Bab 5. Tamu Bulanan

1127 Kata
Di dalam kamarnya, Iqbal menyesal sudah bersikap kasar pada Safina karena Safina bisa saja mengadu pada Dewangga jika dia diperlakukan secara kasar oleh pria itu. Iqbal tidak mau hal itu terjadi karena dia tidak mau membuat Dewangga marah padanya. Dia pun berjanji pada dirinya sendiri, besok akan meminta maaf pada Safina dan bersikap baik pada perempuan itu. Iqbal pun segera tidur karena dia tidak sabar untuk segera minta maaf sebelum Safina mengadu pada Dewangga. Pria itu terbangun subuh. Dia pun segera turun dari ranjang lalu mengambil air wudhu. Dia ingin mengeratkan salat subuh di masjid. Setelah berganti pakaian, Iqbal keluar dari kamar. Dia menuju kamar sebelah, mengetuk pintunya. "Fin, bangun, udah subuh!" Tiga kali dia mengetuk pintu kamar Safina lalu keluar rumah menuju masjid. Safina terbangun di kamarnya. Dia mendengar ketukan pintu dan suara Iqbal membangunkannya. Hari itu dia ada kuliah siang. Setelah salat subuh, Safina masih mengantuk dan ingin tidur lagi. Dia putuskan untuk tetap diam di kamar sampai dia merasa lapar. Pulang dari masjid, Iqbal ke kamarnya. Dia berganti pakaian olah raga. Pagi ini dia ingin lari pagi keliling komplek. Sekitar satu jam Iqbal lari keliling, dia pun pulang ke rumah. Tiba di rumah, Iqbal memuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Setiap hari dia selalu sarapan sendiri dan pergi ke kampus pada pagi hari juga. Hari itu dia harus menyiapkan sarapan untuk dua orang. Namun, dia tidak bertanya pada Safina ingin sarapan apa, dia samakan dengan menu sarapan yang biasa dia makan. Roti bakar dengan telur ceplok. Dia sudah berjanji akan bersikap baik pada Safina karena takut pada Dewangga. Setelah sarapan tersaji di meja pria itu menuju kamar untuk mandi dan berpakaian rapi. Iqbal tidak lupa memanggil Safina untuk sarapan bersamanya. "Fin, kamu udah bangun belum? Sarapan udah siap." Safina terbangun mendengar suara ketukan di pintu kamar dan ajakan dari Iqbal. "Sarapan? Apa aku juga harus nyiapin sarapan buat Pak Iqbal? Tapi dia enggak bilang apa-apa deh." Safina turun dari ranjang lalu keluar dari kamar. Dia lihat Iqbal sudah duduk di meja makan sambil memeriksa ponselnya. Dia lihat Safina yang belum mandi dan baru keluar dari kamar. Penampilan perempuan itu terlihat berantakan khas orang yang baru bangun tidur. Hampir Iqbal tertawa melihat penampakan Safina. Namun, sekuat tenaga dia tahan agar Safina tidak tersinggung karenanya. "Duduk, Fin! Saya udah bikinin sarapan buat kamu, ayo dimakan!" Safina terlihat bingung. Dia menunjuk dirinya sendiri. "Sarapan? Buat aku?" Iqbal menganggukkan kepala. "Saya mau minta maaf karena tadi malam udah bersikap kasar sama kamu. Tolong jangan ngadu sama papa kamu ya. Bisa habis nanti saya dimarahin Pak Dewa." Sekarang gantian Safina yang menahan tawa. "Oh jadi, Pak Iqbal takut sama papa? Ok kalau gitu." Safina tersenyum seneng karena merasa memiliki senjata jika Iqbal bersikap buruk lagi padanya. Perempuan itu berjalan menuju meja makan. Duduk bersama Iqbal dan sarapan bersamanya. Keduanya sarapan dalam diam sampai Iqbal teringat sesuatu. "Kamu kuliah jam berapa, Fin?" tanya Iqbal lalu dia letakkan kunci rumah di atas meja. "Ini kunci duplikat rumah ini, kamu pegang aja, saya bawa kunci yang ada di pintu. Jadi, kamu enggak perlu nunggu saya kalau berpergian." Safina melihat kunci rumah itu lalu menggesernya agar lebih dekat padanya. "Saya kuliah siang, Pak. Oh ya, Pak misalnya saya pulang malam, apa harus bilang sama Bapak dulu?" "Kabari saya kalau kamu pulang malam, tapi kalau kamu ada di rumah sebelum saya pulang, kamu enggak perlu bilang apa-apa. Berapa nomor HP kamu?" Safina menyebutkan dua belas digit nomor ponselnya pada