Bab 7. Tak Akan Tergantikan

1272 Kata
Setelah beberapa kali memutari sofa, akhirnya Leon berhasil menangkap Bella. Tangannya melingkar erat di pinggang ramping istrinya, membuat wanita itu tertawa cekikikan dan disambut oleh gelak tawa Leon. Mungkin bagi orang lain, apa yang mereka lakukan layaknya permainan anak-anak, namun ini adalah perwujudan kebahagiaan yang selama ini mereka impikan bersama. "Bella, bagaimana mungkin aku bisa sanggup kehilangan kamu. Setiap saat kita bersama, rasanya seperti berada di dunia yang begitu indah dan damai," gumam Leon dalam hati, seraya menikmati tawa kebahagiaan mereka berdua. Memang hanya dengan Bella, Leon mampu merasakan kebahagiaan yang tak pernah ia temui di sisi Jolina, istri pertamanya. Jolina, wanita yang telah dijodohkan dengannya demi bisnis keluarga, tak pernah membuat Leon merasa nyaman, bahkan selalu menyesakkan dadanya. Begitu pula sebaliknya, di mata Bella, hidup dengan Leon adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Meskipun mereka telah melakukan kesalahan besar dalam menjalin hubungan, namun kebahagiaan yang ia rasakan bersama pria yang kini telah menjadi suaminya itu, rasanya tak akan tergantikan oleh apapun. Tawa mereka saat ini adalah alunan melodi terindah yang pernah didengarnya. Meskipun ia tahu bahwa Leon sudah memiliki istri dan dia adalah istri kedua, namun rasa kebahagiaan ini membuatnya enggan untuk mengungkapkannya. "Menyimpan rahasia untuk saat ini adalah pilihan yang tepat. Aku harus memastikan kalau cinta dan kebahagiaan yang kami miliki bersama, nggak akan tergantikan oleh apapun dan siapapun," batin Bella, semakin yakin untuk merahasiakan kebenaran itu demi kebahagiaannya bersama Leon. Bagaimana mungkin, Bella berani mengungkapkan tentang kebenaran itu? Ia khawatir akan kehilangan Leon dan semua berakhir begitu saja, bagaimana nanti dengan nasib anak yang ada di dalam kandungannya? Bella merasa lebih baik menyimpan rahasia itu sendiri, sementara ia mencoba memahami perasaannya dan situasinya lebih dalam. Bella berpikir, lebih baik ia berkorban dulu, sampai nanti Leon benar-benar akan menjadi miliknya sepenuhnya. Meskipun hatinya terasa sakit, tapi bersama Leon saat ini, rasa sakit itu seakan hilang seketika. "Kamu mau ke mana lagi, Sayang? Sudah aku katakan, aku pasti akan mendapatkanmu dan aku nggak akan melepaskanmu," bisik Leon seraya menciumi leher istrinya itu. "Ih, Mas, geli. Lepaskan aku!" rengek Bella. Namun, bukannya melepaskan, Leon malah memutar tubuh istrinya lalu menarik pinggulnya, hingga jarak wajah mereka begitu dekat. Bella merasakan jantungnya berdebar kencang, salivanya ia telan dengan susah payah seraya menatap tampan wajah suaminya itu. Tak membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan, Leon langsung menyambar bibir Bella yang selalu membuatnya candu dan melumatnya dengan sangat lembut. Bella pun membalas ciuman itu, namun pikirannya masih terus mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantuinya. Beberapa saat kemudian, mereka melepaskan ciuman itu dan saling menempelkan dahi, napas mereka saling beradu. "Leon ... apa yang sebenarnya aku rasakan?" ucap Bella dalam hati, mencoba mencari kepastian tentang perasaannya terhadap pria yang kini berada begitu dekat dengannya. "Sayang, aku benar-benar minta maaf ya. Untuk menebus kesalahan ini, aku sudah mengambil cuti besok dan kamu juga masih cuti 'kan? Kita akan jalan-jalan, menghabiskan waktu bersama. Apa kamu setuju?" ucap Leon, dengan antusias mengajak istri kecilnya itu. Bella menatap penasaran. "Memangnya kita mau jalan-jalan ke mana, Mas?" tanyanya. "Rahasia. Besok kamu juga akan tahu." Leon tersenyum, sengaja menggoda sang istri. "Ih, kamu nih ya, Mas. Jadi sekarang main rahasia-rahasiaan sama aku?" ujar Bella sambil mengerucutkan bibirnya. Melihat ekspresi Bella, Leon terkekeh. Baginya, istrinya itu benar-benar sangat menggemaskan. "Besok kamu juga akan tahu kok, Sayang. Yang pasti, aku yakin kamu pasti akan suka," ujarnya. "Oke. Aku jadi nggak sabar nunggu besok. Ya udah, lebih baik sekarang kamu masak ya, Mas. Aku udah lapar," ucap Bella akhirnya, wajahnya tampak memelas. "Aku tunggu kamu di sini ya, Sayang." Leon mencolek hidung Bella. "Oke, siap Tuan Putri. Koki Leon akan memasak makanan kesukaan Tuan Putri Bella," sahutnya dengan nada hangat, yang membuat Bella merasa senang. Kemudian, Leon segera saja menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang mereka, sementara Bella hanya duduk santai ruang televisi sambil menonton drama favoritnya. Seketika pikirannya melayang. "Apa aku salah sudah melakukan hal ini? Tunggu! Kenapa jadi aku yang merasa bersalah? 'Kan jelas-jelas aku sudah dibohongin sama Mas Leon. Ya … aku pura-pura nggak tau aja lah dan nikmati kebahagiaan ini. Toh sekarang kami berdua juga sudah menikah, sah menjadi pasangan suami istri," ucapnya dalam hati. Lalu, Bella mengusap perutnya yang masih datar sambil berbisik, "Sayang, maafkan Mama, ya. Mama juga melakukan ini semua demi kamu. Mama nggak mau kalau hak kamu hilang begitu saja, Mama akan pastikan kalau kamu akan memiliki keluarga yang utuh." Dia tampak tersenyum. *** Sore hari, saat Leon berada di kamar mandi, Bella mendengar ponsel suaminya itu berdering beberapa kali di atas meja. Sebelumnya, Bella tidak pernah merasa curiga karena selalu percaya pada Leon. Namun, sekarang berbeda; sejak mengetahui bahwa pria itu telah membohonginya, perasaan curiga muncul dalam hatinya. Dengan langkah ragu, Bella mendekati meja dan melihat ponsel Leon. Tertera di layar ponsel adalah nama 'Jolina'. "Siapa Jolina? Apa dia istri Mas Leon? Tapi, kenapa namanya hanya Jolina saja?" Gumam Bella. Dia hendak menjawab telepon tersebut, namun lebih dulu terputus. Tepat di saat itu juga, Leon keluar dari kamar mandi dan merasa terkejut melihat Bella memegang ponselnya. "Sayang, ada apa? Apa ada yang menghubungiku?" tanyanya gugup. "Oh iya, Mas. Tadi handphone kamu bunyi terus dan aku lihat ada Jolina yang menelepon kamu. Jolina itu siapa, Mas?" tanya Bella dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Leon berpikir sejenak dan menjawab, "Oh, Jolina? Dia itu salah satu klien aku, Sayang. Mungkin dia mau tanya soal kelanjutan kerjasama perusahaan kami." Leon berusaha meredam rasa curiga Bella dengan berbohong. Sementara itu, dalam hati Bella merasa janggal, apakah klien benar-benar menjadi alasan, ataukah ada rahasia yang lebih dalam lagi? "Oh, tumben kerjasama langsung bosnya yang menghubungi, bukan lewat asisten seperti biasanya," ujar Bella dengan keheranan. "Iya, Sayang, kebetulan aku dan dia sudah lama kenal, jadi komunikasinya lebih personal," jawab Leon sambil tersenyum dan menghampiri Bella lalu merangkulnya. "Kenapa sih, Sayang? Jangan cemburu gitu dong." Bella merasa ada yang tidak beres. "Ck, aku yakin kamu lagi berbohong, Mas. Pasti Jolina itu istri pertamamu, 'kan?" batin Bella, namun ia memutuskan untuk berpura-pura tenang dan percaya. "Iya, Sayang. Tapi, memangnya salah kalau aku cemburu ada wanita lain yang menghubungi kamu?" ujar Bella dengan bibir memuncung. Cup! Leon tersenyum, lalu mencium bibir Bella sekilas. "Dengar ya, Sayang, hati ini hanya untuk kamu, tak akan tergantikan. Aku hanya mencintai kamu," ucapnya dengan tegas, lalu meraih tubuh Bella ke dalam dekapannya. "Ya, aku memang mau menjadi satu-satunya wanita yang kamu cintai, Mas. Yang ada dalam hati kamu. Tapi, gimana dengan istri pertamamu? Apa kamu akan lebih memilih aku daripada dia? Rasanya, aku udah nggak tahan lagi ingin mengungkapkan hal itu," gumam Bella dalam hati, mencoba untuk mengabaikan perasaan cemburu dan kekhawatirannya. Saat Bella merasakan pelukan hangat dari Leon, tiba-tiba ponsel suaminya itu berdering kembali, menampilkan nama yang sama seperti sebelumnya. "Mas, itu klien kamu menelepon lagi. Lebih baik kamu jawab saja dulu, mungkin memang penting dan ada yang urgent," ujar Bella, sengaja ingin mengetahui reaksi suaminya. Leon menggelengkan kepala. "Nggak usah, Sayang. 'Kan aku sudah janji akan menghabiskan waktu bersama kamu. Biarkan saja, nanti aku minta asistenku untuk mengurusnya," sahutnya, semakin erat memeluk Bella. "Mas, lebih baik kamu jawab saja, atau mau aku yang menjawab telepon kamu?" tawar Bella, membuat Leon tampak gugup. Leon melepaskan pelukannya. "Ya sudah, aku akan jawab sekarang," ucapnya lalu segera meraih ponselnya dan hendak beranjak pergi dari sana. "Mas, memangnya kamu nggak bisa jawab telepon di depan aku saja? Apa aku sama sekali nggak boleh tahu kalau klien kamu menelepon? Apa yang kalian bicarakan?" Pertanyaan Bella itu membuat Leon tersentak. Ia merasa bingung dengan permintaan Bella dan tak tahu harus menjawab apa. Dalam hati Leon, pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk. "Kenapa Bella tiba-tiba ingin tahu tentang pekerjaanku? Apa mungkin dia mulai curiga?" batinnya. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN