Safina terbangun lebih dulu. Hampir dia berteriak saat menyadari jika Iqbal tengah tidur sambil memeluknya, tetapi dia ingat di rumah itu sedang ada mertuanya.
"Enak banget peluk-peluk, dikiranya aku guling apa, ya?" batin Safina sambil bersiap mendorong tubuh Iqbal sekuat tenaga hingga pria itu terjatuh dari ranjang.
"Aduh!" Safina mendengar suara keras Iqbal dari lantai.
Orang tua Iqbal masuk ke kamar saat mendengar suara anaknya. Safina baru menyadari jika pintu kamarnya tidak terkunci.
"Ada apa?" tanya orang tua Iqbal yang terlihat khawatir.
Safina otomatis bangun dan duduk di ranjang sementara Iqbal lantas berdiri sambil mengusap bagian tubuhnya yang sakit. Safina tertunduk karena merasa bersalah sudah mendorong Iqbal hingga terjatuh.
"Kamu kenapa, Bal?" tanya Papa Iqbal.
Iqbal terpaksa senyum agar orang tuanya tidak khawatir. "Eh, enggak apa-apa kok, Pa. Aku barusan jatuh dari tempat tidur. Kayaknya tadi mimpi ada gempa gitu." Iqbal terpaksa berbohong.
"Ada-ada aja kamu, Bal. Ya sudah sana mandi. Safina juga sudah subuh ini. Salat dulu ya!" perintah papanya Iqbal.
"Nah iya, habis salat bantu Mama di dapur ya, Fin!" Mama Iqbal pun menambahkan.
Lalu keduanya keluar dari kamar itu.
Safina masih duduk di ranjang. Iqbal berjalan mendekati Safina lalu duduk di tepi ranjang tepat di sebelah Safina. Dia pun terus mendekat sampai hingga dekat dengan telinga perempuan itu. Nafas Iqbal yang mengenai telinga Safina membuatnya merinding.
"Kamu kan yang dorong saya tadi?" Iqbal berbisik di telinga Safina.
Perempuan itu pun menoleh. Jarak antara wajahnya dengan wajah Iqbal sangat dekat membuat jantung Safina berdebar kencang. Sedikit saja Iqbal bergerak maju, maka pertemuan bibir keduanya tidak bisa terelakkan lagi.
Safina memasang tatapan tajam pada Iqbal. "Bapak tadi meluk saya duluan." Suaranya pun terdengar halus.
"Enak aja. Siapa yang peluk kamu. Rugi banget. Ada juga kamu kali yang peluk saya. Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan! Dasar emang enggak bisa lihat cowok ganteng kayak saya."
Keduanya saling menatap dengan tajam dan tidak ada yang mau kalah atau merasa bersalah.
"Tahu gitu aku foto tadi pas Bapak peluk untuk bukti. Lagian yang memanfaatkan kesempatan itu Bapak. Lah wong jelas-jelas Bapak yang meluk saya!" Safina benar-benar tidak mau kalah.
Lalu pintu kamar pun terbuka lagi. Keduanya menoleh ke arah pintu bersamaan. Ada mama Iqbal di sana.
"Kok belum mandi juga? Kalau mau ngulang yang tadi malam ya nanti malam lagi, jangan sekarang! Salat dulu. Subuh itu waktunya pendek."
Keduanya berusaha mencerna ucapan mamanya Iqbal. Lalu setelah mereka menyadari apa maksud dari ucapan sang mama. Mereka turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi bersama-sama.
Di dalam kamar mandi pun terjadi keributan. Tidak ada yang mau mengalah. Dua-duanya mau mandi duluan.
"Bapak mestinya ngalah sama perempuan!" ketus Safina pada Iqbal.
Iqbal pun mengalah. Dia meminta izin berwudhu pada Safina. Mereka tidak melakukan apa pun tadi malam. Jadi, bisa langsung salat tanpa harus mandi lebih dulu.
Iqbal salat subuh lebih dulu. Safina salat setelah mandi. Melihat Safina keluar dari kamar mandi gantian Iqbal yang masuk kamar mandi.
Di dalam kamar mandi pria itu bingung karena sabun dan shampo Safina semuanya khusus untuk perempuan. Iqbal mengusap wajah. Dia putuskan untuk pergi ke kamar sebelah dan mandi di kamar mandinya sendiri.
