Bab 10. Mencari Solusi

1527 Kata
Hari demi hari berlalu begitu cepat, tak terasa sudah sebulan lamanya Leon dan Bella menjalani kehidupan pernikahan mereka. Sekarang, kedua orang tua Leon pun sudah kembali ke Indonesia, dan Leon teringat akan janjinya untuk menikahi Bella secara sah di mata negara dalam acara pernikahan yang akan dihadiri oleh orang tuanya dan mengundang banyak tamu. Namun, ada perasaan yang mengganjal di hati Leon. "Bagaimana ini?" desah Leon dalam hati, merasa dilema dengan dua pilihan yang ada di depannya. "Apakah aku harus menceritakan tentang Bella kepada orang tuaku dan Jolina? Tapi itu sangat berat. Atau aku harus jujur kepada Bella tentang statusku yang sebenarnya?" Leon merasa terbelenggu dengan pilihannya. Ia menyadari konsekuensi yang mungkin akan ia hadapi jika salah satu pilihan diambil. Jika ia jujur kepada kedua orang tuanya dan istri pertamanya, tentu saja mereka akan marah besar dan memintanya untuk berpisah dengan Bella, bahkan bisa jadi Bella akan jadi sasaran kemarahan mereka. Sementara itu, jika Leon memilih untuk jujur kepada Bella, ia khawatir kehilangan istri kecil yang amat dicintainya itu. Pilihannya sekarang sungguh tak mudah. Apakah kejujuran sebanding dengan pengorbanan yang mungkin akan terjadi? Haruskah ia menelan semua rahasia ini demi kebahagiaan bersama? Leon tampak termenung, pada akhirnya ia harus berani mengambil keputusan demi kebahagiaannya bersama Bella. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Leon, merasa sangat stres dengan situasi yang dihadapinya. Tok, tok, tok! Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu ruangan kerjanya. Leon pun mendongak dan melihat sosok yang sudah lama tak ditemuinya muncul di hadapannya. "Levin? Sejak kapan kamu ada di Indonesia?" tanya Leon, mengingat sahabatnya itu sudah dua tahun berada di luar negeri. "Kenapa, Leon? Kamu tidak suka melihat kehadiranku di sini?" tanya pria pemilik nama lengkap Levin Anggara itu. Leon pun berdiri dan menyambutnya, mereka saling beradu give five lalu berpelukan sejenak. "Silakan duduk," ucap Leon. Levin segera mendudukkan dirinya di depan Leon. "Aku baru saja pulang dari luar negeri kemarin. Maaf, baru sempat menemuimu," ucapnya. Leon merasa lega, seolah Tuhan mengirimkan seseorang yang bisa memberikan solusi bagi permasalahannya. "Kamu datang di waktu yang tepat. Karena sekarang ini aku benar-benar sedang bingung," ujarnya. Levin menatap Leon dengan cemas. "Ada apa? Apa ada kabar yang menghebohkan? Hubunganmu dengan Jolina baik-baik saja, 'kan?" tanyanya penuh kekhawatiran. Leon merasa jika ini adalah momen yang tepat untuk menceritakan segala kesulitannya dan mencari dukungan dari sahabatnya itu. "Itulah masalahnya, Lev. Aku sedang bingung karena sebenarnya aku sudah menikah lagi," ungkapnya dengan terbuka. "Apa?!" Levin terkejut, matanya membelalak tak percaya. "Jangan bercanda, Leon! Bagaimana bisa kamu menikah lagi? Kamu 'kan sudah memiliki istri yang cantik, model dan sempurna seperti Jolina. Apa kurangnya dia?" tanyanya. "Kamu itu tidak tahu siapa sebenarnya Jolina, Lev. Kamu hanya melihat dari penampilan luarnya saja. Kalau aku tidak kaya, mana mungkin dia mau menikah denganku," bantah Leon, karena yang ia tahu Jolina memang sangat matre. Leon merasa perlu menjelaskan lebih dalam kepada Levin, tentang kenapa ia melakukan hal tersebut. Dia hanya ngin sahabatnya itu mengerti tentang keputusannya. "Jadi, wanita seperti apa yang kamu nikahi? Yang tidak gila harta, yang tidak suka belanja, yang sama sekali tidak menginginkan harta pria? Atau jangan-jangan … tidak ada denyut nadinya?" tanya Levin penasaran, karena dia tahu betul seperti apa wanita zaman sekarang. Itulah sebabnya dia masih saja melajang, karena selalu dimanfaatkan oleh para wanita. Leon mendengus kesal. "Ck, aku serius, Lev. Aku tidak sedang bercanda." "Iya, sorry. Santai lah, sob. Jadi, siapa orangnya? Dan bagaimana bisa kamu menikahinya?" tanya Levin dengan antusias, meminta penjelasan lebih lanjut mengenai peristiwa yang membuat pria sedingin dan sesibuk Leon bisa menikah lagi. Bahkan pernikahan pertamanya saja karena dijodohkan, sebab pria itu lebih mementingkan pekerjaan, pikirnya. "Aku akan ceritakan semuanya padamu. Tapi ingat, jangan sampai hal ini bocor." Leon memberi peringatan tegas sebelumnya. "Kamu tenang saja, Leon. Kamu tidak percaya padaku?" Levin tak sabar lagi mendengar cerita dari sahabatnya itu. Leon menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan kisah hidupnya yang telah mengejutkan Levin; mulai dari pertemuan pertamanya dengan Bella, hubungan mereka yang intens dan akibatnya, hingga pernikahan siri yang telah mereka jalani. Levin tampak menggelengkan kepalanya, bingung dan gelisah, tidak menyangka sahabatnya ini telah melakukan hubungan hal yang terlarang. "Aku pikir kamu sangat mencintai Jolina, tetapi bagaimana kamu bisa mengkhianatinya?" ujarnya, seakan sulit mempercayainya. "Sudahlah, jangan menghakimiku. Kamu juga sudah tahu apa alasannya, 'kan? Sekarang, apa yang harus kulakukan?" kata Leon sambil merasa frustasi. "Bagaimana jika setelah aku pulang nanti, Bella menuntut janjiku untuk menikahinya di depan orang tuaku? Padahal, bahkan untuk mengenalkan mereka saja, aku tidak tahu caranya. Lalu Jolina, dia pasti akan marah dan berusaha menyakiti Bella yang sedang mengandung anakku." Levin tersentak, iba melihat sahabatnya yang tengah kacau dengan keputusan yang mesti diambil. Dalam hatinya, Levin merasa kasihan akan posisi Leon yang jelas begitu sulit. Kini, kebenaran pasti akan terkuak dan masalah sudah mengepung Leon. Pria itu harus mencari jalan keluar dari permasalahan ini dan mengambil keputusan terbaik, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk Bella dan Jolina, serta anak yang tidak bersalah itu. Levin akhirnya mengucapkan sebuah solusi yang menurutnya bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi Leon. "Hanya ada satu solusi, aku yakin Bella sangat mencintaimu. Lebih baik kamu jujur saja padanya," ucapnya dengan yakin. "Apa?" Rasa takut yang menghantui Leon membuatnya ragu. "Tapi, bagaimana jika Bella marah dan dia akan meninggalkanku? Aku tidak siap," keluhnya, sembari mencoba membayangkan konsekuensi yang akan dihadapinya. Dengan tegas, Levin mencoba meyakinkan sahabatnya itu. "Menurutku, saat ini hanya itulah solusi yang terbaik, Leon. Kalau kamu mengatakan hal ini kepada Jolina atau kedua orang tuamu, akibatnya akan lebih fatal terhadap Bella. Kamu juga tidak mau 'kan, Bella celaka karena mereka? Tapi, kalau kamu jujur kepada Bella terlebih dulu, aku yakin dia akan mengerti." Sambil merenung, Levin melanjutkan saran yang dia yakini merupakan jalan keluar terbaik untuk masalah Leon. "Beri dia pengertian. Kamu juga tetap harus mengenalkan Bella kepada kedua orang tuamu dan jujur tentang status kalian nantinya, mungkin sampai anak kalian lahir," ujarnya, dengan harapan sahabatnya itu mau mendengar dan mempertimbangkan pendapatnya. Leon akhirnya menyampaikan keputusannya dengan berat hati, "Oke, pulang nanti aku akan berusaha untuk berkata jujur dan aku akan siap menerima resiko apapun, walaupun aku tidak sanggup jika Bella harus meninggalkanku." Dengan itu, langkah pertama untuk menghadapi masalah ini pun dimulai. "Kamu tenang saja, Bella juga sedang hamil, 'kan? Walaupun aku belum menikah, tapi aku tahu kalian tidak akan bisa bercerai dalam kondisi Bella yang seperti itu. Kalian tetap sah menikah di mata agama dan pernikahan itu bukan main-main," ujar Levin dengan bijaksana. Leon terkekeh. "Cih, kamu ini, gaya bicaramu sudah seperti orang dewasa dan menikah, padahal sampai sekarang masih jomblo. Lebih baik kamu mencari pendamping, umurmu itu sudah tidak muda lagi," sarannya dan ini bukan untuk pertama kali. Levin tersenyum getir mendengar teguran sahabatnya itu. "Cukup ya, aku sudah pusing mendengar ocehan kedua orang tuaku yang memintaku untuk menikah dan sekarang kamu. Benar-benar sangat membosankan." Levin segera beranjak dari tempat duduknya. "Kamu mau ke mana?" tanya Leon, penasaran. "Aku mau melihat-lihat perusahaan ini dulu, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu," sahut Levin, berusaha mengalihkan perhatian dari topik pernikahan. Leon mengangguk. "Ck, dasar," celetuknya, namun membiarkan sahabatnya itu pergi. Ia pun merasa sedikit tenang, karena menurutnya apa yang Levin katakan itu ada benarnya. Mungkin, Levin lebih bijaksana daripada yang dikiranya selama ini. *** "Selamat malam suamiku tersayang, kamu sudah pulang? Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita, loh," ucap Bella yang menyambut kepulangan Leon setelah seharian beraktivitas di perusahaan. Leon mengecup kening istrinya. "Sayang, kamu masak untuk aku? 'Kan aku sudah bilang, kamu nggak perlu capek-capek. Kamu tadi pulang kerja sama siapa? Jam berapa? Kok nggak bilang sama aku," katanya khawatir. "Tadi aku pulang seperti biasa, sama dengan karyawan lainnya, jam 3 sore. Aku lihat kamu masih meeting, jadinya aku pulang duluan deh naik taksi online. Lagi pula, 'kan aku sudah kirim pesan untuk kamu. Kamu nggak baca ya, Mas?" kata Bella, menatap curiga. "Oh, iya. Maaf, Sayang, aku lupa. Tadi aku memang benar-benar banyak pekerjaan," jawan Leon, pelan. "Oh ya, ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu," tambahnya, menatap mata Bella dengan serius. Bella menatap serius pula, seolah ingin mengetahui apa yang ingin suaminya sampaikan. "Ada apa, Mas?" tanyanya, kekhwatiran muncul di benaknya. Leon mencoba mengatur kata-kata, ragu, namun ingin segera mengungkapkannya. "Jadi sebenarnya, aku …." "Mas, kamu mandi dulu ya. Kamu 'kan tahu kalau aku itu nggak bisa masak, tapi aku sudah berusaha masak untuk suamiku. Jadi, aku mau kita makan sama-sama. Ini juga 'kan sudah jam 7 malam, Mas, aku lapar," potong Bella tiba-tiba, dengan wajah memelas dan rengekan yang membuat Leon berhenti ingin berkata apa-apa. Leon menganggukkan kepalanya, lalu segera saja menuju ke kamar untuk membersihkan diri. Bella menatap punggung kepergian suaminya itu dengan rasa lega dan perasaan yang bercampur. "Mas, aku mohon jangan jujur sekarang tentang statusmu. Aku nggak mau semuanya berubah kalau nanti aku sudah tahu kamu memiliki istri selain aku," batin Bella dengan perasaan bercampur takut dan cemas. "Kalau aku sudah tahu dan bersedia menjadi istri simpananmu, nanti kamu pasti akan sering-sering meminta izin untuk pergi menemui istri pertamamu, 'kan? Aku nggak mau itu terjadi, Mas. Aku mau kamu tetap berada di sini," lanjut batinnya, seakan sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran suaminya itu, meski tak mampu mewujudkan kata-kata untuk mengungkapkannya secara langsung. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN