Suara langkah sepatu tumit Ratna menggema di lantai marmer putih rumah keluarga Mahardika. Di belakangnya, dua orang perias membawa koper besar berisi alat rias lengkap, parfum, dan beberapa kain batik halus untuk melengkapi gaun Rania yang sudah disiapkan. Hari itu seharusnya menjadi hari istimewa bagi keluarga besar Mahardika setelah hari pernikahan Nayla, sang putri sulung, dengan Gibran, menantu pilihan yang disetujui semua orang kecuali Rania. Namun di kamar besar di lantai dua, suasana justru beku. Rania duduk di depan meja rias dengan rambut tergerai kusut, mata sembab, dan pipi basah bekas air mata. Ketika pintu terbuka dan Ratna masuk bersama para perias, gadis itu menoleh pelan dengan pandangan kosong. “Untuk apa semua ini?” suaranya serak, tapi dingin. “Untuk pesta kemenangan

