Hujan turun rapi, lurus seperti garis. Pelabuhan tua di sisi barat kota tampak kosong. Gudang nomor tujuh berdiri sendirian dengan atap seng bergetar diterpa angin. Lampu-lampu jalan mati separuh, sisanya berkedip seperti menahan napas. Matteo berdiri di ambang pintu gudang dengan mantel hitam dan sarung tangan kulit. Jam tangannya menunjukkan lewat tengah malam. Dua orangnya menunggu di bayang-bayang, senapan pendek tersandar di paha. Truk boks berhenti di kejauhan, lampu dimatikan. Satu mobil sedan hitam tanpa plat melaju pelan, menepi, dan berhenti sejajar. “Kita pasti?” tanya salah satu anak buah. “Kita pasti,” jawab Matteo singkat. “Begitu mereka turun, kunci pintu. Tidak ada yang keluar tanpa izinku.” Pintu sedan terbuka. Carlo keluar lebih dulu, wajahnya pucat, bibirnya pecah. D