Alvaro berdiri di depan kaca, mengenakan setelan jas hitam yang tajam. Cermin memantulkan sosok pria dengan rahang kokoh dan tatapan tajam yang tak bisa ditebak. Di tangannya, sebatang rokok menyala, sementara pikirannya sibuk dengan rencana besar: menciptakan ilusi sempurna agar bisnis kotor yang ia jalani tetap tak terendus.
Pintu ruang tamunya diketuk pelan.
"Masuk," ucapnya datar.
Tangan kanan keluarga sekutunya masuk lebih dulu, lalu seorang pria paruh baya dengan wajah kaku berdiri di belakangnya. Ia mengenakan setelan rapi dan berjalan dengan tenang, di sampingnya ada seorang gadis muda yang menundukkan kepala sejak masuk.
"Ini anak saya. Dia akan jadi milikmu sepenuhnya," ucap pria itu tenang.
Alvaro menatap gadis itu sekilas. Ia tak terlalu tertarik. Yang ia butuhkan hanyalah pion. Seseorang yang bisa tampil sebagai istri di depan publik. Tak lebih.
“Dia sehat? Tak banyak bicara? Bisa menjaga rahasia?”
Pria itu mengangguk. “Dia sudah kami latih. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tidak akan membuat masalah.”
Alvaro mendekat satu langkah, memperhatikan gadis itu dengan mata dingin. Gadis itu tetap menunduk. Wajahnya nyaris tak terlihat. Tapi tubuhnya bergetar halus.
“Angkat wajahmu,” perintah Alvaro.
Gadis itu melakukannya perlahan. Matanya bertemu dengan mata Alvaro hanya sejenak, lalu ia menunduk kembali.
Tak ada reaksi dari pria di depannya. Tak ada tanda bahwa Alvaro mengenalinya. Bagi Alvaro, ini hanya perempuan asing lain yang harus menjalankan perannya.
“Pernikahan dalam tiga hari. Setelah itu, kau tinggal di rumahku. Aku tak butuh drama. Tugasmu hanya bersikap seolah kita pasangan normal di depan publik. Di luar itu, kau tak akan kusentuh.”
Gadis itu mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya, tubuhnya menggigil hebat. Ia tahu suara itu. Tatapan itu. Aura itu.
Ia tahu siapa Alvaro sebenarnya.
Namanya disebut oleh ayah angkatnya dua malam lalu. Saat pria itu mengatakan bahwa dia akan dijodohkan demi keselamatan keluarganya. Saat itu, nama Alvaro terasa asing. Tapi begitu melihat sosoknya hari ini, ia tak bisa menyangkal.
Itu dia.
Pria yang menyentuhnya malam itu. Pria yang mencium tubuhnya, memujinya nikmat dalam erangan berat, pria yang membuat tubuhnya bergetar dengan satu sentuhan.
Tapi Alvaro tidak tahu.
Dia tidak mengenalinya. Tidak mengingat wajahnya. Tidak menyadari bahwa perempuan di depannya adalah perempuan yang sama yang membuatnya mengerang di ranjang, lalu menghilang di pagi hari.
Gadis itu mengepalkan jemarinya di balik rok panjang yang ia kenakan. Lidahnya kelu. Ia tak tahu apakah ini mimpi buruk atau permainan nasib yang kejam.
“Mulai sekarang kau akan dikawal. Tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya, dan jangan pernah coba-coba menggali lebih dalam,” kata Alvaro, nadanya tegas dan final.
Gadis itu kembali mengangguk.
Alvaro menoleh ke ayah angkatnya. “Kau boleh pergi. Biarkan dia di sini. Aku akan sampaikan sisanya.”
Pria itu pamit, dan pintu tertutup.
Kini hanya mereka berdua.
Alvaro berbalik, melangkah menuju ruang kerja tanpa menoleh. “Jangan ganggu aku. Dan jangan sentuh apapun. Aku tidak akan menyentuhmu, dan kau juga tidak akan ku sentuh. Cukup jalankan peranmu dengan tenang.”
Gadis itu berdiri diam. Matanya mengikuti sosok punggung pria itu menghilang di balik pintu ruang kerja.
**
Seorang pelayan membawanya naik ke lantai dua, ke kamar yang telah disiapkan untuknya. Pintu dibuka perlahan. Udara hangat menyambutnya, dan aroma mawar lembut menyebar di udara.
"Silakan Nona, ini kamar Anda," kata pelayan, sopan.
"Terima kasih," ucap wanita itu, lembut.
"Maaf Nona." Pelayan itu berkaca-kaca setelah mendengar suara wanita itu.
"Ada apa?" sahutnya bingung.
"Suara Anda sangat lembut, kecantikan terpancar bahkan saat Anda tersenyum."
Wanita itu merona. "Terima kasih, tapi Anda berlebihan," katanya tak enak.
"Saya adalah orang yang paling jujur di rumah ini," seru paruh baya itu yakin. "Anda bisa memegang kata-kata saya."
"Ah, luar biasa, Anda sangat loyal. Kalau begitu, apa saya boleh tanya?"
Pelayan itu mengangguk semangat. "Tentu, mau tanya apa?"
"Apa Tuan muda Alvaro pulang setiap hari?"
Pelayan itu mendekati wanita di depannya. "Nona, Tuan jarang pulang, tapi jangan kaget jika saat pulang tuan bawa perempuan."
"Perempuan?"
"Ya, tuan dikelilingi wanita cantik. Tapi Nona luar biasa, menurut saya hanya nona yang berbeda. Pantas Nona dijadikan istri Tuan."
Wanita itu tersenyum. "Panggil saya Elle, tidak perlu sungkan."
"Nona Elle?"
"Nama saya Arielle, kamu bisa leluasa panggil El atau Elle."
"Mana boleh, Nona adalah nona muda di sini."
Arielle tersenyum lagi. "Terima kasih, ya. Saya akan masuk."
Kamarnya besar, dindingnya dipenuhi warna netral, jendela kaca besar membingkai pemandangan kota malam. Ranjang empuk berseprai putih rapi berada di tengah ruangan, lengkap dengan lemari besar, sofa, dan meja kerja.
Arielle melangkah masuk perlahan. Tidak ada yang membentaknya. Tidak ada suara keras. Tidak ada sorot mata jijik seperti yang biasa ia terima di rumah ayah angkatnya.
Di rumah ini, semuanya terasa asing. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa lebih baik.
Apakah ini yang dinamakan kebebasan? Meski ia tak sepenuhnya bebas, tapi setidaknya ia diberikan kehidupan yang layak.
Kehidupan sebelumnya adalah neraka. Di rumah itu, ia bukan manusia. Ia hanya mesin uang. Ayah angkatnya menjualnya, menyuruhnya bekerja, mengatur tiap langkah hidupnya. Ia tak punya suara, tak punya pilihan.
Tapi sekarang, meski pria itu dingin dan menyeramkan, ia diberi kamar luas. Ia diberi ketenangan. Dan yang paling penting, pria itu bahkan berkata tak akan menyentuhnya.
Lucu sekali. "Alvaro, ternyata itu benar kau, ya."
Karena dulu, beberapa malam sebelum ini, ia menyerahkan dirinya pada pria asing.
Bukan karena cinta. Tapi karena perintah dan karena hal nekat yang ia lakukan demi satu tujuan.
Ayah angkatnya berkata, pria yang akan memberinya kebebasan tidak suka wanita perawan. Jika ingin bebas dari cengkeramannya, ia harus membuktikan satu hal. Maka, ia memilih satu malam yang gila. Ia memilih pria asing di tempat asing. Ia ingin semuanya cepat dan selesai.
Ia tidak tahu kalau pria itu adalah Alvaro. Pria yang kini akan menikahinya.
Tubuhnya mulai gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena kenyataan yang begitu mengejutkan.
Ia telah memberikan keperawanannya kepada Alvaro dan pria itu tiga hari lagi akan resmi jadi suaminya.
**
Malam itu, pesta kecil digelar di vila pesisir milik Alvaro. Tidak besar. Hanya lingkaran dalam. Para sekutu dari Balkan, pria-pria berdarah dingin dengan senyum licik dan tangan berlumur dosa, datang membawa hadiah seperti biasa.
Salah satu dari mereka, pemimpin klan Vodnic, menepuk pundak Alvaro sambil tertawa berat.
“Kudengar kau akan menikah. Kami semua penasaran, apakah raja singa itu akhirnya akan jinak.”
Alvaro hanya mengangkat alis, menuang whiskey ke gelas kristal di tangannya.
“Aku hanya bermain lebih cerdas. Bukan lebih jinak,” sahutnya datar.
“Begitu? Maka kau harus buktikan malam ini,” pria itu berseru, lalu memberi isyarat pada bawahannya.
Seorang perempuan berjalan masuk.
Langkahnya lambat, sensual. Rambut hitam legam menutupi sebagian wajahnya. Bibirnya merah, kulitnya terang bercahaya, dan gaun sutra merahnya nyaris seperti kabut yang membalut tubuh. Mata para pria lain mengikuti langkahnya.
“Namanya Liana. Ia terlatih. Tak akan menolak apa pun yang kau mau. Hadiah dari kami sebagai simbol hormat.”
Alvaro menatap perempuan itu dari ujung kaki hingga kepala.
Biasa saja, tatapannya dingin.
Sama seperti perempuan lain yang pernah ia tiduri, cantik, menggoda, dan penuh ambisi di balik senyum pura-pura.
Tapi ia tidak menolak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dari kursi.
“Kalau begitu, kita lihat sejauh mana hadiahnya bisa membuatku lupa sejenak,” gumamnya.
**
Di kamar pribadi lantai atas vila, Liana sudah menunggu di tepi ranjang. Gaun merahnya kini hanya tinggal tirai tipis yang tergelincir dari bahu. Matanya tajam, menggoda, penuh keberanian.
Alvaro masuk pelan, membuka kancing kemejanya satu per satu tanpa berkata apa-apa. Suasana ruangan temaram. Wangi parfum mahal bercampur aroma whiskey memenuhi udara.
Liana berdiri dan melangkah mendekat. Tangannya menyentuh d**a Alvaro, naik ke tengkuk, bibirnya mencoba mencium rahangnya.
Alvaro membalas, sejenak. Ia membiarkan bibir mereka bersatu, tubuh mereka saling bersentuhan.
Tapi tak ada rasa.
Tidak ada desakan. Tidak ada ketegangan yang biasa membuatnya terbakar.
Liana mulai menurunkan tubuhnya, mendorong Alvaro ke ranjang, menaiki tubuhnya dengan gerakan sensual. Ia berbisik di telinga pria itu.
“Katakan apa yang kau mau, dan aku akan jadi milikmu malam ini.”
Alvaro menatapnya.
Dan yang muncul di matanya bukan wajah Liana. Tapi mata gelap penuh rahasia milik perempuan itu. Perempuan tanpa nama yang hanya memandangnya sebentar... tapi meninggalkan bekas seperti duri dalam d**a.
Alvaro mendesah, lalu memutar tubuh mereka, membuat Liana berada di bawahnya. Tangannya menyentuh lekuk tubuh wanita itu.
Tapi lagi-lagi kosong.
Bibir Liana tak membuatnya berdebar.
Rintihannya terasa dibuat-buat.
Tubuhnya indah, tapi dingin. Lalu Alvaro berhenti.
Tiba-tiba. Mendadak. Seperti tersadar, ia bangkit dari atas tubuh Liana dan duduk di tepi ranjang, membelakangi perempuan itu yang kini terengah bingung.
“Ada yang salah?” tanya Liana, nafasnya berat.
Alvaro tak menjawab.
Ia menatap lantai dengan mata tajam, penuh kekesalan yang tak bisa dijelaskan.
“Kau cantik. Sangat cantik. Tapi tidak cukup,” katanya pelan.
“Tidak cukup?” Liana duduk, menyelimuti tubuhnya dengan seprai. “Apa aku tidak memuaskanmu?”
Alvaro berdiri, meraih rokoknya, dan menyalakan satu batang.
“Kau sempurna untuk pria lain. Tapi aku tidak sedang butuh tubuh. Aku butuh... rasa.”
Ia berjalan ke balkon, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang dingin. Asap rokok melayang dari bibirnya, menyatu dengan langit malam yang pekat.
Liana mendekat pelan, memeluk dari belakang.
“Aku bisa jadi apa pun yang kau inginkan.”
Alvaro menepis tangan itu.
“Masalahnya, aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Karena semuanya terasa salah sejak malam itu.”
“Malam apa?”
Alvaro hanya tertawa kecil. Pahit.
“Sudah keluar. Aku tidak ingin ada siapa pun di kamarku malam ini.”
Liana merasa tersinggung, tapi tak berani membantah. Ia hanya mengambil bajunya pelan, lalu berjalan keluar tanpa suara.
Kini, Alvaro kembali sendirian. Ia berdiri memandangi laut yang hitam, membiarkan angin mencambuk pikirannya.
Tapi semua tetap sama.
Tubuh Liana tidak bisa menggantikan bayangan perempuan itu.
Bahkan aroma kulit perempuan-perempuan mahal yang datang silih berganti pun tak bisa menenggelamkan ingatan akan gadis yang menyerahkan segalanya malam itu, tanpa nama, tanpa identitas, tapi meninggalkan rasa yang tak bisa ia enyahkan.
Dan untuk pria sekeras Alvaro, itu jauh lebih berbahaya daripada musuh dengan senapan.