Iqbal menepati janjinya mengajak Safina makan malam di luar. Makan sate madura di pinggir jalan. Safina sudah lama tidak makan sate madura dengan lontong dan dia sedang menginginkan itu. Lagi pula seharian ini dia bersama Iqbal hanya menghabiskan waktu di rumah saja.
Safina menarik napas panjang. "Seger banget udara luar." Perempuan itu mejadi rakus udara di luar rumah dan menghirup sebanyak-banyaknya.
"Besok selesai kuliah jam berapa?"
"Sore, Pak. Kenapa?"
"Besok malam saya mau ngajak ke suatu tempat. Kamu harus ikut!" Iqbal tidak memberikan Safina pilihan apa pun.
"Bapak ngajak tapi maksa. Emang saya enggak bisa nolak?" Safina tidak mau menurut semudah itu.
"Kalau mau cepat hamil, ikut saya besok malam."
Safina berpikir sendiri tempat tujuan Iqbal besok malam. "Apa ke dokter kandungan? Masa iya sih. Ah terserah Pak Iqbal aja deh."
***
Tebakan Safina benar, Iqbal mengajaknya ke dokter kandungan. Bukan untuk memeriksakan kesehatan reproduksi masing-masing, tetapi hanya ingin tahu bagaimana caranya bisa cepat hamil. Tentu saja dokter kandungan adalah orang yang tepat untuk bertanya, bukan?
"Kalau mau cepat hamil dalam waktu satu minggu lakukan hubungan sebanyak tiga sampai empat kali terutama di waktu subur."
Iqbal menganggukkan kepala. "Kapan waktu suburnya, Dok?"
Dokter menjelaskan siklus pada perempuan. Waktu subur dan terbaik agar Safina bisa cepat hamil.
Iqbal dan Safina pun paham. Pria itu menghitung sendiri kapan waktu suburnya Safina dalam beberapa hari ke depan.
"Kenapa sekarang Bapak jadi pengen saya cepet hamil?" tanya Safina di perjalanan pulang ke rumah dari dokter kandungan.
"Biar enggak ditanya terus sama orang tua, saya."
"Oh."
"Kenapa?"
"Eh, enggak apa-apa kok, Pak. Cuma penasaran aja, ternyata karena orang tua Pak Iqbal." Safina menoleh ke luar kaca di sampingnya.
"Kamu juga kan enggak keberatan kalau hamil dalam waktu dekat? Kuliah kamu bisa dibuat santai, kan?"
"Hmm ... kayaknya enggak gitu juga deh. Emang sih saya baru masuk kuliah, tapi--"
"Masih bisa cuti sebentar kok buat melahirkan terus dilanjut lagi."
Safina menganggukkan kepala. "Boleh tanya sesuatu, Pak?" Safina menoleh menatap Iqbal.
"Boleh. Mau tanya apa?"
"Bapak pikir pernikahan kita gimana? Maksudnya saya cuma penasaran aja, apa rencana Bapak terhadap pernikahan ini?"
"Enggak banyak. Cukup jalani saja pernikahan ini. Bukankah ketika kita menikah artinya kita jodoh? Tapi sampai kapan? Saya enggak bisa jawab. Kalau suatu hari kita berpisah, artinya waktu kebersamaan kita sudah berakhir."
"Pak Iqbal memandang pernikahan kami sesederhana itu?" batin Safina yang masih tetap penasaran.
"Terus kalau suatu hari mantan Bapak kembali, apa yang akan Bapak lakukan?"
Iqbal belum kepikiran soal ini. Dia memang belum ada rencana apa pun apabila bertemu dengan Vania lagi. Yang jelas dia masih merasa sakit hati pada perempuan yang telah membatalkan rencana pernikahan mereka secara sepihak.
Jika suatu hari Vania kembali dan menjelaskan apa yang telah terjadi, Iqbal belum tahu apakah dia akan kembali pada Vania dan meninggalkan Safina.
"Saya enggak tahu."
"Apa Bapak akan milih dia terus ninggalin saya?"
"Saya enggak bisa jawab pertanyaan itu. Maaf."
Berbeda halnya dengan Safina, perempuan itu tidak akan pernah kembali dengan Dirga. Pria itu telah menghancurkan kepercayaan Safina padanya. Itu tidak mudah dimaafkan. Jika Safina memaafkan Dirga, dia tidak akan kembali pada pria itu lagi.
***
Besoknya, Iqbal dan Safina sarapan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa merasa penasaran dengan apa yang dipikirkan orang yang ada di hadapan masing-masing.
"Ke kampus bareng saya aja!" Ini bukan ajakan, melainkan perintah Suami pada istrinya.
Safina mengerutkan dahi. Tidak pernah sekali pun dia terpikir untuk pergi ke kampus bersama Iqbal. Apa pun yang terjadi.
"Saya bisa pergi ke kampus sendiri, Pak. Saya enggak mau pergi bareng Bapak. Takut nanti temen di kampus jadi mikir macem-macem sama saya. Kan enggak semua tahu kalau Bapak menikah dengan saya."
"Emang mereka bakalan mikir kamu apanya saya?" Iqbal penasaran.
"Simpanan Bapak atau perempuan gatel yang mendekati dosen karena pengen dapet nilai bagus."
Gantian Iqbal yang mengerutkan dahi. "Saya enggak percaya teman kuliah kamu akan ngomong gitu. Kita buktikan pagi ini! Cepat ambil tasmu. Kita berangkat sekarang!"
Safina tidak diberikan kesempatan untuk menolak apalagi membantah ucapan Iqbal. Dia harus patuh. Mengambil tas di kamar dan pergi ke kampus bersama Iqbal dengan menumpang mobil pria itu.
"Saya turun di jalan dekat kampus aja ya, Pak. Jangan turun di parkiran bareng Bapak."
"Enggak, Fin. Kamu turun di parkiran kampus, bareng saya."
"Mampus deh aku!" batin Safina sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Kenapa saya harus turun di parkiran kampus bareng Bapak?"
"Karena kamu istri saya."
Safina menghela napas kasar. "Kenapa Pak Iqbal makin ke sini makin nyebelin ya?"
"Ya sudah terserah Bapak aja."
Safina hanya bisa berharap ketika mobil Iqbal masuk parkiran dosen di kampus, tidak ada teman-teman kampus yang melihatnya turun dari mobil pria tampan itu.
Tiba di kampus ketika Safina turun dari mobil suaminya, Dirga yang entah datang dari mana menghampiri perempuan itu.
"Fin, kamu kok bareng Pak Iqbal? Emang ketemu di mana?"
Tanpa Safina sadari Iqbal sudah berada di sampingnya dan menjawab pertanyaan Dirga.
"Safina sudah menikah dengan saya. Sekarang dia adalah istri saya. Kamu teman kuliah Safina, kan?"
Bibir Safina terkunci. Dia tidak tahu harus menjawab apa nanti jika Dirga bertanya. Seolah dia lah yang salah di mata pria itu nanti.
"Oh, jadi gitu ya, Fin? Kamu nuduh aku selingkuh supaya kita putus terus kamu bisa nikah dengan Pak Iqbal. Ternyata kamu yang licik banget, Fin."
Dirga masih belum percaya dengan ucapan Iqbal. Bagaimana bisa mereka menikah tanpa sepengetahuannya.
"Bukan gitu kejadiannya, Mas." Safina berusaha meluruskan yang sudah terjadi. "Aku menikah sama Pak Iqbal karena desakan papa waktu itu. Enggak ada hubungannya dengan kejadian itu."
Iqbal kini dibuat bingung oleh Dirga dan Safina. "Tunggu, jadi kamu Mantan pacarnya Safina?" tanya Iqbal pada Dirga.
"Iya, Pak. Sebelum Safina menikah dengan Bapak, kami memang pasangan kekasih, tapi sampai sekarang saya enggak pernah merasa memutuskan hubungan dengan Safina, Pak. Gimana kalau saya ambil Safina dari Bapak?" Dirga menatap tajam pada Iqbal. Dia tidak takut dengan pria itu walaupun Iqbal adalah dosennya di kampus. Dirga merasa tidak selingkuh dengan Siska.
"Jangan gila kamu ya, Mas!" Safina menghardik Dirga di depan Iqbal. "Mas itu udah selingkuh dan hubungan kita sudah berakhir!" Safina hampir menangis jika dia gagal menahan air matanya.
"Enggak Fina. Kita enggak putus dan aku enggak pernah selingkuh. Gimana biar kamu percaya kalau aku enggak selingkuh?"
"Apa kamu masih mau sama Safina kalau saya bilang saya sudah tidur dengan Safina?" tanya Iqbal hampir berbisik di telinga Dirga.