Iqbal bergegas pergi ke supermarket terdekat dengan mengendarai mobilnya. Di dekat rumahnya ada supermarket sehingga dia tidak perlu pergi jauh untuk membeli pembalut.
Sampai di supermarket pria itu mencari rak yang menjual pembalut setelah dibantu oleh karyawan supermarket. Saat karyawan itu hendak kembali ke meja kasir dia pun menahannya.
"Mbak, tunggu, saya mau tanya, kalau cewek biasanya pake pembalut yang mana?" tanya Iqbal karena dia bingung dengan banyaknya pilihan yang ada.
"Ceweknya suka pembalut yang pakai Sayap apa enggak?"
Iqbal bertambah bingung. Dia tidak paham dengan apa itu Sayap di pembalut.
"Emang pembalut bisa terbang Mbak ada sayap segala?"
Karyawan supermarket itu hanya tersenyum. Dia pun mengambilkan dua pembalut yang biasa dibeli banyak orang di sana karena dia lihat Iqbal sedang bingung.
"Ini ya Mas, yang ini pake sayap, yang ini enggak."
Iqbal menerima kedua pembalut itu. Dia perhatikan dua-duanya dengan seksama, tetapi tetap tidak paham apa perbedaannya.
"Ya sudah saya ambil aja dua-duanya. Makasih ya, Mbak. Oh ya, terus kalau cewek lagi dapat kan suka sakit perut itu ada obatnya enggak?" tanya Iqbal lagi pada karyawan supermarket.
Mbak karyawan supermarket mengajak Iqbal pindah lorong mengambil minuman yang biasa diminum untuk mengurangi nyeri saat haid.
"Coba ini ya, mas." Dia mengambilkan satu untuk Iqbal. Iqbal pun mengambil beberapa botol lagi karena dia pikir satu pasti kurang.
Kemudian, Iqbal membayar semua belanjaan dan kembali ke rumah. Tiba di rumah, pria itu menuju kamar Safina memberikan pembalut dan obat pereda nyeri haid.
"Bisa jalan keluar kamar enggak Fin buat makan malam?"
Safina menggelengkan kepala.
"Ya udah kamu tunggu di sini, saya ambilkan makan buat kamu."
Iqbal keluar kamar mengambilkan makanan untuk Safina. Sementara Safina berjalan pelan ke kamar mandi untuk memakai pembalut lalu kembali ke ranjang. Iqbal masuk membawakan nasi dan lauk.
"Makan sekarang ya! Mumpung masih anget. Bisa makan sendiri?"
"Kayaknya enggak bisa deh, Pak."
Iqbal pun menyuapi Safina makan sedikit demi sedikit. Ini adalah kali pertama dia menyuapi perempuan. Dulu saat berpacaran dengan Vania, dia tidak pernah makan saling menyuapi dengan perempuan itu sehingga Iqbal terlihat agak kagok ketika menyuapi Safina.
Baru makan beberapa sendok saja Safina merasakan perutnya mual. Dia pun segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan apa yang dia makan barusan. Iqbal menyusul ke kamar mandi dan mengusap punggung Safina.
"Masih mau muntah, Fin?"
"Udah, Pak."
Iqbal pun membantu Safina kembali ke ranjang. Dia berbaring di sana. Iqbal terlihat cemas melihat kondisi Safina malam itu.
"Apa saya harus telepon papa kamu, Fin? Kamu sakit?" tanya Iqbal dengan perasaan khawatir.
"Jangan telepon papa saya, Pak. Sebenarnya tiap mau haid saya sering begini, cuma kadang parah, kadang enggak begini. Yang sekarang kayaknya lagi parah deh."
Iqbal tidak tahu harus berbuat apa. "Makan lagi ya, Fin."
Iqbal menyuapi Safina lagi sampai beberapa suap. Kali ini Safina tidak muntah.
"Minum obat dulu ya!"
Iqbal membuka penutup botol salah satu pereda nyeri haid, Safina pun meminum dan menghabiskannya.
"Tunggu ya, Fin, saya cariin obat gosok dulu."
Iqbal keluar dari kamar lalu mencari obat gosok di kamarnya untuk menghangatkan tubuh perempuan itu. Namun, begitu tiba di kamar Safina dia merasa ragu untuk mengoles obat gosok ke tubuh perempuan itu. Dengan perasan ragu Iqbal pun duduk di tepi ranjang.
"Maaf ya, Fin. Kalau saya harus angkat baju kamu terus membalur ini."
Safina memberikan izin. Iqbal pun menumpahkan obat gosok di telapak tangannya. Sambil menyipitkan mata dia mengangkat pakaian Safina di bagian perut dan punggung. Tidak lupa juga dia mengoles di bagian kaki Safina.
"Ada yang kerasa sakit enggak, Fin?"
Safina sedang ingin bagian punggungnya diusap untuk mengurangi rasa nyeri.
"Di punggung belakang dekat pinggang, tolong diusap ya, Pak."
Safina ingin tidur, tetapi dia pikir baru akan bisa tertidur jika punggungnya terasa nyaman. Iqbal pun mengusap punggung Safina pelan-pelan agar perempuan itu tidak merasa kesakitan.
Lama-kelamaan Safina pun tertidur. Mendengar dengkuran halus Safina, Iqbal tahu jika Safina sudah tertidur. Dia pun beranjak dari ranjang pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara dan tidak membangunkan Safina.
Iqbal pun keluar dari kamar itu dengan perlahan, tetapi dia tidak menutup pintu dengan rapat agar nanti bisa memeriksa keadaan Safina dari luar kamar. Pria itu menuju meja makan untuk makan malam. Selesai makan dia bereskan meja dan mencuci piring. Sebelum masuk kamarnya, dia sempatkan untuk mengintip Safina. Dia lihat perempuan itu masih tidur. Baru Iqbal masuk ke kamarnya.
Malam itu, Iqbal baru bisa tidur setelah lewat jam 12 malam di mana dia sudah memastikan Safina tidur dengan nyenyak dan tidak akan terbangun lagi.
***
Besoknya setelah bangun subuh, Iqbal salat di rumah. Selesai salat dia pergi ke kemar Safina untuk memeriksa keadaan perempuan itu. Iqbal memeriksa dari pintu yang sedikit terbuka, Safina masih tertidur, tetapi posisi tidurnya sudah berubah.
Iqbal merasa lega karena Safina masih tertidur, dia pun kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Pria itu akan lari pagi sambil mencarikan bubur untuk Safina. Selesai berganti pakaian Iqbal keluar rumah menuju depan komplek.
Sekitar satu jam kemudian, Iqbal pulang ke rumah membawa dua bungkus bubur untuknya dan Safina. Dia letakkan bubur itu di meja lalu mengambil mangkuk, dia tumpahkan dua bungkus bubur itu di mangkuk yang berbeda. Kemudian, Iqbal menuju kamar Safina untuk membangunkannya.
"Fin, bangun, sarapan dulu." Iqbal duduk di tepi ranjang untuk membangunkan Safina.
Safina membuka mata lalu memutar badan menghadap Iqbal.
"Perut kamu masih sakit?" tanya Iqbal dengan perasaan khawatir.
"Masih sakit sedikit, Pak."
"Bisa jalan keluar enggak? Sarapan di meja, saya beli bubur, makan sekarang ya mumpung masih hangat."
Iqbal membantu Safina turun dari ranjang dan membantunya berjalan menuju meja makan. Dia bawa Safina ke salah satu kursi dan membantu Safina duduk di sana. Lalu Iqbal duduk di kursi lainnya.
"Dimakan ya, Fin!"
Safina menganggukkan kepala lalu mulai menyendokkan bubur masuk ke mulutnya.
"Hari ini enggak usah ke kampus dulu ya, Fin. Istirahat di rumah aja. Kamu ada mata kuliah apa hari ini biar saya yang minta izin ke dosennya."
Safina berhenti makan. Apa Iqbal harus sampai meminta izin untuknya ke dosen lain?
"Saya nitip pesen ke teman aja ya, Pak. Bapak enggak usah minta izin ke dosennya langsung, saya malu."
"Ya sudah, yang penting izin, jangan enggak ada kabar sama sekali ke dosennya ya. Nanti jam makan siang saya pulang buat nganter makan siang buat kamu."
"Bapak enggak usah repot-repot pulang, kan bisa pesen ke ojek online. Saya jadi enggak enak sama Bapak. Udah tadi malam nyusahin, sekarang harus nyusahin juga."
"Kalau kamu sakit, saya mau bilang apa ke papa kamu, nanti dia pikir saya enggak ngurus kamu dengan baik?"
Hati Safina terasa sakit, ternyata Iqbal tidak setulus itu memberikan perhatian padanya. Semua hanya karena dia takut pada papanya Safina. Mendadak selera makan Safina lenyap, dia pun bangkit dari kursi menuju kamarnya dan berbaring di sana. "Jangan ngarep apa-apa, Fin sama Pak Iqbal, kamu tuh cuma pengganti."
Iqbal bingung melihat Safina yang tiba-tiba kembali ke kamar dan tidak menghabiskan sarapannya. Dia susul perempuan itu ke kamarnya karena khawatir Safina sakit lagi.
"Kamu kenapa, Fin? Apa ada yang kerasa sakit lagi?"