Bab 4. Punya Kamar Masing-masing

1087 Kata
Pada malam hari, Nirmala mengungkapkan perasannya pada Dewangga soal Safina. Perempuan itu masih belum ikhlas ditinggalkan begitu saja oleh anaknya yang tiba-tiba menikah. Padahal Safina baru pulang dari luar negeri setelah empat tahun kuliah di California. "Pa, apa Papa enggak merasa sedih ditinggal Safina nikah? Kita baru nikahin Safira sekarang anaknya lagi pergi bulan madu sama suaminya, sekarang Safina juga harus nikah dengan dosen teman Papa itu. Mama kok belum rela ditinggal Safina." Nirmala mengungkapkan isi hatinya pada sang suami. Dewangga paham apa yang dirasakan istrinya ditinggal anak kembar menikah dalam waktu berdekatan itu rasanya memang sedih, tetapi mau tidak mau mereka harus menerima takdir yang sudah ditetapkan untuk kedua anak mereka. "Mungkin karena mereka kembar, jadi nikahnya juga di waktu yang berdekatan, Ma." Dewangga mencoba menghibur Nirmala. "Papa ih, Mama kan lagi ngomong serius kok malah diajak becanda sih?" protes Nirmala pada suaminya. "Yah, gimana ya Ma, dengan menikahkan Safina kita sudah berbuat baik, menyelamatkan nama baik orang tua Iqbal. Bayangkan berapa banyak pahala yang kita dapatkan. Papa pikir Iqbal juga enggak jelek-jelek amat buat Safina, justru mereka itu pasangan yang cocok dan bakalan nyambung. Sama-sama mikirin soal pendidikan. Beda banget sama calon istri Iqbal yang enggak datang itu, duh enggak cocok banget, Ma, cewek demen dandan yang entah isi kepalanya ada apaan. Papa bingung sama Iqbal, apa yang dia lihat dari mantan calon istrinya itu? Kosong, enggak ada isinya." Nirmala terdiam. "Apa iya, Pa? Emang Papa udah ketemu sama perempuan itu?" "Enggak cuma ketemu kok, Ma, tapi dikenalin sama Iqbal. Duh, enggak banget deh, jangankan ama Safina, ama Safira aja jauh." "Pantes aja Papa keliatan seneng gitu anaknya nikah. Jangan-jangan Papa pernah ngarep Safina jadi jodohnya Iqbal, ya?" Nirmala asal tebak saja. "Kalau itu enggak sih, Ma. Kan Safina punya pacar Dirga. Papa lihat Dirga itu anak baik dan enggak aneh-aneh, tapi karena Safina bilang dia selingkuh karena pelukan dengan perempuan lain, ya Papa percaya aja sama Safina. Papa pikir mereka pasti sudah putus ya, jadi enggak apa-apa kan Papa nikahkan Safina dengan Iqbal?" Nirmala geleng-geleng kepala mendengar penjelasan suaminya. "Terus gimana nanti nasib pernikahan Safina dengan Iqbal, Pa? Kalau sampai Iqbal tiba-tiba menceraikan Safina karena enggak cinta gimana?" "Mama lupa dengan pernikahan kita dulu gimana? Apa ketika kita nikah sudah ada perasaan cinta? Belum, kan?" Nirmala mengenang masa lalu karena sebuah insiden Dewangga menabraknya dan sang ayah, mereka harus menikah sebelum sang ayah menghembuskan napas terakhirnya. "Percayalah, Ma, suatu hari nanti mereka akan saling jatuh cinta dan memberikan kita cucu yang lucu-lucu." Ucapan Dewangga berhasil mengurangi rasa khawatir Nirmala. Pelan-pelan Nirmala harus merelakan Safina tinggal bersama suaminya walaupun sebenarnya Nirmala masih merindukan kebersamaan dengan putrinya itu. "Safina kan masih akan main ke sini, Ma. Jangan berlebihan mikirnya, ya." "Pa, Mama kan masih pengen tidur bareng Safina dan dengerin curhatannya dia." "Nanti suruh dia nginep di sini sama Safira juga." "Bukannya Safira masih mau tinggal di sini dulu, belum langsung pindah ikut Irfan ke rumahnya?" Dewangga mengangkat bahu. Ternyata begitu rasanya ditinggal dua anak perempuan dalam waktu berdekatan, bikin kangen. Sementara itu di rumah Iqbal. Orang tuanya datang berkunjung membawakan banyak makanan. Sang mama mengantar banyak makanan kesukaan anaknya yang belum diketahui oleh Safina. Mereka tengah menikmati makan malam di rumah milik Iqbal dalam kehangatan. Orang tua Iqbal sangat ramah dan dengan mudahnya menerima Safina sebagai menantu. Saat sebelumnya Iqbal mengabari jika orang tuanya akan datang, Safina mendadak panik. Dia takut orang tua suaminya tidak bisa menerima keberadaanya sebagai istri Iqbal karena Safina hanya seorang pengganti. Namun, yang terjadi membuatnya berdecak kagum. Sikap baik orang tua Iqbal membuat Safina merasa dihargai dan diterima dengan baik. Tidak ada perasan canggung yang ditunjukkan orang tua Iqbal sehingga Safina lebih cepat mengakrabkan diri dengan mereka. Selesai makan malam, saat Iqbal dan papanya duduk mengobrol di depan TV, Ika Adiningrum--mamanya Iqbal memasukkan beberapa kotak yang berisi masakan matang ke dalam lemari pendingin. Ada banyak masakan di sana di antaranya ada rendang, semur, opor, semua disukai oleh Iqbal. "Fin, nanti kalau mau makan tinggal dimasukkan aja kotak ini dalam microwave ya! Jangan lama-lama, dua atau tiga menit aja sudah cukup, atau kalau bingung minta bantuan Iqbal aja ya, jangan sungkan." Safia menganggukkan kepala. "Iya, Tante. Cuma dipanasi di microwave aja kan, ya?" "Iya. Gampang, kan?" "Iya, Tante. Kayaknya saya bisa." "Aduh, Fina, jangan manggil Tante, panggil saya Mama, ya!" Safina meringis. Dia masih belum terbiasa memanggil Ika dengan sebutan mama. "Dibiasakan ya, Fin, kamu sekarang juga kan anak Mama karena jadi istrinya Iqbal. Pokoknya kalau ada apa-apa kamu telepon Mama. Kalau Iqbal cuekin kamu, bilang aja sama Mama, ya. Mama doain kalian bisa cepet dapet momongan. Duh, enggak sabar pengen gendong cucu. Mama ini sudah tua, Fin, jadi sebelum mati pengennya gendong cucu dulu." Wajah Safina memerah. "Disenggol aja belum, gimana mau punya cucu, tapi aku belum siap," batin Safina. "Hus! Mama jangan ngomong aneh-aneh deh, Mama tuh belum akan mati sekarang. Umur Mama masih panjang," tegur Iqbal yang ke belakang karena haus dan ingin minum. "Ya pokoknya sebelum Mama mati kamu harus sudah punya anak. Inget loh, Bal. Oh ya, Mama udah simpen makanan kesukaan kamu tuh, ajari Fina manasin di microwave ya." "Iya, Mama Sayang. Nanti aku ajari Fina dengan baik." Perempuan paruh baya itu memicingkan matanya. "Ajarin apa nih, Bal? Ajarin cara bikin cucu?" Iqbal menggelengkan kepala. "Dih, Mama m***m aja pikirannya. Ya diajarin manasin lauk di microwave lah." "Ya kali aja kan, biar cepet punya momongan, tapi ngajarin Fina Cara bikin anak juga seru tuh, Bal." Ika senyum-senyum sendiri membayangkan yang iya-iya. "Dah ah, Mama mau pulang dulu. Pa ayo kita pulang. Katanya Iqbal udah enggak sabar pengen cepet-cepet punya anak." Ika sempat-sempatnya menggoda Iqbal dan Safina lalu membuat wajah Safina memerah lagi. "Ya ayo, Ma. Papa juga enggak sabar pengen cepet-cepet punya cucu." Indra dan Ika pamit pulang. Iqbal dan Safina mengantar mereka sampai ke depan rumah. Mereka baru masuk lagi setelah mobil orang tua Iqbal tidak terlihat lagi. "Ingat ya, Fin, kamar kita terpisah. Itu kamar kamu dan ini kamar saya. Jangan coba-coba tidur di kamar saya! Kalau ada apa-apa ketuk aja pintu kamar saya, saya gampang dibangunin kok." "Iya, Pak. Saya tahu, Bapak kan udah berkali-kali ngomong itu." "Emang Dasar Dosen gila!" Sejak dia datang ke rumah itu, Iqbal sudah membagi kamar untuk mereka karena memang di rumah itu hanya ada dua kamar yang letaknya bersebelahan. "Saya mau tidur dulu ya, Pak. Masih capek. Besok jangan bangunin saya karena saya bisa bangun sendiri." "Siapa juga yang mau bangunin kamu!" Keduanya masuk kamar masing-masing dengan perasaan kesal lalu membanting pintu kamar masing-masing secara bersamaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN