Bab 6 Api yang Tak Padam

1090 Kata
Udara malam menyusup lewat kaca mobil yang sedikit terbuka, membawa aroma aspal basah dan dingin yang menusuk kulit. Di kursi penumpang, Rania bersandar dengan tatapan lurus ke depan, tapi setiap kali sudut matanya menangkap profil wajah Gibran, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Mobil melaju mulus,tapi di dalamnya, hawa panas yang tak terlihat semakin pekat. Sejak meninggalkan restoran, mereka nyaris tak bicara. Hanya deru mesin dan denting pelan musik jazz dari radio yang menemani. “Pulang ke apartemen?” tanya Gibran tanpa menoleh. Rania mengangguk, meski bagian dalam dirinya berteriak ragu. “Di mana lagi?” Senyum tipis muncul di bibir pria itu. “Aku pikir… kita bisa singgah dulu.” “Aku nggak suka singgah,” balas Rania cepat. “Singgah itu biasanya… berarti masalah.” “Bukan kalau tujuannya jelas,” ucap Gibran, menoleh sekilas, tatapannya dalam. “Aku cuma ingin sedikit lebih lama melihat kamu.” Rania tertawa kecil, sinis, tapi tatapannya malah jatuh ke jemari Gibran yang santai menggenggam kemudi. Jemari yang sama yang pernah… ia buru-buru menepis pikirannya. Mobil berbelok, meninggalkan jalur utama kota. Rania melirik keluar, mengenali kawasan apartemen mewah yang berbeda dari miliknya. Ia menatap Gibran, curiga. “Kita ke tempatmu?” “Kalau aku bilang iya?” “Berarti kamu nggak tahu cara mundur,” balasnya, setengah tantangan, setengah peringatan. Mobil berhenti di basement. Mereka naik lift tanpa banyak kata, hanya saling melirik sekali-sekali. Ketika pintu lift terbuka, aroma kayu dan cologne maskulin menyambut. Interior apartemen Gibran dingin, rapi, dan terlalu sunyi—seperti pemiliknya. Begitu pintu menutup di belakang mereka, Gibran menanggalkan jasnya dan meletakkannya di sandaran sofa. “Mau minum?” “Nggak,” jawab Rania cepat. Dia berdiri di dekat pintu, seolah siap lari kapan saja. Gibran menghampiri, langkahnya pelan tapi pasti. “Kamu takut?” Rania mendongak, matanya menantang. “Takut? Kamu yang seharusnya takut. Kita berdua tahu, kalau ini keterusan… nggak ada rambu putar balik.” Gibran tersenyum tipis, lalu berhenti tepat di depannya. “Aku sudah nggak peduli soal putar balik.” Jarak di antara mereka terpangkas begitu saja. Rania bisa merasakan hangat napasnya. “Kenapa aku?” bisiknya, meski tahu pertanyaan itu berbahaya. “Karena kamu satu-satunya yang berani melawan aku… sekaligus membuatku ingin kamu menyerah.” Rania tidak sempat membalas ketika ponselnya bergetar di tas kecilnya. Ia melirik layar—Nayla. Jantungnya mencelos. Gibran menatap layar itu, lalu menatapnya lagi. “Angkat.” Rania menelan ludah. Ia menekan tombol hijau, berusaha mengatur nada suaranya. “Halo, Kak.” “Ran, kamu udah di rumah? Gibran belum pulang kan?” Suara Nayla terdengar santai, tapi Rania bisa menangkap nada ingin tahu yang samar. Tatapan Gibran menancap di matanya. Jemarinya terangkat, menyentuh pelan rahang Rania, membuat napas gadis itu tersendat. “Ehm… aku masih di luar,” jawab Rania, melangkah mundur, tapi Gibran justru mengikuti. “Sendirian?” tanya Nayla. “Ya,” bohong Rania sambil menahan tatapan Gibran yang semakin mendekat. “Jangan pulang terlalu malam. Besok kita fitting baju bareng,” kata Nayla sebelum menutup telepon. Begitu sambungan terputus, Gibran bersuara pelan, “Kamu bohong.” “Dan kamu senang dengan itu,” balas Rania, bibirnya melengkung miring. Dalam sepersekian detik, Gibran memojokkannya di dinding. “Aku senang karena kamu memilih tetap di sini.” “Kamu pikir aku nggak bisa pergi?” “Coba,” tantang Gibran, suaranya berat, matanya terkunci pada bibir Rania. Rania tidak bergerak. Detik demi detik, jarak mereka menguap. Hingga akhirnya, ia merasakan bibir Gibran menekan bibirnya—hangat, mantap, namun tetap menyisakan ruang bagi Rania untuk menolak. Tapi ia tidak menolak. Ciuman itu seperti janji dan ancaman sekaligus. Ketika Gibran akhirnya menarik diri, napas mereka sama-sama terengah. “Kamu bahaya, Rania,” ucapnya rendah. “Begitu juga kamu.” Ciuman itu belum benar-benar hilang dari bibir Rania ketika Gibran menariknya lebih dekat. Jemari pria itu bergerak ke tengkuknya, menahan seolah takut ia menghilang. Napas mereka bertabrakan, menciptakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya ruangan. Rania memejamkan mata. Ia tahu ini salah. Ia tahu ini akan merusaknya—atau malah merusak banyak orang di sekelilingnya. Tapi di detik itu, semua logika menyerah di hadapan rasa. Gibran melepaskannya hanya untuk menatap lebih lama. “Katakan kalau kamu mau aku berhenti,” suaranya rendah, hampir seperti bisikan rahasia. Rania membuka mata, menelan ludah. “Kamu nggak akan berhenti, Gibran. Kita berdua tahu itu.” Senyum tipis melintas di bibirnya. “Benar.” Tangan Gibran berpindah ke pinggangnya, menariknya hingga mereka saling menempel. Rania bisa merasakan detak jantung pria itu—cepat, sama seperti miliknya. “Kamu tahu… sejak pertama kali aku lihat kamu malam itu, aku nggak bisa berhenti mikirin kamu,” ucap Gibran, nadanya seperti pengakuan yang berat dilepaskan. “Dan aku nggak mau jadi pelarianmu,” balas Rania cepat, meski tubuhnya tidak beranjak. “Kalau aku bilang… kamu bukan pelarian?” Gibran menunduk, suaranya tajam tapi lembut. “Kamu adalah tujuan.” Rania terdiam. Kata-kata itu membentur bagian hatinya yang paling ia coba lindungi. Mereka sama-sama tahu, ini bukan sekadar permainan ego lagi. Ada tarikan yang lebih dalam, lebih sulit dijinakkan. Gibran memiringkan kepalanya, kembali mencium Rania—kali ini lebih dalam, lebih menuntut. Ciuman itu membuatnya lupa pada semua peringatan di kepalanya. Jemari Rania secara naluriah meraih kerah kemeja Gibran, menariknya lebih dekat. Mereka bergerak perlahan menuju sofa, seolah mengikuti alur yang tidak direncanakan tapi terasa tak terelakkan. Gibran menuntunnya duduk, lalu berlutut di hadapannya. Tatapannya naik dari ujung kaki hingga mata Rania, dalam dan penuh kepemilikan. “Kamu cantik,” ucapnya, suaranya nyaris serak. Rania ingin membalas dengan candaan atau sindiran, tapi tenggorokannya kering. Semua yang keluar hanya napas berat yang tak beraturan. Saat Gibran menyentuh jemari tangannya, sebuah getaran halus menyusup ke seluruh tubuhnya. Bukan hanya karena sentuhan itu… tapi karena tatapan pria ini tidak pernah lepas dari matanya, seolah menantangnya untuk berpaling. Di tengah intensitas itu, ponsel Rania kembali bergetar di tasnya. Kali ini ia tidak melihat siapa yang menelepon. Ia hanya menatap Gibran, bibirnya melengkung tipis. “Kalau itu Nayla lagi, kamu mau aku angkat?” tanya Gibran dengan nada yang setengah menggoda, setengah serius. Rania menggeleng, meraih ponsel lalu menekan tombol diam tanpa melihat layar. “Malam ini, nggak ada yang boleh ganggu.” Gibran tersenyum puas. “Itu jawaban yang tepat.” Dia menarik Rania berdiri, memeluknya erat, dan untuk beberapa detik, waktu seperti berhenti. Di luar, lampu kota berkelip. Di dalam, mereka berdua berdiri di tepi sesuatu yang tidak bisa lagi mereka pura-pura abaikan. Rania tahu, begitu ia melangkah lebih jauh, tidak akan ada jalan kembali. Dan anehnya… ia tidak merasa ingin kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN