8 | Bos Besar

1720 Kata
"Pinter kamu cari mantu buat Ibu!" ucap Nyonya Santi yang tidak berperikeibuan. Rea senyum. "Jelas! Kalo nggak, buat apa Rea ngelajang lama-lama. Kan, emang buat nyari yang lebih high quality daripada anaknya tetangga. Biar Ibu bisa angkat dagu tinggi-tinggi." Beuh! Bibir Rea dicubit ibu setelah mengucapkan hal yang barusan. Ampun, deh! Memangnya Rea salah ngomong, ya? "Nggak selama ini juga, lho, harusnya! Kamu bikin Ibu jadi nggak nyenyak tidur, gak selera makan, dan males bersosial di lingkungan." Ibu berdecak-decak sambil geleng-geleng. Rea usap-usap bibir. "Udah, ah. Rea ke depan." Yang penting Nyonya Santi sudah jinak walau ... entah nanti bagaimana saat nikahan siri yang Jayakarsa maksud itu disebut, bukan nikah betulan ke KUA. Jujur, Rea penasaran bagaimana Mas Jaya merangkai naskah kebohongannya untuk bisa aman, damai, dan sejahtera menikahi Rea secara siri. Kembali Rea duduk di sofa ruang tamu. Tadi Jayakarsa dapat telepon, lalu izin mengangkatnya di luar. Rea persilakan. Malah Rea ngeluyur ke dapur bantu ibu buat menyediakan hidangan. Mau makan siang bareng dulu, ibu sampai masak steak. Tak tahu itu bagaimana rasanya nanti. "Udah, Mas?" Jaya mengangguk. "Dari anak saya." Tanpa perlu Rea tanyakan, Jaya memberi jawaban. Rea ber-oh ria. Pantas saja pengin menjawab di luar, takut anaknya curiga si papa ada di tempat wanita kali, ya? Rea tak mau ambil pusing. "Yuklah, makan. Ibu udah masak banyak banget buat nyambut Mas," ajak Rea. Dibimbingnya Jayakarsa ke ruang makan. Asal kalian tahu, seketika sering Rea lihat tetangga melintas. Kepalanya noleh ke sini. Seingin tahu itukah tentangnya yang bawa pria ke rumah menemui ibu? Apa kabar tadi saat Jayakarsa bertelepon di luar, ya? "Kita ngobrolnya lanjut sambil makan, ya, Nak Jaya? Pasti kalian udah laper habis perjalanan jauh." Rea melihat ibu melayani calon mantunya dengan semangat empat lima. "Tuh, Ibu udah masak banyak dan enak khusus untuk hari ini," kata ibu lagi. Rea sodorkan piring ke ibu. Eh, dipelototi. Maksudnya, ambil sendiri gitu, ya? Padahal punya Jayakarsa diambilkan oleh ibu. "Nanti Rea kalau udah nikah, contoh yang tadi Ibu lakuin, lho. Layani suaminya termasuk saat di meja makan." Rea berdeham. Melirik Jayakarsa. Lelaki itu manggut-manggut. Ingin Rea nyeletuk, 'Mas Jaya butuhnya cuma Rea pas lagi di kasur, kok, Bu. Di selain itu nggak butuh-butuh amat.' Iya, tidak? "Gih, ambilin air minumnya, Re. Ngasih service ke suami itu jangan setengah-setengah, biar suamimu juga sayang ke kamunya pol-polan." Ibu dulu gitu ke ayah, kan, ya? Tapi ... mana, tuh? Kok, malah berpisah? Kok, tidak terlihat disayang? Meski begitu, Rea ikuti saja apa kata ibu. Diambilnya gelas, lalu dikucurkan air dari teko, kemudian diletakkan ke hadapan satu-satunya pria di sini. "Silakan, Mas." "Sambil senyum, Re," tegur ibu. Ampun, deh. Banyak betul aturan main jadi istri. Jayakarsa cuma butuh satu, kok. Seks! But, fine. Rea senyumi. Jayakarsa senyum juga. Tiba-tiba Rea dihinggapi pikiran, apa seorang aromantis benar-benar tidak bisa merasakan perasaan romantis? Makna senyuman tadi itu apa, ya? Kekehan-kekehannya juga waktu di ruang tamu. Dan bila tidak punya perasaan romantis, lalu kenapa masih bisa menginginkan hubungan intim? Rea belum tahu banyak tentang aromantis. Next time dia gali, sekarang fokus pada apa yang ada dulu. Makan-makan. "Cobain steak-nya, Nak Jaya. Ini menu spesial." Ibu Rea menyodorkan steak tersebut. Jaya pun mencicipi. Pertama-tama, dia tusuk dagingnya dengan garpu, lalu ambil pisau dan iris-iris. Namun .... "Alot, ya? Ibu nggak bisa masak steak, nih," celetuk Rea. "Udah, Mas, makan rendang aja." Rea gantikan piring steak itu dengan semangkuk rendang. "Kamu ini!" tukas ibu. "Bukan Ibu yang masak!" *** Kenyang pol, Sis! Rea usap-usap perut. Singkat cerita, makanan di piring masing-masing sudah habis. Yang belum habis adalah rasa penasaran ibu Rea. Dengarkan saja, dengarkan. "Jadi, Nak Jaya pertama kali ketemu Rea di mana? Cerita, dong, sama Ibu." Kapan sesi pertemuan dengan ibu ini berakhir, Ya Tuhan .... Rea sudah tidak tahan. Ingin ngode minta balik ke kota sekarang, tetapi ibu sedang mode senang. Kasihan juga kalau Rea cut. Kapan lagi Rea bikin ibu gembira? Biasanya, kan, ibu kecut everytime everywhere. "Di kafe, Bu," jawab Jaya. Itu benar. "Saya melihat Rea sedang minum milkshake stroberi di pertemuan pertama kami." Benar juga. Dan ... idih, idih! Mata ibu berbinar. Sebenarnya, dalam bayangan ibu tentang pertemuan Rea dengan Jayakarsa di kafe itu kayak gimana, sih? Perasaan yang Jaya katakan tak satu pun ada unsur manisnya, deh. Hal normal saja itu. "Oh ... jatuh cinta pada pandangan pertama gitu, ya?" Bu! Mana ada. Ni orang aromantis! Ingin Rea katakan begitu, tetapi sepertinya lebih baik biarkan ibu asyik berimajinasi. Rea melirik calon suami. Aktingnya bagus. Besok kalau tidak punya uang dan Mas Jaya capek kerja kantoran, akan Rea suruh jadi aktor. Cocok! "Bisa dikatakan seperti itu, ya, Re?" Mulai sok akrab, sebutannya 'Re' ikut-ikutan ibu. Ya, tidak apa-apa, sih. Bagus malah. Makin natural kedekatannya. "Iya, Mas." "Tapi kalian nggak sekantor, ya?" tanya ibu. "Mas Jaya di Sastra Edu, Bu. Beda sama Rea." "Sastra Edu itu perusahaan apa, Nak Jaya?" "Pendidikan, seperti pengadaan kelas online dan lain halnya terkait edukasi." Rea manggut-manggut, bukan cuma ibu. "Rea ini sekretaris, lho." Mulai. Itu hal yang disukai ibu, yakni pekerjaan Rea. Sudah pernah Rea bilang kalau ibu menyukai sesuatu maka akan terus disanjung-sanjung, kan? "Dan katanya, Rea mau nyoba daftar di perusahaan ... apa, tuh, Re? Yang kata kamu perusahaan besar?" Malu, deh. Kenapa ibu bahas itu, sih? Jaya menatap Rea. Entah kenapa Rea deg-degan diberi tatapan macam itu. Berasa sangat intens, demi apa pun. "Re?" "Hm? Oh ... Luxe, Bu," jawab Rea apa adanya. Memang pernah cerita ke ibu bahwa Rea sedang mengincar perusahaan raksasa bernama Luxe Company, ingin jadi sekretaris bos besar di situ. Tapi, ya ... cuma angan-angan dan obrolan biar ibu tidak nagih mantu terus kala itu. Rea bilang sedang berusaha fokus agar bisa menclok di perusahaan furnitur nomor satu se-Indonesia. "Nah, iya. Luxe. Nak Jaya tahu perusahaan itu?" Rea juga menatap wajah pria bercambang di sisinya. "Tahu." Sambil menyesap air minum. "Perusahaan besar." "Iya, kan! Doain, ya. Nanti istrimu kerja di sana." Ibu semringah. "Tapi kalau sudah jadi istri, Rea bisa di rumah saja," timpal Jaya lugas. Melirik Realine. "Biar nggak capek." Ada saliva yang Rea telan, berasa diberi kode atau ... ultimatum? Bahwa nanti setelah jadi istri Jaya, energi Rea tak akan cukup bila dibagi dengan bekerja. Soalnya ... ada hal lain yang akan menguras habis energi itu. Ih! Kok, seram? "Oh ... gitu. Ya, nggak apa-apa asal Nak Jaya bisa memenuhi kebutuhan Rea." Ibu mode 'budiman.' Ini baru terasa seperti 'ibu.' "Tapi aku pengin sambil kerja, Mas," tukas Rea. "Dikasih paha yang enak, kok, minta empedu, Re?" Respons ibu lebih gesit dari Jaya. "Oh, ya, Nak Jaya rumahnya di daerah mana?" Jujur, Rea saja tidak tahu. *** Setelah sekian lama di Banyuliang, akhirnya Rea dan Jaya bertolak ke kota. Ada banyak boks makanan di belakang, ibu Rea membawakan. Buat Nak Jaya katanya. Hilih! Nak Jaya, Nak Jaya. Ibu belum tahu saja kalau umur si 'nak-nak' ini empat puluhan. Dari segi wajah memang kelihatan lebih muda, mungkin karena pola makan dijaga, terus