⚠️Tidak Ada Yang Sepertinya ⚠️

1329 Kata
Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu. Tapi bayangannya masih tertinggal seperti bekas ciuman yang terlalu dalam di kulit. Alvaro berdiri di balkon penthouse-nya, rokok menyala di tangan, membiarkan angin malam meniup rambutnya yang berantakan. Matanya kosong menatap ke langit, tapi pikirannya tak berhenti memutar ulang. Sentuhan pertama di dinding kamar itu. Cara gadis itu membalas ciumannya—awal yang kikuk, kemudian berubah menjadi begitu penuh rasa ingin tahu. Bukan gairah liar seperti yang biasa ia temui, tapi rasa penasaran polos yang menghancurkan kontrolnya. "Pertama kalimu?" Alvaro membisikkan kembali pertanyaannya malam itu, lalu ingat bagaimana perempuan itu mengangguk dan menjawab, "Iya. Aku ingin tahu rasanya saat dilakukan oleh pria lain. Bukan oleh diriku sendiri." Ucapan itu membakar ulang semua syarafnya. Itu bukan sekadar kalimat, itu pengakuan. Dan respons tubuh perempuan itu, cara dia melengkung, menggigit bibir, lalu menjerit namanya saat mencapai klimaks pertama—itu tak tergantikan. Ia membuang napas panjang, lalu mematikan rokok dan masuk ke dalam. Di dalam, seorang perempuan berambut pirang duduk di sofanya, mengenakan lingerie satin merah. Ia tersenyum genit saat melihat Alvaro mendekat. "Kau benar-benar memanggilku hanya untuk diam di balkon?" gadis itu mengeluh manja. Alvaro duduk di sampingnya. Ia menyentuh dagunya, menatap bibirnya, lalu mencium perlahan. Tapi tak ada rasa. Perempuan itu balas mencium, bahkan mencoba menaiki pangkuannya. Tapi Alvaro menghentikannya. "Cukup." Alvaro beranjak dari duduknya. "Kau dingin malam ini," protes perempuan itu. "Aku bosan," sahut Alvaro datar. Ia bangkit dan berjalan ke dapur, mengambil sebotol scotch. Perempuan itu merengut, lalu mengenakan kembali mantel tipisnya. "Kau payah, Alvaro." "Aku tak butuh pujianmu." Gadis itu mengumpat pelan sebelum keluar dari apartemen. Alvaro menghempaskan tubuhnya ke sofa. Satu tangan memegang gelas berisi cairan keemasan, yang lain menutup mata. Tapi yang ia lihat bukan wajah perempuan tadi. Yang muncul lagi dan lagi adalah perempuan malam itu. "Sialan! Kenapa aku jadi gila karena perempuan yang bahkan tidak jelas!" umpatnya. Bibir mungil yang gemetar saat mencium untuk pertama kali. Tubuh mungil yang menegang saat ia menyentuhnya. Suara rintihan malu-malu yang berubah menjadi jeritan saat ia menyatu penuh. Tatapan matanya yang berkabut saat mengatakan, "Tolong jangan berhenti." Alvaro memukul meja dengan keras. "Sialan siapa kau sebenarnya? Dan kenapa rasa itu tak bisa kulupakan?" Ia telah mencoba dua perempuan lain sejak malam itu. Semua cantik. Semua mau. Tapi tak ada yang memberi rasa yang sama. Sentuhan mereka kosong. Ciuman mereka hambar. Pelukan mereka dingin. Yang ia cari adalah sesuatu yang tak bisa dibeli. "Kau membuatku gila gadis tanpa nama." Ia memejamkan mata. Dan malam itu datang lagi, dalam versi yang lebih jelas, lebih hidup, lebih membakar. Tubuhnya menegang. Tanpa sadar, Alvaro menyentuh dadanya sendiri. Jantungnya berdebar, bukan karena gairah, tapi karena frustrasi. Ia, Alvaro, pria yang tak pernah mengulang perempuan yang sama, kini tak bisa tidur tanpa memikirkan rasa pertama yang begitu polos tapi membekas dalam. Dan ia bersumpah dalam hati, jika takdir mempertemukan mereka lagi, ia tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah. *** Keesokan harinya, Alvaro berada di markas klan. Gudang besar yang terkamuflase sebagai bengkel mobil itu sibuk seperti biasa. Pria-pria bertato, bersenjata, beberapa duduk memainkan kartu, yang lain memeriksa koper berisi uang. Alvaro berjalan melewati mereka semua dengan wibawa dingin. Mereka menunduk hormat saat ia lewat. "Bos, transaksi barang dari Napoli aman. Tapi kita kehilangan dua anak buah di Meksiko," lapor tangan kanannya. "Kubur mereka dengan layak. Cari pengganti. Jangan sampai nama kita dianggap lemah." "Siap." Alvaro menuju ruangannya. Baru duduk, ponselnya berdering. Nama yang muncul membuat alisnya naik. "Tuan Besar," ucapnya, menjawab. "Seseorang mencarimu. Ia bilang membawa tawaran penting. Keluarga pebisnis yang dulu pernah kita lindungi." "Apa yang dia tawarkan?" "Putrinya." Alvaro terdiam. "Kau bisa melakukan apa pun pada gadis itu. Bahkan menikahinya. Keluarganya hanya ingin pengamanan. Mereka tahu kau tak suka ikatan, tapi kali ini mungkin ini bisa jadi tameng." Diam beberapa detik, lalu Alvaro menjawab. "Kirim dia padaku. Aku akan menilai sendiri." Setelah panggilan berakhir, Alvaro duduk lama. Menikah? Bukan idenya sama sekali. Tapi akhir-akhir ini, terlalu banyak mata mengawasi. Dari pemerintah, kepolisian, bahkan kelompok musuh. Jika ia ingin melindungi identitas aslinya—pemimpin klan mafia yang diburu dalam diam—maka tampil sebagai pria berumah tangga bisa menyelamatkan lebih dari satu nyawa. Ia butuh pion. Dan jika gadis itu cukup patuh, cukup cantik, dan cukup bisa dikendalikan Mungkin, ini waktunya membangun ilusi yang lebih meyakinkan dari sebelumnya. Ia menyesap rokok terakhirnya, lalu berdiri dari kursi. "Kirim dia. Aku ingin melihat apakah gadis ini bisa membuatku lupa pada gadis tanpa nama itu." ** Sore itu, markas klan kembali sunyi saat Alvaro memasuki ruang penyiksaan di bawah tanah gudang. Bau darah kering dan karat besi menyeruak tajam, bercampur aroma lembab tembok beton yang tak pernah mencium sinar matahari. Di tengah ruangan, seorang pria terikat pada kursi baja, tubuhnya penuh luka dan darah. Nafasnya tersengal, sebelah matanya bengkak dan lebam. Di dekatnya, dua anak buah Alvaro berdiri kaku—tak berani bergerak tanpa perintah. “Dia orangnya,” kata salah satu dari mereka. “Pengkhianat dari dalam. Menjual informasi jalur distribusi ke kelompok Cartel Timur.” Alvaro tak bicara. Ia hanya menatap pria itu dengan dingin. Mata hitamnya seolah membelah tubuh lelaki malang itu, menggali isi kepalanya tanpa perlu berkata sepatah kata pun. Pria terikat itu menggigil. “A-Alvaro... Tuan… aku—aku tidak bermaksud—” Alvaro mengangkat tangannya, menyuruhnya diam. Ia berjalan memutari kursi itu, langkahnya tenang, nyaris hening. “Aku tidak suka pengulangan,” ucapnya pelan. “Tapi orang-orang sepertimu membuatku harus mengulang pelajaran dasar.” Ia mengambil sarung tangan hitam dari kantong jasnya, memakainya perlahan. “Kau tahu apa itu loyalitas?” Pria itu mengangguk cepat. “Tidak,” bisik Alvaro. “Kau hanya tahu rasa takut. Dan itu berbeda.” Ia mengambil sebilah pisau ramping dari atas meja, mengamatinya di bawah cahaya lampu gantung yang bergoyang pelan. Cahaya baja itu memantul di mata Alvaro. “Pengkhianat tidak dibunuh. Mereka dijadikan contoh.” “Alvaro, kumohon—aku punya anak istri—” “Anakmu akan lebih baik tanpa ayah pengecut.” Tanpa aba-aba, Alvaro mengayunkan pisaunya ke paha pria itu. Jeritan nyaring langsung memenuhi ruangan. Tapi Alvaro tetap tenang, bahkan ekspresinya nyaris datar, seolah mendengar suara burung gereja berkicau. Ia tak butuh kemarahan untuk menjadi kejam. Ia hanya butuh alasan. Dan malam ini, ia punya banyak. Beberapa menit kemudian, suara tangis dan darah sudah menjadi satu. Lantai beton penuh noda merah. Tapi mata Alvaro tetap tenang. Tangannya bersih. Tidak satu pun cipratan mengenai jasnya. “Buang dia ke sungai. Potong jari-jarinya. Kirim satu ke setiap kelompok lawan. Ini peringatan bahwa siapa pun yang mencoba masuk ke dalam lingkaranku, akan keluar tanpa tubuh utuh.” “Siap, Bos.” Saat anak buahnya menyeret tubuh tak berdaya itu pergi, Alvaro menghela napas panjang. Tapi bukan karena kelelahan. Justru sebaliknya. Ia merasa kosong. Kepalanya penuh strategi. Perang antar kartel di utara. Kepolisian rahasia yang mulai mengendus. Klan baru dari Asia yang mencoba masuk ke bisnis pelabuhan. Tapi di antara semua itu, tidak ada satu pun yang bisa menenangkan pikirannya yang terus bergejolak sejak tiga malam terakhir. “Fokus, Alvaro,” gumamnya sendiri sambil berjalan menuju ruang atas. Namun di dalam hatinya yang paling dalam—ia tahu, untuk pertama kalinya sejak naik takhta sebagai pemimpin klan, ada sesuatu yang membuatnya kehilangan fokus. Dan itu lebih berbahaya daripada pengkhianat bersenjata. Setibanya di ruang kerja, ia membuka berkas-berkas baru. Rute perdagangan senjata, nama-nama yang harus disuap, dan rencana aliansi pura-pura dengan mafia Rusia. Satu panggilan masuk. “Bos, kelompok dari Ukraina meminta pembuktian. Mereka tak percaya kita bisa amankan pelabuhan dalam dua minggu.” Alvaro tersenyum tipis. “Siapkan ledakan kecil. Biar mereka tahu siapa yang mengatur pelabuhan ini.” “Siap.” Alvaro menutup panggilan itu, lalu menatap peta besar di dinding, simbol kekuasaannya. Setiap titik merah adalah wilayah yang telah ia kuasai. Setiap titik kuning adalah target selanjutnya. Ia tidak butuh cinta. Tidak butuh teman. Yang ia butuhkan hanyalah kontrol. Dan siapa pun yang mencoba membuatnya kehilangan itu bahkan hanya sesaat, akan dikenang bukan sebagai kenangan manis, tapi sebagai obsesi yang akan ia kalahkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN