Iqbal tengah mengurus cuti di kampus untuk honeymoon yang diberikan oleh papanya. Padahal dia belum ada rencana apa pun dengan Safina dan berhasil memaksa perempuan itu menyetujui rencana bulan madu dari papanya hanya karena tidak mau mengecewakan orang tua mereka.
"Wah, Pak Iqbal mau bulan madu ya? Ngajuin cuti mana habis nikah pula. Kok enggak ngajak-ngajak sih, Pak? Emang mau ke mana bulan madunya?" Seorang Dosen perempuan bersama Dinar sedang menggoda Iqbal karena pria itu ketahuan sedang mengurus cuti.
"Eh Bu Dinar tahu aja nih. Ya namanya habis nikah itu afdolnya emang bulan madu, ya, tapi masa iya bulan madu ngajak-ngajak Ibu sih? Yang ada ntar Ibu malah ngintipin saya lagi. Jadi, cukup saya dan istri aja yang tahu mau ke mana dan ngapain aja." Iqbal pun membalas dengan candaan.
"Iya kan saya enggak akan ganggu Bapak. Saya ikut jalan-jalan aja di sana. Gimana setelah nikah Pak? Apa rasanya unboxing ya, Pak?"
"Boleh aja sih, Bu, tapi ongkosnya bayar sendiri, ya!"
"Ya, kalau bayar sendiri, saya enggak jadi ikut deh, Pak."
Iqbal tertawa mendengar ucapan Dinar. Dia pun berjalan mendekati meja Ayu. Salah satu Dosen yang mengajar mata kuliah yang sama dengan Iqbal.
"Bu Ayu, saya mau nitip kelas selama cuti, boleh Bu?"
Ayu sudah sejak lama menaruh hati pada Iqbal, tetapi dia tidak pernah menyatakan perasaannya pada pria itu. Namun, dosen perempuan lain tahu hal ini. Mereka tahu dari tatapan Ayu yang selalu berbeda pada Iqbal. Iqbal pun tidak pernah memedulikan perasaan Ayu karena dia sudah memiliki pacar yang cantik bernama Vania. Hanya saja tidak banyak yang tahu tentang pacar Iqbal.
Ayu menatap Iqbal dengan perasaan sayang. Walaupun dia tahu pria itu sudah menikah, perasaan Ayu tetap sama. Pesona ketampanan Iqbal tidak berkurang sedikit pun di matanya.
"Boleh, Pak. Nanti saya yang gantiin Bapak ngajar di kelas." Ayu pun tersenyum manis pada Iqbal.
"Makasih ya, Bu Ayu. Nanti saya bawain oleh-oleh buat Bu Ayu sebagai tanda terima kasih saya."
Sikap baik dan ramahnya Iqbal selalu membuat Ayu menjadi gagal fokus dan selalu mengira Iqbal bersikap manis untuknya saja.
"Loh kok Bu Ayu mau sih gantiin Pak Iqbal. Ingat Bu dia tuh mau bulan madu. Emang Ibu enggak sakit hati?" Dinar gantian menggoda Ayu.
Ayu tersenyum saat digoda Dinar. Sudah pasti dia tidak akan menolak permintaan dari Iqbal apa pun alasan pria itu meminta tolong, dia tetap akan membantu.
"Enggak apa-apa kok Bu Dinar saya ikhlas bantu Pak Iqbal."
"Tuh Pak, tolong segera halalin Bu Ayu, dia ikhlas tuh!"
Tiba-tiba datang Dosen lain yang tidak suka dengan candaan Dinar pada Ayu. "Bu Dinar kalau ngomong tuh dijaga!" Pria bernama Andi itu menatap tajam pada Dinar karena dia menyukai Ayu dan tidak mau perempuan itu dijadikan bahan bercandaan seperti itu.
Tidak hanya Dinar yang diam. Iqbal dan Ayu pun memilih diam. Fokus dengan pekerjaan masing-masing. Iqbal merasa lega karena urusan cutinya tinggal menunggu proses acc saja dari dekan.
***
Dua minggu kemudian, Safina datang ke rumah orang tuanya. Di sana sedang ada Safira yang diliputi perasaan bahagia. Perempuan itu sedang hamil. Hari itu dia mengecek kehamilannya dengan testpack karena sudah telat beberapa hari. Nanti dia akan memeriksakan kehamilannya pada dokter kandungan saat suaminya tidak sibuk.
"Selamat ya, Fir. Akhirnya kamu hamil duluan. Aku ikut seneng deh."
Safina memeluk saudara kembarnya dengan erat. Perasaannya senang sekaligus sedih. Dia pun ingin segera hamil seperti Safira, tetapi dia menikah tanpa perasaan cinta, apa dia bisa hamil? Ya bisa saja jika Iqbal khilaf menyentuhnya dan melanggar ucapannya sendiri.
"Makasih ya, Fin. Aku doain kamu juga bisa nyusul, segera hamil kayak aku."
"Aamiin." Safina mengurai pelukannya.
"Kalau mau cepet-cepet hamil emang harus sering tidur bareng, Fin."
"Tidur doang?" tanya Safina yang membuat Safira menjadi gemas padanya.
Safira menjitak kepala saudara kembarnya itu. "Dih, enggak gitu, Fina. Masa enggak ngerti sih? Aku enggak perlu menjelaskan prosesnya, kan? Apa jangan-jangan kamu belum itu ya?"
Safina menggelengkan kepala.
"Emang Pak Iqbal enggak tertarik sama kamu, Fin?"
Safina mengangkat bahu. Dia tidak tahu apa Iqbal tidak tertarik pada fisiknya.
"Kamu tuh cantik kok, Fin. Sayang banget kalau dianggurin doang. Coba kamu godain Pak Iqbal di rumah, pakai baju seksi atau yang pendek-pendek gitu. Masa iya dia enggak kepanasan lihat kamu kayak gitu?"
Safina pun menjadi penasaran. Setelah pulang dari rumah orang tuanya, dia mandi dan memakai pakaian tidur pendek seperti saran Safina. Hanya untuk membuktikan apakah Iqbal tertarik padanya atau tidak. Hanya itu. Bukan berarti dia mencintai pria itu dan ingin tidur bersamanya.
Ketika Iqbal pulang dari kampus dia merasa aneh melihat Safina yang tidak biasanya memakai piyama pendek. Sebagai seorang pria dia sudah pasti tertarik melihat Safina berpakaian minim seperti itu. Namun, dia masih bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Safina.
Setelah Iqbal mandi dan berganti pakaian, Safina mengajaknya makan malam. Hari itu makan malam memang sengaja dimajukan oleh Safina untuk melihat reaksi Iqbal.
"Pak, membaran saya hamil. Seneng banget deh rasanya bentar lagi mau punya keponakan." Safina hanya bercerita saja. Tidak ada maksud apa pun, tetapi Iqbal menangkap berbeda.
"Oh selamat. Kamu enggak pengen minta dihamili cepet-cepet kan, Fin?" Iqbal bertanya dengan datar.
"Enggak kok, Pak. Kita kan sama-sama enggak cinta kenapa harus maksa tidur bareng atau harus punya anak secepatnya."
"Ya bagus deh."
Selesai makan, Iqbal kembali ke kamarnya. Safina membersihkan meja lalu ke kamar. Di dalam kamar dia duduk di ranjang sambil berpikir.
"Jangan-jangan Pak Iqbal emang enggak tertarik sama sekali?" Safina menghela napas lalu bersiap untuk tidur.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Iqbal masuk kamar Safina dengan perasan marah.
"Kamu bilang apa sama mamaku? Kamu cerita kalau kita belum melakukan malam pertama? Kamu segitu ngarepnya ya Fin punya anak dari pernikahan ini?" Iqbal berkata dengan nada tinggi dan menatap tajam pada Safina.
"Saya enggak ngomong apa-apa kok, Pak. Bener deh. Kapan saya telepon mama? Enggak kok."
"Alah bohong! Ya sudah karena kamu pengen banget punya anak sekarang, saya bisa melakukan itu sekarang."
Iqbal mendekati Safina yang memang sudah bersiap untuk tidur. Malam itu dia sentuh perempuan itu dengan menyakitkan. Safina teriak, menangis dan berontak pun tidak dia pedulikan karena tenaganya sudah pasti lebih besar dari perempuan itu.
Safina menarik selimut untuk menutup tubuhnya. Tidak pernah dia membayangkan pada malam pertamanya dia diperlakukan dengan kasar dan begitu menyakitkan. Meninggalkan perasan sakit yang teramat sangat.
Melihat Safina masih menangis setelah membersihkan diri di kamar mandi, perasaan bersalah itu hadir. Dia pun mendekati ranjang, naik dan memeluk Safina dengan erat.
"Maaf."
Satu kata yang membuat Iqbal merasa sangat bersalah pada Dewangga karena telah khilaf telah menyakiti Safina. Dia terus menyalahkan dirinya. Apa pun keputusan Safina setelah itu, dia akan terima karena Iqbal merasa bersalah pada Safina sampai kapan pun.