Sebelum keluar dari kamar Safina, dia memeriksa keadaan. Setelah dirasa situasi sudah aman dia pun segera menuju kamarnya dengan aman. Sang mama tengah memasak di dapur dan papanya ada di teras depan.
Selesai menunaikan ibadah salat subuh, Safina menuju dapur untuk membantu mama mertua menyiapkan sarapan pagi.
Pagi itu mama mertua Safina masak nasi goreng. Safina diminta mencicip masakannya.
"Coba, Fin. Kurang apa?"
Safina mencicip masakan mama mertua. "Udah pas kok Ma. Enak banget ya masakan Mama." Safina tersenyum dengan tulus.
"Ok. Siapin piringnya, Fin."
Safina bergerak menuju rak piring untuk mengambil piring, tetapi Iqbal sudah mendahuluinya. Dia juga menyiapkan gelas membuat Safina hanya bisa bengong di tempatnya.
"Ayo sarapan, Fin." Sang mama mertua mencolek bahu Safina. Entah sudah berapa lama dia terdiam menatap Iqbal yang dengan cekatan menyiapkan semuanya.
"Iya, Fin, ayo makan. Jangan-jangan kamu terpesona ya lihat suamimu yang ganteng ini?" Iqbal menggoda Safina dari meja makan.
Safina menggelengkan kepala. Dia tidak terima dengan ucapan suaminya yang terlalu percaya diri itu. Ingin rasanya dia protes pada Iqbal, tetapi ada mertuanya di sana. Akhirnya dia diam dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi kosong di samping Iqbal dan di hadapan mama mertua.
Baru saja akan memasukkan sendok ke mulut, Safina dibuat terkejut dengan ucapan papa mertua.
"Papa mau ngasih kalian tiket bulan madu ke mana pun yang kalian mau satu bulan lagi. Silakan pilih mau ke mana?"
Safina tersedak. Iqbal menyadari hal ini menepuk pundak Safina dan memberikannya air minum.
"Kamu enggak apa-apa, Fin?" tanya Iqbal khawatir.
"Makasih, Pak."
Mama Iqbal menangkap ada yang janggal dengan panggilan Safina pada anaknya.
"Kok manggil Bapak sih? Iya Iqbal dosen kamu tapi, di rumah boleh kan manggil Mas atau lainnya asal jangan Pak?"
Safina tiba-tiba tertawa. "Eh, iya, Ma. Belum biasa manggil Mas. Kebiasaan di kampus sih."
"Ya namanya juga masih baru nikah, Ma. Masih suka kagok." Iqbal membela Safina.
"Harus dibiasakan manggil Mas. Bisa kan, Fin. Ayo dicoba!"
"Iya, Ma. Mas Iqbal kan ya?"
"Nah iya bener gitu."
Papa Iqbal masuk obrolan lagi. "Mumpung masih baru, masih anget nih. Ayo segera bulan madu. Pokoknya semua Papa yang tanggung."
"Biar nanti aku diskusi sama Safina ya, Pa. Dia pengen ke mana nanti aku ikut aja. Ke Jepang atau Korea gitu boleh juga. Iya enggak, Fin?" Iqbal sebisa mungkin terlihat baik pada Safina di depan orang tuanya.
"Iya, Mas. Nanti kita pikirkan lagi ya." Safina terpaksa tersenyum pada Iqbal.
"Yang lama sekalian biar pas pulangnya Safina sudah hamil bawa calon cucu buat Papa sama mama. Papa sama mama udah ngarep banget pengen gendong cucu."
Safina dan Iqbal terdiam. Orang tua pria itu sangat berharap memiliki cucu sementara keduanya masih pada tahap belum ingin membuka hati dan menerima pasangan.
Jangankan untuk membuat cucu. Tidur bersama pun baru kejadian tadi malam setelah lebih dari satu minggu mereka menikah.
"Cocoknya tuh Pa kasih tempat yang lagi musim dingin gitu. Biar mereka enggak keluar kamar terus pengennya kelonan terus jadi cepet hamil tuh Safina."
"Nah, Papa setuju. Ke Jepang aja lagi dingin tuh, mau enggak?"
Safina mengusap wajah karena tidak tahu harus menjawab apa. Dia pasrahkan semua keputusan pada Iqbal. Apa pun jawaban pria itu dia akan setuju.
"Ok. Ke Jepang juga boleh. Mau ya, Fin?" Iqbal menoleh pada Safina mengintimidasi Safina melalui tatapannya agar perempuan itu setuju.