Iqbal. Pria itu menghubungi nomor ponsel safina. "Simpan nomor ponsel saya! Kalau ada apa-apa kamu hubungi ke nomor itu. Saya sudah selesai sarapan, mau ke kampus sekarang. Jangan lupa kunci pintu kalau pergi ke mana pun!" Safina menganggukkan kepala lalu meneruskan sarapannya sampai habis. Dia merapikan meja dan mencuci piring. Iqbal sudah berangkat ke kampus, dia pun kembali ke kamar untuk bersantai sebelum bersiap pergi ke kampus. *** Di kampus sebelum jam kuliah mulai, Safina sudah berada di kelas menunggu dosen sambil membaca buku lalu Dirga tiba-tiba duduk di sampingnya. Safina tetap fokus membaca buku dan tidak menoleh sama sekali pada Dirga. "Kamu masih marah sama Mas, Fin?" tanya Dirga sambil menatap Safina yang tidak menoleh sama sekali. "Marah? Kenapa?" "Ya marah karena kejadian waktu itu lah, Fin." Dirga sedikit kesal. "Oh yang waktu itu? Aku udah enggak marah lagi kok, Mas. Lagian kan udah lewat juga. Hubungan kita juga udah berakhir, kan? Jadi, kenapa aku harus marah?" Safina menoleh dan menatap Dirga dengan tatapan tajam. "Enggak, Fin, kita belum putus. Mas minta maaf, kamu bisa kan maafin Mas terus kita jalan lagi kayak biasa? Please, Fin, Mas tuh enggak selingkuh sama sekali." Dirga mengatur volume suaranya agar hanya terdengar oleh mereka berdua saja. Dosen pun masuk kelas, obrolan mereka terhenti. "Aku maafin Mas Dirga, tapi tidak mengubah keputusanku. Kita sudah putus!" Dirga merasa frustrasi dengan keputusan sepihak Safina. Dia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun kecuali menenangkan Siska dengan memeluk perempuan itu saat dia bersedia. Dirga anggap Safina masih salah sangka padanya dan dia akan terus meyakinkan Safina jika dia tidak selingkuh. Keduanya fokus menyimak dosen untuk sementara waktu sampai jamnya berakhir. Setelah Dosen keluar dari kelas, Dirga kembali bicara pada Safina. "Fin, Mas beneran enggak mau putus dari kamu loh. Kamu mau ke mana sekarang? Mas antar pulang, ya." "Aku bisa pulang sendiri kok, Mas. Lagian mulai hari ini aku pulang kuliah enggak ke rumah papa, mama lagi. Aku pulang duluan ya." Dirga sempat bengong sebentar setelah mendengar ucapan Safina. Ketika dia sadar, Safina sudah berjalan jauh meninggalkan kelas. *** Malam harinya saat Iqbal sedang menyiapkan makan malam, Safina sedang meringis di kamarnya. Perutnya terasa nyeri. Dengan sisa-sisa tenaga dia pun turun dari ranjang mencari pembalut karena sudah waktunya tamu bulanan Safina datang. Dia membuka lemari mencari benda itu, tetapi tidak menemukannya. "Jangan-jangan ketinggalan di rumah?" Dia terus mencari, tetapi tidak menemukan satu pembalut pun yang dia bawa dari rumah. "Aduh, gimana ini? Mana aku kesulitan jalan kalau harus nyari pembalut keluar." Safina kembali ke ranjang karena nyeri di perutnya terasa semakin sakit. Safina meringkuk di atas ranjang menahan sakit. Hingga terdengar suara ketukan di pintu. "Fin, makan dulu, makanannya udah siap!" Tidak ada jawaban dari Safina karena dia sedang menahan rasa sakit. Karena Safina tidak keluar dari kamar, Iqbal pun meminta izin masuk kamar. "Masuk aja, Pak!" ucap Safina dengan sisa tenaga. Iqbal pun masuk kamar. Dia terkejut melihat perempuan itu sedang meringis kesakitan di ranjang. Iqbal pun mendekat lalu duduk di tepi ranjang. "Kamu kenapa? Apa yang sakit, Fin?" Iqbal menjadi panik. "Pak, bisa minta tolong belikan pembalut enggak?" Safina membuang rasa malu di hadapan iqbal karena hanya pria itu yang bisa membantunya. "Pembalut?" tanya Iqbal sambil mengerutkan dahi. "Iya, saya lagi dapet, Pak." Iqbal pun mengangguk-anggukkan kepala. Dia pun mendadak bingung karena belum pernah membeli pembalut. "Tunggu ya, saya keluar dulu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN