itu bukan milik orang baik. Tajam. Ganas. Tapi entah kenapa, justru karena itu Rania merasa aman.
"Kenapa?" tanya pria itu.
"Kenapa apanya?"
"Kamu terlihat seperti orang yang baru kehilangan dunia."
Rania tertawa. Satu tarikan napas pahit dan sumbang.
"Aku baru kehilangan harga diri."
"Dibuang?"
"Diinjak. Oleh orang yang aku kira pasangan dan sahabat."
Pria itu tak berkata apa-apa. Namun ekspresi wajahnya... sedikit menyinggung Rania.
Rania tersenyum sinis. "Kenapa? Kamu kasihan padaku?"
Pria itu tetap diam. Berdiri di samping Rania. Tetap memayungi tubuhnya yang limbung. Tetap hadir, tidak menanyakan nama atau niat—seolah tahu bahwa kadang, seseorang hanya butuh sosok yang diam... tapi ada.
"Jangan pulang sendiri. Kamu kelihatan seperti orang yang akan loncat dari balkon lantai lima," katanya akhirnya.
"Dan kamu kelihatan kayak bakal ngasih pelukan, lalu pergi tanpa pamit," balas Rania.
Senyuman tipis muncul di wajah pria itu.
"Jangan minta pelukan padaku. Aku bisa melakukan lebih dari itu."
Rania menarik kerah kemeja pria itu. "Coba buktikan. Aku benci omong kosong."
"Baiklah, jika kamu memaksa."
Pria itu menerimanya tanpa ragu.
"Di mana tempat tinggalmu?"
"Jangan ke rumah... ke apartemenku saja. Rumahku berisik dan... tidak ada tempat di sana bagiku."
Pria itu terdiam sejenak. Seperti ingin menanyakan lebih, tapi menahan diri.
"Lalu, kita ke mana?"
Rania menyebutkan alamat apartemennya. Pria itu mengangguk, lalu membukakan pintu mobil sedan hitamnya.
Entah apa yang membuat Rania begitu saja mempercayainya. Mungkin karena malam itu, dia tak ingin pulang sebagai dirinya yang hancur.
Dia ingin menjadi siapa saja—asal bukan perempuan yang kalah di depan orang-orang yang menyakitinya.
Selama perjalanan, mereka tak banyak bicara.
Hanya suara Rania yang terdengar, menceritakan kisah patah hatinya. Mobil itu jadi saksi luka yang ditumpahkan begitu saja. Tapi pria itu mendengarkan, tanpa menyela, tanpa menghakimi.
"Itu dia," ujar Rania pelan, menunjuk ke lantai dan nomor unitnya. Bahkan menyerahkan kunci pada pria asing yang dibawanya pulang.
Begitu masuk ke dalam, Rania meletakkan tasnya sembarangan. Tidak menyalakan lampu.
Ia hanya menatap pria itu dari balik bayangan.
"Mau minum dulu?"
"Aku yang seharusnya nanya begitu," balas pria itu. Tatapannya tak lepas dari wajah Rania.
"Jangan terlalu banyak berpikir. Cium aku aja, kalau memang berniat melupakan sesuatu malam ini."
Ia bersandar ke tembok, menantang.
Mata mereka bertemu. Detik pertama. Kedua. Lalu...
Rania tidak menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu mendekat. Jemarinya bergerak di kerah kemeja pria itu, membuka kancing satu per satu. Pelan. Seolah sedang menghukum.
"Kalau aku lupa, jangan berhenti," bisiknya. "Setidaknya... aku ingin tahu alasannya."
Pria itu menatapnya. Dalam. Tak hanya melihat tubuh Rania, tapi juga menelanjangi lukanya.
Tanpa kata, ia mengangkat tubuh Rania dan membaringkannya ke ranjang.
Kecupan pertama jatuh di bahu lalu ke leher. Terakhir, ke tulang selangka.
Desahan pelan lolos dari bibir Rania. Jujur, meski dipaksa.
"Pelan-pelan," gumamnya.
Meski bilang begitu, tubuhnya berkata lain. Ia menggeliat, menyambut setiap sentuhan dengan hasrat yang terlalu lama dikubur.
Pria itu tahu semua titik lemahnya.
Ciumannya tak terburu-buru, tapi tak memberi ruang untuk lari.
Saat kain dress-nya tergelincir ke lantai, dan kulitnya bersentuhan dengan udara, ia tidak merasa malu.
Rania merasa... bebas. Akhirnya tidak harus pura-pura kuat. Dia tidak perlu menahan diri tentang apapun.
"Jangan..." katanya pelan.
"Jangan apa?"
"Jangan bikin aku pengen lebih."
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya membisikkan sesuatu ke telinga Rania di tengah keheningan.
"Kamu akan menyesali ini."
Rania menggeleng. "Diam."
Ia menarik wajah pria itu mendekat.
Bibir mereka bertemu. Bukan manis. Bukan romantis.
Tak ada cinta malam itu. Hanya dua jiwa yang kosong, saling memenuhi kekosongan dengan napas, dengan gerak, dengan genggaman yang minta dipertahankan meski hanya semalam.
Tangan pria itu menyusup ke rambutnya. Cengkeraman Rania di bahunya menguat. Mereka terbakar dalam hasrat, dalam luka, dalam kebutuhan untuk dilihat dan dimiliki—walau hanya sebentar.
Di luar, rintik hujan mulai turun. Tapi napas mereka lebih nyaring dari langit.
"Siapa kamu?" desah Rania di sela bibir yang berpindah dari leher ke tengkuknya.
Pria itu diam lalu berbisik, seperti bayangan dalam mimpi yang buram.
"Besok kamu akan lupa.”
“Nggak akan,” Rania membantah pelan.
“Aku menantikannya... kalau kamu mengingat ini.”
Rania menutup mata lalu gelap.
---
Keesokan paginya, Rania terbangun dengan kepala berat.
Cahaya pagi masuk dari sela tirai.
Ia menoleh ke samping. Kosong.
Seprai sudah rapi. Tak ada tanda-tanda pria itu pernah ada. Hanya aroma samar parfum asing yang tersisa di udara.
Di atas meja kecil, selembar catatan terlipat:
“Maaf. Ini tidak seharusnya terjadi.”
Rania menatap kertas itu lama lalu tertawa kecil. Tawa getir seorang perempuan yang terlalu sering ditinggalkan tanpa pamit. Dia merasakan sebuah Dejavu.
“Pria sama saja, ternyata…”
Matanya kembali menatap keluar jendela. Ada perasaan tercampur aduk di kepalanya saat ini.
Rania mengingat jelas wajah pria itu. Ada penasaran tentang siapa dia tanpa tahu, bahwa beberapa hari lagi, pria itu akan duduk di meja makan keluarganya, tersenyum manis dan dipanggil oleh ibunya dengan sebutan :
"Calon menantuku."