Bab 9 : Gagal Lagi

1932 Kata
Anin menepis keras tangan Lukas, kesal karena bukannya ilfeel, Lukas malah terlihat semakin terkesima. Lelaki gila mana yang suka cewek rakus, pikir Anin geram. Kini, ia mulai menyantap makanannya dengan malas-malasan, tidak seantusias di awal. Sementara itu, Lukas sibuk mendekatkan piring-piring menu lain ke arah Anin, seolah ingin gadis itu mencoba semuanya. “Sengaja kamu suruh aku makan semua ini? Mau aku gendut, ya?” sentak Anin, nada suaranya penuh kekesalan. Lukas terdiam sejenak, sedikit bingung dengan perubahan sikap Anin yang tiba-tiba. Padahal tadi ia begitu bersemangat menikmati makanan di depannya. Anin mendengus, dalam hati ia menggerutu, merasa usahanya untuk membuat Lukas ilfeel kembali gagal total. *** Anin membuka matanya perlahan, tersenyum tipis menikmati pemandangan indah dari atas ranjang. Deburan ombak yang terdengar lembut membangunkannya dari tidur. Lama ia terdiam, memandangi hamparan laut dari kejauhan melalui jendela besar di kamarnya. Seketika ia tersadar, ia tidak lagi memeluk guling. Matanya melirik ke sekitar ranjang. Tidak ada guling, hanya dua bantal. Lantas, apa yang ia peluk semalaman? Keningnya berkerut, mencoba mengingat-ingat. Tidak salah lagi, ia yakin memeluk sesuatu tadi malam. Anin mengendus lengan kirinya, lalu kanan, mencium aroma yang tidak asing baginya. Tangannya bergerak menarik bagian depan bajunya—mencium, mencoba mencari sumber wangi itu. Tidak cukup sampai di situ, ia bahkan membungkuk menciumi bantal dan selimut di ranjangnya. Namun, sebelum ia menemukan jawabannya, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Anin melangkah malas menuju pintu. Begitu dibuka, Lukas berdiri di hadapannya dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Entah kenapa, pagi ini Lukas terlihat berbeda. Wajahnya tampak lebih cerah, matanya berbinar-binar, tidak lagi sekosong biasanya. “Morning,” sapa Lukas. Anin memutar bola matanya, menjelingkan tatapan malas. Ia berbalik tanpa ingin meladeni lelaki itu lebih lama. Namun Lukas sigap, tangannya menahan langkah Anin sebelum sempat pergi. “Hari ini aku seharian di kantor resor,” katanya, mencoba mencairkan suasana. “Lalu?” Anin membalas ketus tanpa menoleh. Senyum Lukas semakin lebar. “Siang nanti kita makan bersama di tempat semalam, ya,” ujarnya, tetap sabar meski Anin hanya diam memalingkan wajah. “Lalu, sore nanti, bersiaplah. Aku ingin kamu menemaniku golf di belakang. Oh, ya, dan sebentar lagi pelayan akan datang. Kalau butuh sesuatu, kamu bisa minta bantu beliau, Bik Tum. Kemal, dia juga ada di teras depan.” Ketika Lukas hendak mengelus puncak kepala Anin, wanita itu cepat-cepat menghindar. Lukas hanya tersenyum, menahan tawa kecilnya, lalu pergi meninggalkan Anin. Anin menggerutu sambil bersandar di pintu setelah menutupnya. “Ada apa dengan dia? Sejak kemarin asyik senyam-senyum sendiri. Gila, ya?” Setelah membersihkan diri, Anin memutuskan keluar dari homestay yang ia tempati. Bangunan itu cukup besar, terdiri dari dua lantai, dan Anin menempati kamar di lantai bawah sementara Lukas di lantai atas. Tidak seperti vila sebelumnya yang terasa menegangkan dengan penjaga di setiap sudut, tempat ini terasa lebih santai dan menyenangkan. Namun, Anin buru-buru menambahkan dalam pikirannya—yang