Bab 10. Balas Dendam

1041 Kata
Safina terus menangis sambil memunggungi Iqbal. Namun, pria itu terus memeluknya. Iqbal benar-benar merasa bersalah. Karena terbawa emosi dia khilaf menyentuh Safina dengan kasar. Apa yang sudah dia lakukan tidak bisa diulang. Rasa sakit yang dirasakan Safina pun tidak bisa ditarik kembali dan Iqbal pun sangat menyesal. "Maaf, Fina." Iqbal pun akhirnya meneteskan air mata penyesalan. Tidak ada jawaban dan tanggapan dari Safina. Cukup lama mereka berada dalam diam di posisi yang sama sampai akhirnya keduanya tertidur sampai subuh. Iqbal terbangun saat merasakan pergerakan Safina. Dengan sigap dia pun segera turun dari ranjang untuk membantu Safina. Yang Iqbal tahu kata orang malam pertama itu sakit, tetapi apa yang dirasakan Safina pasti lebih sakit lagi. Dia tidak tega melihat perempuan itu harus berjalan dengan merasakan sakit akibat perbuatannya. "Biar saya bantu." Iqbal menggendong Safina ke kamar mandi tanpa izin. Membuat Safina marah dan meronta minta diturunkan. "Saya bisa jalan sendiri, Pak." Safina memukul bagian tubuh Iqbal mana pun yang bisa dia hujani pukulan. Iqbal turunkan Safina di kamar mandi, tepat di bawah shower. Dia nyalakan air hangat untuk Safina. Perempuan itu menatap tajam pada Iqbal yang masih belum mau beranjak dari kamar mandi. "Bapak mau lihat saya mandi? Atau jangan-jangan mau melanjutkan aktivitas tadi malam karena masih merasa kurang untuk menyiksa saya di ranjang?" "Eh, enggak. Saya di sini mau bantu kamu mandi. Kamu butuh bantuan buat ngambil sabun sama sampo?" Safina menghela napas kasar. "Saya bisa mandi sendiri, ngambil sabun dan sampo sendiri, Pak. Bapak bisa keluar enggak?" Iqbal masih meragukan Safina bisa melakukan semua sendiri karena dia terus membayangkan rasa sakit yang dirasakan Safina. "Kamu yakin bisa sendiri?" Wajah Iqbal terlihat ragu. Safina berjalan mendekati Iqbal. Pria itu otomatis berjalan mundur sampai punggungnya menyentuh tembok dan dia tidak bisa mundur lagi. Perempuan itu mendekatkan wajahnya pada wajah sang suami. Entah dia mendapat keberanian dari mana sampai bisa mengintimidasi suaminya. "Apa Bapak mau mengulangi yang terjadi tadi malam di sini?" Iqbal tidak mau menyakiti Safina lebih dalam lagi. Dia pun meninggalkan perempuan itu di kamar mandi sendirian. Safina menghela napas lega. Dia pun bergegas mandi untuk membersihkan diri. "Apa aku enggak usah kuliah aja ya hari ini?" Seolah mendengar suara hati Safina, Iqbal pun memiliki pemikiran yang sama. "Hari ini kamu enggak usah kuliah, Fin." Iqbal memberikan saran saat Safina keluar dari kamar mandi. Pria itu masih menunggu di kamar itu. Duduk di tepi ranjang. "Kenapa saya enggak usah kuliah?" Safina menatap heran pada Iqbal. "Kamu enggak malu ke kampus, tapi jalannya susah payah kayak gitu? Apa enggak kerasa sakit? Apa kamu mau saya gendong sepanjang jalan di kampus terus saya temani kamu di kelas?" Iqbal terlihat serius dengan ucapannya. Safina malah merasa heran dengan pria itu. "Enggak usah, Pak. Lebih baik hari ini saya enggak usah ke kampus." "Saya temani kamu di rumah, ya. Kamu cukup rebahan aja. Saya akan ngurus semua kebutuhan kamu di rumah hari ini, gimana?" Terbersit keinginan balas dendam pada suaminya di benak Safina. Jika benar pria itu akan ada menemaninya, maka dia akan mengerjai pria itu hari ini. "Bapak ke kampus saja, saya bisa ngurus diri saya sendiri di rumah. Kalau saya lapar saya bisa pesan makanan online." Iqbal terus membayangkan Safina kesulitan berjalan dari kamar ke depan rumah untuk mengambil makanan yang dia pesan dan itu rasanya sakit. Iqbal menggelengkan kepala. "Enggak, Fin, saya akan di ruman nemenin kamu satu harian ini. Kamu enggak boleh bantah. Sekarang kamu pakai baju, saya akan bikinkan kamu sarapan." "Ok. Kalau gitu saya minta Bapak nemenin saya seharian di kamar. Bapak enggak usah masak, pesen aja makanan yang banyak." Iqbal menganggukkan kepala. Dia pun keluar dari kamar Safina karena ingin membiarkan memakai baju tanpa diganggu. Selesai memakai pakaian Safina menuju meja makan. Dia lihat Iqbal menyiapkan roti dengan banyak pilihan selai untuk sarapan mereka pagi itu. "Cuma roti aja, Pak?" "Kamu mau sarapan yang lain? Apa biar saya masak atau cari keluar." Iqbal pikir Safina mau makan makanan lain sehingga dia menawarkan yang lain. "Mau sih, Pak, kayaknya lontong padang enak loh." Iqbal mengerutkan dahi. "Kamu enggak ngidam kan, Fin?" "Ya enggak mungkin lah, Pak. Emang orang bisa hamil secepat itu? Kan enggak. Ayo, Pak beliin saya lontong padang. Empat tahun di luar negeri saya mau nyariin makanan kayak gitu susah banget, Pak." Safina menunjukkan wajah memelas pada Iqbal. Pria itu menghembuskan napas kasar. "Iya, saya beliin. Ada lagi yang kamu pengen?" "Yang ikhlas dong, Pak. Tadi katanya mau beliin semua yang saya mau." Pagi itu Iqbal sudah merasa dimanfaatkan oleh Safina. Padahal baru satu permintaan dan belum seharian dia menemani Safina. Dan tidak hanya sampai di situ saja permintaan Safina. Menjelang siang dia minta es krim. Makan siang dia minta nasi padang. Belum sore dia sudah minta bakso dan batagor. Safina tidak hanya minta makanan. Dia juga minta Iqbal mengajarinya semua mata kuliah pada hari itu. Pokoknya dia tidak membiarkan Iqbal berdiam diri saat bersamanya. "Kamu mandi sore dulu, Fin. Saya mau ke kamar saya sebentar." Safina tersenyum puas setelah berhasil mengerjai Iqbal. Walaupun dalam hatinya dia merasa kasihan dengan pria itu. Namun, dengan begitu dia rasa sakit hatinya bisa berkurang sedikit. Perempuan itu masuk ke kamar mandi. Saat itu Iqbal keluar dari kamar Safina menuju kamarnya. Iqbal ingin istirahat sebentar saja. Namun, ternyata dia tertidur sampai menjelang magrib. Karena Safina tidak melihat Iqbal di luar kamar dia mengetuk pintu kamar Iqbal lalu masuk. Dia lihat di sana pria itu masih tertidur. Safina merasa kasihan pada suaminya yang sudah melakukan banyak hal untuknya tadi. "Pak, bangun, sudah mau magrib." Tidak perlu susah payah membangunkan pria itu karena dia memang mudah terbangun. "Eh, iya, Fin. Kamu masih ngerasa sakit enggak?" Safina menggelengkan kepala. "Maaf ya, Fin." Semakin lama permintaan maaf itu terdengar tulus. Namun, tidak semudah itu Safina memaafkan Iqbal. "Iya, Pak. Gimana kalau malam ini kita makan di luar, Pak?" Safina sudah tidak mau lagi mengerjai Iqbal untuk malam itu. "Makan di luar? Kamu enggak pengen makan di rumah aja, pesen makanan online kayak tadi?" "Enggak. Saya bosen di rumah terus seharian, Pak. Pengen makan sate madura pake lontong terus makan di pinggir jalan." "Hmm ... boleh. Nanti ya, kita keluar habis salat magrib. Enggak apa-apa, kan?" "Iya, Pak. Pak, hari minggu kita ke supermarket yuk. Saya pengen beli bahan makanan, tapi Bapak yang bayar semuanya belanjaan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN