Sejak makan malam itu, Rania memutuskan untuk menjaga jarak. Ia tidak membalas pesan Gibran, tidak mengangkat teleponnya, dan di kantor pun ia sebisa mungkin membatasi interaksi hanya sebatas pekerjaan. Dua hari berjalan seperti itu. Rania pikir, kalau ia memberi jarak, hatinya akan lebih tenang. Namun malam itu, saat ia baru saja selesai mandi dan hendak menyiapkan makan malam sederhana, bel apartemennya berbunyi. Ia berjalan ke pintu, mengintip lewat lubang kecil. Jantungnya langsung berdegup keras. Gibran datang. Meski sengaja menjauh, tetapi kedatangan Gibran, tetap saja, membuat hati Rania bersorak senang. Rania membuka pintu hanya sedikit. “Apa yang kamu...” Gibran mendorong pintu perlahan tapi tegas, masuk tanpa menunggu izin. Ia mengenakan kemeja putih yang bagian atasnya sedik