gaya hidupnya juga baik, dan tidak pernah stres—Rea rasa—soalnya urusan cinta saja selamat. Aromantis waktu cerai pasti tidak patah hati, kan? Yang patah si mantan seorang. Ngenes juga, sih. Semoga Rea tidak jatuh cinta kepada pria di sebelahnya. Toh, Rea pernah dibuat malas cinta-cintaan, harusnya aman. Dalam gemingnya itu, di perjalanan, Jayakarsa bertanya, "Suka lagu apa?" Nanya ke Rea, kan? Cuma ada Rea di sini. "MAMA, EXO." Ini serius Rea suka lagu itu. Di lampu merah, tampaknya Jayakarsa mencarikan lagu yang Rea sebut sampai kini senandungnya melebur kesunyian. "Kok, seperti lagu sekte-sekte sesat?" "Sembarangan. Dengerin aja nanti sampe habis. Enak, kok." Jayakarsa tidak berkomentar. Tidak masalah juga dengan selera lagu Rea. Sementara itu, di Banyuliang. Rumah Rea ramai didatangi orang-orang sudah seperti ada pembagian sembako dari gubernur. "Orang mana calonnya Rea, Bu?" Bu Santi jadi peran utamanya di sana. Melirik julid kepada tetangga. Mama Jonathan tampak kepo, tetapi tidak ikut nimbrung ke rumah hijau sage itu. "Orang Jakarta, Bu Nar." "Kayak orang luar, ya?" "Blasteran kayak Rea, sih, memang. Serasi, kan? Sama-sama ada darah bulenya gitu, lho. Panteslah NGGAK JODOH sama yang LOKAL-LOKAL. GAK COCOK, sih. JOMPLANG!" katanya. Bu Santi ini menekankan kata-kata yang ditulis kapital, dia ucap dengan nada lebih tinggi. Sengaja! Supaya didengar oleh musuh bebuyutan. Ini baru yang secara live, belum nanti perang di status Whats-App. Ibu Rea sudah punya senjata soalnya, banyak malah. Mobil Jaya salah satunya. Beuh! Nggak level anak tetangga mah. *** Sedangkan, di lain tempat .... Tiba di rumah, Jaya langsung menelepon Yena—sang sekretaris sekaligus orang kepercayaan. "Carikan keluarga dan orang tua buat saya ajak ke rumah Rea lusa." Yena pasti misuh-misuh di dalam kalbu. "Siap, Pak. Butuh berapa orang?" "Secukupnya keluarga pada umumnya saja. Atau minimal sepuluh orang. Saya mau akad langsung, jadi kamu beri tahu mereka bahwa saya ada urusan mendesak makanya ingin nikah siri lebih dulu, KUA nyusul." Yena juga pasti memaki-maki sosok bosnya ini, tetapi itu hanya di dalam pikiran Yena saja. Mana berani disampaikan. Namun, percayalah ... sebagai bos, Jaya menebaknya demikian. "Baik, Pak." "Satu lagi. Kamu sudah ngehapus semua lintas jejak latar belakang saya yang asli, kan?" Karena Jaya tidak ingin ajang pernikahan siri ini Rea tergiur pada harta dan jabatannya. Walaupun ke mana-mana Jaya selalu berpakaian branded, lalu bawa-bawa kendaraan mewah. Kan, bisa Jaya bilang itu dapat pinjam atasan. "Sudah, Pak. Bersih." Ucapan Yena selalu terdengar sangat meyakinkan. "Bagus. Gaji kamu naik bulan ini kalau pernikahan saya lancar." "Aamiin, Ya Allah. Aamiin. Terima kasih, Pak. Semoga sehat dan jaya selalu!" Langsung Jaya matikan. Tak sukanya kepada Yena, tuh, itu. Menyebut kata jaya dengan 'telanjang' tanpa embel-embel 'ber'. Kan, lebih enak kalau dibungkus dengan 'ber', jadinya 'berjaya.' Dasar. Untung Yena berguna. Habis Yena, Jaya hubungi putra tunggalnya. Acara penyambutan pewaris baru sudah tinggal tiga puluh persenan lagi, di mana jabatan Jaya akan dialihkan kepada sosok pemuda hasil kawin silangnya dengan wanita Aceh. Wanita itu sudah jadi mantan, lalu putra tunggalnya sedang pelatihan di luar negeri. Jaya yang persiapkan. Julian. Anak itu sudah berusia dua puluh tujuh tahunan sekarang. Meski kelak saat mulai bekerja di Luxe, tetap Jaya yang masih berperan penting—ibarat di balik layar. "Halo, Pi?" Dialah putra Jayakarsa Atmaja. "Lusa pulang ke rumah utama. Langsung. Kalau Papi nggak ada, diem di rumah dulu. Tunggu Papi pulang." Karena lusa ... Jaya akan menikah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN