Dalam iringan gamelan pengantar pengantin, aku beranjak keluar ruang tenda mengikuti Tante Yesi yang membawa piring makannya. Mencari kursi kosong di sekitar taman. Aku melihat di pojok dekat karangan bunga yang menggunung, ada kursi dan meja kosong dengan lampunya yang tidak terlampau mencolok. Kami menuju ke sana. “Nanti kalau suami Tante nyari, gimana,” kataku dengan nada sedikit khawatir. “Biarin aja, dia kan juga lagi asyik sama gengnya, mana inget sama istrinya,” katanya acuh. Untuk beberapa saat kami hanya terdiam sambil memandangi lalu lalang orang yang semakin malam tampak semakin ramai. Setahuku memang batasannya sampai pukul 00. Tak lama kemudian kami saling pandang. Pandangan yang mengartikan sesuatu yang penuh kesepakatan entah apa namanya. Mata Tante Yesi yang sedikit