Bab 7. Tidur Bersama

1097 Kata
Safina malas menjawab pertanyaan dari Iqbal. Dia membalikkan badan memunggungi Iqbal. Iqbal menunggu beberapa saat, tetapi saat dia melirik jam yang melingkar di tangannya pria itu memutuskan untuk segera pergi ke kampus karena khawatir akan terlambat. "Saya ke kampus sekarang. Buburnya jangan lupa dihabiskan. Nanti siang saya pulang nemenin kamu makan siang." Iqbal pun keluar dari kamar Safina menuju kamarnya untuk mengambil tas lalu berangkat ke kampus. "Buat apa ngasih perhatian kalau semua karena takut sama papa. Bisanya cuma PHP doang! Lagian kenapa juga ngarepin dia?" Safina kesal lalu melempar bantal dan guling ke lantai. Lalu dia pun mengirim pesan pada teman kuliahnya untuk menyampaikan pesan pada dosen meminta izin karena Safina sakit. Lalu dia pun tidur lagi tanpa mandi. Iqbal benar-benar pulang pada jam makan siang. Dia masuk rumah lalu merasa heran karena pintu rumah tidak terkunci. "Apa sakitnya Safina tambah parah ya?" Iqbal bergegas mencari Safina ke kamar. Namun, saat dia melirik ke meja makan, meja itu masih tetap sama seperti sebelum dia berangkat tadi. Perasaan khawatir Iqbal bertambah saat melihat Safina masih tidur dan ada noda darah di spreinya. Dia pun segera membangunkan Safina. "Fin, bangun! Baju sama sprei kamu kena darah." Safina bangun dalam keadaan terkejut mendengar ucapan Iqbal. Dia pun segera turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi tanpa mengambil pakaian dan pembalut ganti. Iqbal masih belum tahu keadaan Safina saat itu dan dia merasa penasaran. Apakah Safina masih sakit atau sudah baikan. Dengan cepat Iqbal membuka sprei di ranjang Safina lalu mengganti dengan sprei baru. Dia pun mencuci sprei itu di mesin cuci setelah membersihkan noda darah yang menempel. Safina baru selesai mandi. Saat dia keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk untuk menutupi tubuhnya, Iqbal masuk ke kamar Safina untuk memeriksa keadaannya. Namun, perempuan itu malah berteriak. Mendengar teriakan Safina, Iqbal bukannya keluar dari kamar, tetapi mendekati Safina dan menutup mulutnya dengan tangan. "Jangan teriak, Fin. Takut dikira tetangga ada apa-apa." Masih dalam keadaan mulut ditutup Safina menganggukkan kepala. Mereka masih ada di posisi itu agak lama dan saling menatap sampai akhirnya Safina menginjak keras kaki Iqbal. "Aduh, sakit, Fin. Kamu sengaja nginjek kaki saya?" Tangan Iqbal yang menutup mulut Safina pun terlepas. "Bapak bisa keluar enggak? Saya mau pake baju." Iqbal pun keluar dari kamar itu tanpa mengucapkan satu kata pun. Saat Safina sedang memakai pakaian, Iqbal menyiapkan makan siang. Sebelum pergi tadi dia sudah memasak nasi. Pria itu hanya tinggal membeli lauk saja untuk teman makan nasi siang itu. Setelah semua tersaji di meja, Iqbal memanggil Safina untuk makan bersama. Perempuan itu keluar kamar dan sudah berpakaian lengkap. Dia duduk di depan Iqbal. Saat itu juga Iqbal sedang mengisi piringnya dengan nasi dan lauk. "Ini kebanyakan enggak, Fin? Di makan, ya!" Safina menatap Iqbal dengan perasaan bingung. Dosennya itu selalu memperlakukannya dengan baik, tetapi semua itu palsu. Tidak ada perasaan tulus di sana dan Safina kesal dengan itu. "Pak, bisa enggak Bapak jangan kayak gini sama saya?" Iqbal mengerutkan dahi. "Kayak gini itu gimana?" "Jangan terlalu baik dan perhatian sama saya karena Bapak melakukan itu semua cuma karena takut papa saya akan marah sama Bapak." Akhirnya Safina bicara jujur dengan Iqbal karena dia tidak nyaman diperlakukan seperti itu. "Saya janji enggak akan bilang apa pun ke papa tentang Bapak. Saya tetap akan bilang Bapak selalu memperlakukan saya dengan baik." Iqbal menghembuskan napas kasar. "Maaf, tapi saya enggak bisa, Fin. Kamu tetap anak Pak Dewa dan akan jadi beban buat saya kalau saya bersikap buruk sama kamu." Iqbal tidak setuju dengan usulan Safina. "Tapi saya enggak nyaman, Pak. Kita belum saling kenal, ketemu di kampus pun baru sekali. Kenapa Bapak enggak bisa bersikap biasa saja gitu. Anggap aja kita dua orang asing yang tinggal di tempat yang sama, bisa kan?" "Jadi, kamu maunya saya cuek dan enggak usah perhatian sama kamu?" Safina menganggukkan kepala. "Ok karena kamu enggak akan ngadu ke Pak Dewa saya akan mengabulkan permintaan kamu." Lalu keduanya makan dalam diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Selesai makan pun Iqbal tidak banyak bicara, dia hanya pamit untuk kembali ke kampus setelah menjemur sprei dan mencuci piring. Di dalam mobil pria itu terlihat kesal pada Safina. Iqbal pun mengomel sendiri di mobil. "Udah dibaikin kok malah minta dicuekin, dasar cewek aneh!" *** Sejak saat itu mereka pun tidak bertegur sapa lagi seperti sebelumnya. Keduanya tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Hingga pada akhir pekan kedua orang tua Iqbal datang menginap. Mereka terpaksa harus berkomunikasi lagi. Keduanya menjadi panik dan mereka sedang berdiskusi di kamar Iqbal saat orang tuanya duduk menonton TV. "Emang mereka enggak bisa disuruh pulang, Pak?" Safina sedang panik. "Enggak bisa, Fin. Terus gimana?" "Duh, gimana ya?" Safina berpikir keras. Dia mendapat ide. "Gini aja Bapak tidur sama papa, saya tidur sama mama di kamar sebelah?" "Ngaco kamu, Fin. Kamu tahu enggak kenapa mereka datang ke sini?" "Ya mau lihat anak sama menantu nya, kan?" "Enggak cuma itu aja, Fin, mereka mau memastikan kalau kita tidur bareng dan kamu cepet hamil. Mereka udah enggak sabar mau minta cucu." Safina pusing seketika. Tidak mungkin dia menyuruh orang tua Iqbal tidur di kamarnya, pasti ketahuan jika mereka tidur terpisah. "Apa mereka suruh tidur di kamar ini aja, Pak? Kita di kamar sebelah?" "Hmm ... boleh juga. Saya coba bilang gitu aja, ya. Ayo kita keluar, Fin!" Keduanya keluar dari kamar bergantian. Iqbal pasang badan untuk bicara pada orang tuanya. "Mama sama Papa boleh nginep di sini. Di kamar itu aja ya." Iqbal menunjuk ke kamarnya. "Terus kalian tidur di kamar yang satu lagi?" "Iya, Ma." "Ok. Sudah malam, ayo kita tidur!" Mama, papa Iqbal berjalan menuju kamar yang biasa dipakai oleh pria itu. Setelah mereka masuk kamar, Iqbal dan Safina masuk ke kamar yang biasa Safina tempati. Kamar itu lebih kecil dari kamar Iqbal sehingga hanya ada satu kasur berukuran sedang saja. Tidak ada sofa di sana. "Saya enggak mau kamu tidur di lantai." Iqbal berkata pada Safina. "Kalau Bapak tidur di lantai, nanti masuk angin." "Ya sudah kita tidur di ranjang aja." Keduanya naik ranjang dari sisi yang berbeda lalu duduk di sana. Safina meletakkan guling pembatas di tengah. Iqbal menatap heran pada Safina. "Kamu ngapain?" "Itu biar kita tidurnya enggak nyebrang-nyebang gitu loh, Pak. Saya tetap di sini, Bapak tetap di sana." Iqbal tidak mau terlalu memusingkan soal itu. Mereka pun tidur walaupun belum mengantuk. Namun, lama-kelamaan keduanya tertidur juga. Keesokan paginya orang tua Iqbal mengintip ke kamar Safina yang ternyata lupa dikunci, mereka lihat dua orang itu sedang tidur berpelukan di ranjang yang sama. Kedua orang itu pun tersenyum puas melihat kedekatan Safina dengan Iqbal. "Sebentar lagi kita punya cucu, Pa." Mamanya Iqbal merasa sangat senang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN