Matteo berdiri tegap di depan Arielle, pistolnya terarah, napasnya teratur meski sorot matanya tajam. Pria asing itu melangkah masuk semakin dekat, tatapannya liar seakan menelanjangi setiap inci tubuh Arielle. “Kau pantas mendapatkan pria yang berdiri, Nyonya De Luca. Bukan pria yang terbaring seperti mayat di ranjang,” ucapnya dengan nada rendah yang penuh ejekan. “Kalau kau ikut denganku, aku akan memberimu lebih dari sekadar perlindungan. Aku akan memberimu tempat yang membuatmu lupa semua ini. Bahkan suamimu.” Arielle membeku. Amarahnya berdesir, tapi ia tahu satu gerakan salah akan memicu baku tembak. Matteo sudah setengah menekan pelatuk, tetapi pria itu terus bicara, memutar belati verbalnya lebih dalam. “Aku dengar kau adalah ‘harta’ paling berharga yang dimiliki De Luca. Sayan