Langkah Alvaro terdengar berat di lorong marmer klub bawah tanah milik klannya. Setiap sudut ruangan didekorasi mewah, dengan cahaya temaram dan aroma cerutu mahal yang khas menyatu dengan udara malam itu. Para lelaki bersetelan jas hitam duduk rapat di meja-meja panjang. Di sisi lain ruangan, perempuan-perempuan bergaun minim tertawa kecil sambil menyentuh pundak pria yang mereka dekati. Tapi Alvaro hanya melangkah lurus. Ia baru saja meninggalkan Arielle, dan untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia enggan beranjak dari ranjang. Rasanya seperti meninggalkan sesuatu yang seharusnya dijaga. “Bos,” sapa salah satu anak buahnya, Ezra, sembari berdiri dan memberikan hormat. Alvaro mengangguk singkat. Ia langsung duduk di kursinya yang berada di kepala meja, dan pandangannya menyapu