Setelah mandi dan berpakaian rapi, Leon langsung menuju ke dapur dan di saat itu, ia melihat istri tercintanya sedang menyiapkan makan malam mereka di atas meja. Memang Bella sudah memasaknya sejak tadi sore, tinggal menghangatkannya di microwave agar lebih enak dinikmati.
"Sayang, kamu masak apa?" tanya Leon sambil melihat makanan di atas meja.
"Tara …! Aku masak sop daging dan juga ayam goreng bumbu, Mas. Oh ya, ada sambalnya juga. Tapi, maaf ya, Mas, kalau rasanya kurang enak. Aku tahu, kamu suka banget sama makanan yang berkuah-kuah, jadi aku berusaha masak." Bella mengutarakan isi hatinya sambil menampilkan raut wajah menggemaskan. "Sudah sebulan kita menikah, kita sering makan di luar atau pesan, jadi aku ingin masak untuk suamiku," ujarnya penuh rasa cinta.
Leon tersenyum menatap Bella, merasa bersyukur memiliki istri yang begitu perhatian. Kemudian, ia berkata dengan lembut, "Sayang, aku sebenarnya nggak mau kamu repot-repot masak seperti ini. Tapi, melihat usaha kamu yang tulus dan ini demi aku, tentu saja aku akan sangat senang menikmati hasil masakanmu. Ini adalah hidangan paling mewah yang pernah aku dapatkan karena dimasak oleh istriku tercinta," ungkapnya dengan antusias.
Bella tersenyum sumringah. "Ya sudah, ayo Mas, sekarang kamu duduk di sini dan kita makan," ujarnya seraya menepuk kursi di sampingnya.
Leon pun segera saja mendudukkan diri di samping istrinya itu. Bella bergegas menyendokkan nasi dan lauk-pauk ke dalam piring, lalu menyerahkannya pada suaminya dengan penuh cinta.
"Terima kasih, sayang," ucap Leon sambil menerima piring yang disodorkan.
"Iya, Mas. Sama-sama. Ayo, sekarang kamu coba masakanku," kata Bella, penasaran ingin mengetahui pendapat suaminya mengenai masakannya. Rasanya jantungnya berdebar kencang, seolah-olah menunggu keputusan penting.
Leon segera menyendok sejumput nasi dan sop lalu memasukkannya ke mulutnya. Dia mengunyah perlahan, seakan sedang menilai rasa masakan yang telah dimasak oleh Bella dengan sepenuh hati.
Sementara Bella menatapnya dengan penuh harap, bertanya-tanya apakah suaminya akan menyukai hidangan yang telah ia sajikan. "Mas, gimana rasanya? Enak nggak?" Dia merasa khawatir, karena hingga saat ini Leon belum memberikan tanggapan. Wajahnya tampak cemas, takut jika masakannya kurang memuaskan selera suaminya.
"Nggak …."
Jawaban Leon terputus, membuat Bella merasa sedih dan kecewa. Rupanya, usahanya menyajikan hidangan istimewa untuk suami tercintanya belum berhasil. Namun, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berusaha memperbaiki kemampuannya dalam memasak, demi kebahagiaan bersama.
Namun, tiba-tiba saja Leon tersenyum lebar dan mengucapkan pujian yang tak terduga. "Nggak ada lawannya maksud aku. Masakan kamu ini benar-benar sangat enak, Sayang. Aku sangat menyukainya!" ucapnya sambil melahap makanan di piringnya dengan cepat.
Bella merasa sangat senang melihat kebahagiaan suaminya itu. "Mas, kamu serius? Kamu nggak bohong, 'kan?" tanyanya dengan penuh harap.
"Sayang, aku serius. Kalau kamu nggak percaya, kamu coba nih," ujar Leon sambil menyuapi istrinya.
Bella menerima suapan itu dan merasa bangga pada dirinya sendiri. "Wah … ternyata iya, ya, Mas. Enak! Aku nggak nyangka setelah beberapa kali mencoba, aku berhasil masak sop seenak ini," ungkapnya dengan antusias.
"Iya, Sayang, aku bilang juga apa? Dan ini nih ayam goreng kamu, bumbunya itu meresap sampai ke dalam, dan sambal terasinya juga enak. Aku benar-benar suka! Terima kasih, ya, Sayang," puji Leon. Rasanya sudah lama sekali ia tidak makan masakan rumahan yang enak seperti itu.
Bella merasa lega sekaligus bahagia, suaminya yang kerap kritis dengan masakannya, kini menikmati hidangan yang ia sajikan dengan penuh cinta. Baginya, ini adalah sebuah prestasi tersendiri yang membuat hatinya berbunga.
"Iya, Mas, sama-sama. Syukurlah kalau kamu suka." Bella merasa sangat bersyukur.
"Iya, Sayang. Sekarang kamu makan juga, ya. Kita makan sama-sama," ajak Leon, tak mau hanya makan sendirian.
Bella mengangguk, tetapi menambahkan ucapan dengan manja, "Aku mau disuap kamu." Dengan raut wajah memelas, ia berhasil meluluhkan hati suaminya itu.
"Oke, nggak masalah buat aku," jawab Leon sambil tersenyum.
Momen indah lagi-lagi tercipta, mereka berdua saling menyuapi satu sama lain, menikmati nasi dan lauk-pauk yang tersaji di atas meja. Walaupun hidangan yang tersedia sangat sederhana, namun kebahagiaan mereka benar-benar tak tergantikan oleh apapun. Kebersamaan yang mereka jalani menguatkan ikatan cinta di antara keduanya.
Dalam hati, Leon merasa semakin takut kehilangan Bella karena kedekatan ini. Begitu juga Bella, yang masih belum mau mendengar kejujuran Leon, sangat berharap suaminya itu tak mengungkapkan apa pun tentang kebenaran yang sebenarnya. Di samping itu, Leon merasa lega karena Bella belum menanyakan tentang janji pernikahan ulang yang ia berikan padanya. Pikiran itu membuatnya memutuskan untuk menyimpan rahasia ini lebih dulu, setidaknya hingga saat yang lebih tepat datang. Di sisi lain, dia juga berharap bahwa kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini dapat terus bertahan dan tidak dirusak oleh rahasia yang disembunyikannya.
***
Pagi-pagi sekali, Leon tengah asyik menyibukkan diri dengan tumpukan pekerjaan di kantornya. Namun tiba-tiba, ia dikejutkan dengan kedatangan ibunya yang menatapnya tajam.
"Mama? Kenapa Mama datang ke sini? Kalau Mama mau minta aku pulang, aku akan pulang," ucap Leon cemas.
"Pulang? Sudah lima hari Mama di rumah dan kamu tidak pernah tidur di sana," ujar Karina, wanita paruh baya yang meski hampir berusia 50 tahun, masih terlihat cantik karena rajin berolahraga dan perawatan mahal. "Jolina juga, di mana dia sebenarnya? Sepertinya, kamu ini sekali tidak peduli dengan istrimu."
"Jangan bicara seperti itu, Ma. 'Kan sudah aku bilang, Jolina sedang ada pemotretan di luar kota selama seminggu. Dua hari lagi, dia pasti akan pulang dan aku akan ikut pulang. Lagi pula, sekarang ini 'kan aku menginap di apartemen, apa salahnya, Ma?" kata Leon, berusaha meyakinkan ibunya.
Namun, ada rasa tidak nyaman yang menggelayut di hati Leon. "Maafkan aku, Ma. Aku nggak bisa bilang sekarang kalau aku sudah menikah lagi dan aku harus menemani istriku yang sedang hamil," batinnya, perasaan bersalah muncul di hati kecilnya.
"Kamu jujur sama Mama, Leon. Mama tahu, tidak hanya kali ini saja, tapi kamu dan Jolina memang jarang pulang ke rumah 'kan? Kalian itu sebenarnya menikah serius atau main-main, sih? Dan kapan, kalian akan memberikan Mama cucu jika hubungan kalian terus seperti ini?" Karina menatap anaknya dengan amarah yang menyala. Tentu saja dia mengetahui hal itu dari Liona — adik Leon.
Leon merenung dalam-dalam sejenak. "Ma, aku sudah pernah bilang sama Mama, hubunganku dengan Jolina baik-baik saja. Memang keadaannya seperti ini, kadang aku pulang ke rumah, dia tidak pulang. Kadang sebaliknya, aku tidur di kantor atau di apartemen." Pria itu mencoba menjelaskan agar ibunya mengerti tentang kehidupan rumah tangganya. "Untuk keinginan Mama memiliki cucu, Jolina sendiri yang tidak mau, Ma. Dia tidak mau tubuhnya rusak dan karirnya hancur untuk saat ini." Leon menambahkan, berharap Karina tak terus menyalahkannya dan bersabar.
Namun ternyata, Karina bersikeras. "Benar-benar keterlaluan ya, Jolina itu! Kamu juga, sebagai suami, seharusnya bisa membujuk istri kamu untuk memiliki anak. Kalian berdua sudah menikah dua tahun, masa iya sama sekali tidak bisa menuruti keinginan Mama?"
Leon menelan ludah, merasa kesal dengan tekanan yang diberikan Karina padanya. "Ma, sudah ya, aku sekarang lagi sibuk. Mama tenang saja, walaupun Jolina tidak mau memiliki anak, tapi Mama pasti akan memiliki cucu sebentar lagi," ucapnya tanpa sadar, hanya berusaha menenangkan sang ibu.
"Apa maksud kamu, Leon?" tanya Karina, merasa terkejut dan tak mengerti dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut putranya itu.
Bersambung …