menyenangkan tempatnya, bukan orangnya. Lukas tetap lelaki paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Saat ia berjalan keluar, matanya menangkap sosok Kemal yang mengikutinya dari kejauhan. “Ngikutin saya?” seru Anin protes, menoleh dengan tatapan kesal. “Maaf, Non Anin. Saya diminta menjaga Non oleh Pak Lukas,” jawab Kemal. Anin mendengus, menggeleng kesal, lalu melanjutkan langkahnya menyusuri pantai. Sesekali ia membiarkan kakinya menyentuh air laut. Matanya tertuju ke area hijau di belakang homestay, mungkin itu lapangan golf yang dimaksud Lukas. Anin memilih duduk di pinggir pantai, memandang jauh ke sana bersama pikirannya yang melayang memikirkan cara agar Lukas membebaskannya lebih cepat dari waktu yang disepakati lelaki itu seorang diri. Semalam jelas Anin gagal total untuk membuat Lukas ilfeel. Ia mendesah panjang, seketika ajakan Lukas untuk makan siang kembali terlintas di pikirannya. Kali ini, Anin harus mencari strategi baru. “Jadi cewek rakus nggak mempan,” gumamnya pelan sambil memutar bola matanya. Giginya menggigit bibir bawah, mencoba mencari ide lain. Dan tiba-tiba, senyum jahil mengembang di wajahnya. *** Anin sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan untuk makan siang bersama Lukas. Lelaki itu bilang mereka akan makan di tempat outdoor yang sama seperti kemarin. Alih-alih mengenakan pakaian yang sesuai dengan konsep santai, Anin sengaja memilih pakaian yang bertolak belakang. Ia memutuskan memakai outfit dinner lengkap dengan perhiasan berkilauan menghiasi tubuhnya. Makeup-nya pun ia poles tebal, paripurna. Lelaki pasti tidak suka wanita yang dandan berlebihan, kan? pikir Anin sambil tersenyum puas. Ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Kemal memanggilnya untuk segera bersiap karena Lukas sudah selesai bekerja. Anin menatap dirinya di cermin dengan bangga, merasa seperti toko perhiasan berjalan. Ia pun keluar dari kamar. Kemal tertegun melihat penampilan Anin. Wanita itu mengenakan long dress merah dengan belahan tinggi hingga paha, bertali spaghetti, dipadukan dengan bolero bulu putih. Penampilan yang sangat mencolok. Pelayan baru yang bertugas siang itu juga terpaku melihat Anin. “Apa? Ayo, jalan sekarang,” ujar Anin santai sambil mengangguk hormat pada pelayan yang ikut membalas dengan anggukan segan. “Non, nggak salah pakai heels?” tanya Kemal, mencoba mengingatkan. Anin mengabaikannya dan naik ke atas buggy dengan percaya diri. Kemal memejamkan mata sejenak, membayangkan bagaimana reaksi Lukas nanti. Ia pun berbisik melalui earpiece, memastikan pada Ben kalau tamu-tamu penting Lukas sudah meninggalkan area resor. Jawaban Ben membuatnya sedikit lega karena semuanya sudah pergi. Sesampainya di area resor, Lukas berjalan mendekati buggy untuk menyambut Anin. Begitu Anin tepat di hadapannya, Lukas langsung membeku, matanya terpaku pada wanita itu. Kemal memijat pangkal hidungnya, sementara Ben memberi isyarat pada anak buahnya di sekitar untuk membalikkan badan. Anin mengulurkan sebelah tangannya dengan anggun ke arah Lukas. Tanpa banyak bicara, Lukas meraih tangan Anin, membantunya turun. “Kenapa lihat begitu? Secantik itukah?” tanya Anin dengan nada puas melihat raut terkejut di wajah Lukas. “Aku bingung mau pakai perhiasan yang mana lebih dulu. Aku suka cincin ini,” tambahnya, menunjuk dua cincin yang melingkar di jari telunjuk dan tengah tangan kirinya, serta dua cincin lain di jari telunjuk dan tengah tangan kanannya. Lukas mengangguk pelan, seolah setuju dengan pilihan Anin, lalu mempersilakannya berjalan. Namun, Anin mulai kesulitan berjalan di pasir dengan heels-nya. Lukas tampak siaga, khawatir wanita itu akan terjatuh. “Suka sepatu ini juga?” tanya Lukas santai. Anin mengangguk antusias. “Tapi susah jalannya,” rajuknya, menghentikan langkah. Ia melepas sepatu hak tinggi itu, lalu menyerahkannya pada Lukas. Tanpa protes, Lukas membawa sepatu itu sementara Anin berjalan tanpa alas kaki. Lukas menoleh menatap anak buahnya di belakang dan mereka kembali berbalik badan. Sepanjang makan raut wajah Lukas sulit Anin artikan, lebih ke bingung, tapi Anin puas. Ia tetap makan dengan rakus untuk menambah tingkat ke-ilfeel-an Lukas. Namun, Lukas tampak tenang, bahkan sesekali tersenyum, seperti menikmati situasi. Ia memindahkan helaian rambut Anin yang jatuh ke depan, menyelipkannya ke belakang. Lukas mengusap puncak kepala Anin dengan lembut, malah membuat wanita itu yang ilfeel. Lukas sempat fokus pada ponselnya beberapa saat. Tak lama kemudian, Ben datang membawa sepasang sandal, menyerahkannya pada Lukas. “Pakai ini saja, ya,” ujar Lukas. “Ini ukuranku, memang besar, tapi lebih baik daripada tanpa alas kaki.” Anin yang sedang mengunyah sempat tersentak ketika Lukas menarik pelan kakinya untuk memakaikan sendal. Sendal itu memiliki bagian depan tertutup, cukup nyaman meski kebesaran. Suara deheman dari arah belakang membuat keduanya menoleh. “Wah, makan siang nih,” seru Ze dengan senyum hangat. “Pas sekali, aku belum makan.” Lukas mengerutkan kening, jengah melihat Ze melambai ke arah Ben, meminta kursi tambahan. Lukas mengangguk tanda setuju kemudian Ben mulai menyiapkan apa yang Ze minta. Ze lalu duduk di meja mereka, tangannya sudah terulur hendak menyalami Anin dan ditepis oleh Lukas. “Anin,” ujar Lukas dingin, memperkenalkan wanita itu lebih dulu. Ze mengangguk sopan. “Anin,” ulangnya, lalu mulai menikmati makanannya bersama mereka. “Silahkan,” kata Anin, saat tanpa sengaja menyentuh tangan Ze saat mengambil teko air. Lukas dengan cepat menyodorkan gelasnya yang masih penuh pada Anin. Lukas tampak jelas tidak suka, tetapi tetap berusaha tenang. Anin memanfaatkan keberadaan Ze berharap membuat Lukas malu karena penampilannya. Namun, nyatanya Lukas dengan percaya diri menarik kursi Anin mendekat dan merangkul Anin saat sedang berbicara dengan sahabatnya. Setelah selesai makan, Lukas berdiri. “Aku harus kembali bekerja--Kemal, antar Anin kembali ke homestay,” katanya. *** “Gila! Jangan bilang kamu mendekatinya karena Lea?” Lukas yang sudah berada di ruang kerjanya, hanya melirik sekilas tanpa menanggapi. “Aku hanya perlu membuatnya jatuh cinta padaku,” gumamnya. “Selamanya aku ingin melihat wajahnya.” Ze mendengus, lalu menatap Lukas tajam. “Pengecut,” sindirnya. Namun, Lukas tetap fokus pada pekerjaannya, berpikir untuk segera menyelesaikan semuanya agar bisa bersama Anin sore nanti. Sementara itu, Anin sedang bersiap di homestay untuk melancarkan misi berikutnya. “Bisa-bisanya dia tidak marah dan pede dengan penampilanku ini,” kesal Anin, menghapus makeup-nya dengan geli. Karena kehabisan ide, satu-satunya cara yang terlintas di benaknya adalah mencoba menggoda Lukas. “Lelaki pasti tidak suka dengan cewek nakkal, kan?” pikirnya. Berbeda dengan penampilan sebelumnya yang tidak sesuai konsep, kali ini Anin mengenakan pakaian olahraga, rok pendek dan atasan tanpa lengan yang ketat, dilengkapi dengan topi olahraga. Gayanya sudah maksimal, meski ia sama sekali tidak pandai bermain golf. Kali ini, Lukas sendiri datang menjemput Anin. Tepat saat wanita itu melangkah keluar dari kamarnya, Lukas yang tengah menyesap minumnya di kitchen island tersedak begitu melihat penampilan Anin. Walau pakaian itu cukup umum digunakan, entah kenapa melihat Anin memakainya membuat Lukas harus menelan salivanya dengan gugup. “Ayo,” ajak Anin santai sambil berjalan mendahului Lukas. Namun, dengan cepat Lukas menahan langkahnya. “Ada apa?” tanya Anin, bingung. Lukas tampak berusaha keras menenangkan diri. “Pakai outer lagi, ya,” pintanya pelan. “Kenapa? Nggak suka aku tampil begini?” goda Anin. Lukas mengangguk kecil, membuat Anin bersorak dalam hati. Poin untuknya! “Tapi aku suka tampil begini. Yuk, jalan,” sahutnya riang sambil melangkah lebih cepat, membuat Lukas hanya bisa memejamkan mata dan memijat dahinya. Sesampainya di lapangan golf, ternyata Ze masih berada di sana dan langsung menyapa ramah. Anin mempersilakan Ze dan Lukas untuk bermain lebih dulu, sementara dia duduk santai di kursi tidak jauh dari mereka. “Tunggu di sini sebentar, ya,” kata Lukas sebelum meninggalkan Anin. “Pesan saja makanan atau minuman, nanti Kemal akan mengantarnya.” Anin memesan pisang cavendish besar dan yoghurt, sementara Lukas menitip pesan iced cappuccino. Ketika pesanannya tiba, Anin langsung memulai aksinya. Ia membuka pisang besar itu dengan sengaja dan menyantapnya bersama yoghurt dengan gerakan yang tampak menggoda, menjilaat dan melahap kasar. Sepanjang permainan, Lukas tampak tak fokus karena terus mencuri pandang ke arah Anin yang terlihat seperti sengaja menggoda dengan cara makannya. Bahkan Ze, yang melihat dari jauh, mulai salah tingkah. Lukas akhirnya meminta Ben menggantikannya bermain dan langsung berjalan menuju Anin. “Berhenti makan pisang seperti itu,” tegur Lukas tajam. “Kenapa? Aku memang makan pisang seperti ini,” balas Anin dengan nada acuh. Lukas tidak menanggapi, melainkan langsung menarik Anin hingga terseok-seok ke arah homestay mereka. Anin berusaha melepaskan tangannya, tetapi Lukas tetap bersikukuh. “Kalau cara makanmu seperti itu, lebih baik makan di rumah saja,” ucap Lukas dengan nada kesal. “Kenapa? Kamu terganggu?” tanya Anin dengan nada menantang. “Atau ... kamu tergoda?” godanya. Lukas menghentikan langkahnya dan mendekatkan wajahnya ke Anin. Ia menyeka sudut bibir Anin dengan jari, membersihkan sisa yoghurt yang menempel. Tatapan Lukas yang semula tajam kini berubah sayu. Ia menyentuh belakang kepala Anin, mendekatkannya hingga jarak mereka hampir tak bersisa. “Jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang memancingku sejak tadi,” bisiknya pelan. Anin mengerjap, lalu meninjak kaki lukas dan melarikan diri masuk ke homestay sambil berteriak, “Mesuum!” dengan wajah merah padam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN