Bab 8 : Rencana Anin

1284 Kata
Lukas sengaja memasang penyadap pada ponsel Anin. Dengan itu, ia mendengar semua percakapan Anin dengan Bu Rahma. Namun, tindakannya tidak berhenti hanya di sana. Lukas diam-diam mengirim Evan untuk membantu memperlancar usaha kecil milik Bu Rahma dengan memesan seragam dalam jumlah besar untuk salah satu perusahaan mereka. Tidak cukup dengan itu, Lukas juga mempromosikan usaha Bu Rahma kepada rekan-rekannya, memastikan pesanan terus mengalir. Hal itu membuat Bu Rahma kewalahan. Usahanya yang selama ini hanya menitipkan hasil produksi ke butik atau tempat oleh-oleh tiba-tiba mendapatkan lonjakan permintaan. Lukas juga siap dengan segala rencananya, mengirim seorang ahli yang sudah dipilih untuk melamar pekerjaan di tempat Bu Rahma. Tidak sulit bagi orang itu untuk diterima bekerja dan kehadirannya dimaksudkan untuk membantu usaha Bu Rahma agar lebih berkembang. Pikiran Lukas, semakin sibuk Bu Rahma, semakin kecil kemungkinan beliau memikirkan keberadaan Anin. Lagi pula, Bu Rahma tahu bahwa Anin berada di tempat yang aman dan nyaman. Sementara itu, alasan Lukas membawa Anin ke resor tidak hanya karena ia mendengar percakapan ibu dan anak itu. Lukas sedang disibukkan dengan pembangunan proyek besar di resor itu dan akan banyak menghabiskan waktunya di sana. Tidak seperti vila pribadinya yang monoton, resor ini menawarkan suasana yang lebih menarik, berharap Anin nyaman berada di sini. Lukas melangkah mendekat, menundukkan kepala hingga dagunya bertumpu di pundak Anin. Ia sedikit menyenderkan kepalanya pada kepala Anin. "Beritahu aku kalau kamu sudah jatuh cinta," bisiknya pelan, penuh nada menggoda. Anin sontak mengelak, menoleh dengan sorot mata tajam yang bertemu dengan senyum tipis Lukas. Tatapan mereka bertahan sejenak, tetapi Lukas hanya mengangkat alisnya ringan dan berkata, “Istirahatlah. Malam nanti kita makan malam bersama.” Setelah itu, ia pergi meninggalkan Anin di kamar. Anin membanting tubuhnya ke atas kasur dengan kesal. Apa-apaan itu? Apa yang Lukas tawarkan tadi jelas bukan pilihan, melainkan paksaan. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Hitungan satu detik, dua detik, tiga detik berlalu, hingga akhirnya perhatian Anin teralihkan oleh suara deburan ombak. Ia bangkit dan berjalan menuju dinding kaca yang menghadap langsung ke lautan luas. Senyuman kecil muncul di wajahnya ketika ia menyadari betapa indahnya pemandangan itu. Anin terkesima saat menyadari bahwa dinding kaca itu ternyata pintu geser. Ia melangkah keluar, membiarkan angin pantai menerbangkan rambutnya yang terurai. Matanya menyipit, memperhatikan sosok Lukas yang berdiri sendirian di tepi pantai. Dari jauh, Lukas tampak begitu sunyi—kesepian, hampa, dan rapuh. Entahlah, Anin hanya merasakan apa yang dia lihat. Ketika Lukas berbalik dan mengenakan kacamata hitam, Anin buru-buru masuk ke dalam kamarnya, seolah takut ketahuan telah mengamatinya. Anin memutuskan untuk membersihkan diri, tetapi baru menyadari bahwa ia tidak membawa pakaian selain yang dikenakannya saat ini. Penasaran, ia melangkah menuju walk-in closet dan terkejut saat membuka pintunya. Dekorasi kamar yang mewah saja sudah membuatnya terpana. Dan kini …, mata Anin membulat melihat lemari yang penuh dengan pakaian, sepatu, tas, dan bahkan perhiasan yang tertata sempurna. Namun, hampir semua pakaian yang ada di sana memiliki gaya serupa—super feminin, seperti saat di vila. *** Langit sudah menghitam ketika Anin masih duduk di kursi santai, menghadap pantai yang kini hanya diterangi bulan di balik awan. Pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang harus dilakukannya. “Enam bulan,” gumam Anin. Waktu itu harusnya tidak lama, pikirnya. Ia hanya perlu bertahan dan menghabiskan waktu di sini hingga semuanya selesai. Hitung-hitung, ini semacam liburan gratis. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul di kepalanya. “Aku hanya perlu membuatnya ilfeel. Lelaki tidak suka wanita matre, bukan?” Dengan senyuman licik, Anin memantapkan rencananya. “Let’s play,” gumamnya sambil bangkit penuh semangat. Ia keluar dari kamar dengan langkah percaya diri, siap menjalankan misinya. Namun, baru saja membuka pintu, pandangannya langsung bertemu dengan Lukas. Pria itu sedang sibuk dengan laptopnya, tetapi sempat melirik dan tersenyum tipis. “Mau makan sekarang?” tanya Lukas, menutup laptopnya untuk mengakhiri pekerjaannya. Anin menelan ludah, mencoba meneguhkan hati. Ia berjalan mantap, duduk di hadapan Lukas tanpa ragu. Lukas mengangkat alis, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Anin. “Karena kamu menculikku, aku kehilangan pekerjaan di Samudera Teknologi,” kata Anin tiba-tiba, membuat Lukas hanya mengangguk kecil, seolah menanti kelanjutan kalimatnya. Anin berusaha mengumpulkan keberanian. “Jadi ... aku ingin gaji yang pernah kamu janjikan dibayar awal,” katanya dengan mantap. Lukas terdiam sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Itu saja?” tanyanya santai. Anin mengangguk ragu. Wajah Anin memerah, malu bukan main. Sungguh dia sangat amatiran. Baginya meminta itu sudah sangat lancang. Tanpa banyak kata, Lukas meraih ponselnya dan meminta Evan untuk mengirimkan gaji pertama Anin. “Tidak minta nomor rekening dulu?” gumam Anin bingung, tetapi Lukas hanya mengulum senyum, mengabaikannya. “Kita makan di area hotel,” titah Lukas, bangkit lebih dulu. Anin hendak mengikuti langkah Lukas, tapi tiba-tiba ponselnya berdenting. Langkahnya terhenti seketika membaca pesan yang muncul di layar. Jumlah uang yang diterimanya jauh melebihi ekspektasi—tiga kali lipat dari gaji normalnya. Matanya membulat, mulutnya menganga—cepat ia tutup. “Sampai kapan mau berdiri di situ?” suara Lukas terdengar dari ambang pintu, membuat Anin tersentak. Ia segera berjalan ke arahnya, masih berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Anin yang sebelumnya ingin mengkonfirmasi, seketika ingat dia sedang dalam mode matre. “Aku sudah menerima gajiku untuk tiga bulan pertama. Tanggung sekali.” Lukas meraih tangan Anin, menatap layar ponsel wanita itu. “Tidak, itu hanya untuk satu bulan,” katanya polos, membuat tubuh Anin terasa lemas. “Tunggu sebentar.” Lukas masuk ke kamar. “S-satu bulan?” ulang Anin terkejut. Lukas kembali—memakaikan jaket di pundak Anin. “Di luar anginnya kencang,” ujarnya, lalu menuntun Anin keluar. Tidak boleh lemah, Anin. Jadilah cewek matre, batinnya. Ia terus mengingatkan dirinya, tapi tiga kali gaji untuk satu bulan itu terlalu banyak untuk Anin. Anin menjaga jarak dari Lukas yang tiba-tiba menoleh, sementara Anin meliriknya dengan tatapan sinis. Tibalah mereka di taman hotel. Bangunan di sekitarnya terlihat berantakan, tetapi di dekat area itu, sebuah meja makan dengan dua kursi telah dihias cantik. Tenda kain yang menjuntai lembut di atas meja menciptakan suasana romantis yang kontras dengan keadaan sekitar. Lukas menarik kursi untuk Anin, tetapi wanita itu memilih menarik sendiri kursi dan segera duduk. Lukas mengulum senyum melihat sikap Anin. Berbeda dengan makan malam sebelumnya, kali ini meja penuh dengan makanan yang telah tersaji. Anin terdiam sesaat, mengamati hidangan di hadapannya. Jika sebelumnya ia mencoba meminta uang dari Lukas dan lelaki itu tampak santai, kali ini Anin memutuskan untuk mencoba strategi lain. Cara lain yang dia pilih adalah menjadi cewek rakus. Di dalam hati, ia melonjak girang dengan rencananya. “Sup jagungnya masih hangat,” kata Lukas sambil mendekatkan mangkuk sup ke arah Anin. Tanpa basa-basi, Anin dengan cepat meraih mangkuk, menyendokkan sup, meniupnya sedikit, lalu melahapnya. Ia mengambil sepotong roti, merobeknya, dan mencelupkannya ke dalam sup—memakannya dengan lahap. Lukas terdiam memperhatikan, sesekali memandang Anin sambil menyembunyikan senyumnya. Baru saja Lukas selesai memotong steak di piringnya, Anin dengan gesit memindahkan mangkuk sup yang belum habis ke arah Lukas, menukar—mengambil piring steak yang sudah lelaki itu potong. Tanpa ragu, Anin mulai menyantap steak tersebut dengan penuh semangat, mengabaikan Lukas. Kalau rencana sebelumnya ia tampak sungkan, kali ini urat malunya hilang sudah. Sementara itu, Lukas tak kunjung menyentuh makanannya. Ia hanya menopang dagu, menatap Anin yang begitu lahap menikmati makanan. Anin yang awalnya tampak santai, mulai merasa risih dengan tatapan Lukas yang begitu intens. “Apa?” tanya Anin ketus sambil menatap Lukas tajam. Mata Lukas kini beralih pada bibir Anin. Ia terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan— mengusap lembut bibir mungil merah muda itu. Anin membeku, jantungnya berdebar hebat saat merasakan sentuhan Lukas. “Pelan-pelan, ya, makannya,” ucap Lukas seraya membersihkan sisa saus di sudut bibir Anin. Tangannya kemudian bergerak mengusap lembut pipi Anin. “Cantik,” gumam Lukas, tak bersuara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN