Bab 5. Serakah

1361 Kata
Bima dihadapkan pilihan yang sulit, dia melihat istrinya yang terus menangis tergugu duduk bersimpuh sambil memegang perutnya yang agak buncit, di sisi lain dia melihat ibunya yang tersenyum sumringah melihat ke arahnya dengan mata berbinar-binar. Di sampingnya sudah ada Arum yang mengenakan kebaya putih tersenyum manis menatap ke arahnya. Bima tidak menyangka akan melukai istrinya lagi dengan keputusannya lebih memilih memadu Mira dari pada menceraikan wanita itu. "Maafkan aku, Mir. Ini semua memang salahku, jika berakhir seperti ini dari awal aku tidak akan coba-coba mencari kesenangan lain kalau terus menyakitimu seperti ini," batin Bima. Bukan hanya itu, Bima juga harus menanggung malu karena Arum tidak hanya mengundang keluarganya, wanita itu juga mengundang teman di kantor, para atasan tidak luput menghadiri pesta pernikahannya, padahal baru kemarin Bima menciptakan pandangan suami yang baik, tapi sudah hancur hanya dalam sehari. “Mas, cepat lakukan …,” bisik Arum di sampingnya. Katakan saja Bima pria yang paling egois, dia menikahi wanita lain, tapi dia juga meminta istrinya untuk tetap berada di sisinya dan tidak pergi meninggalkannya, walaupun Mira belum mengizinkannya, mereka tetap menikah siri. Dengan kesadaran penuh Bima melakukannya, semua saksi berkata sah, tangisan Mira semakin deras melihat suaminya berdampingan dengan wanita lain di hadapannya. Sedangkan Tama melihat situasi itu dengan tatapan datar, tapi tangannya juga mengepal di kedua sisi. Dia pikir Bima akan menceraikan Mira, tapi ternyata perkiraannya itu meleset, pria itu masih enggan melepas istrinya dan lebih memilih memadu Mira. "Dasar pria yang serakah! Bersabarlah Sayangku, aku akan segera membalas mereka yang telah menggores luka di hatimu, akan aku buat mereka sangat menyesal nantinya," batin Tama. Para tamu undangan berbisik menggosip tentang perselingkuhan yang Bima lakukan bersama Arum, sebelumnya semua hanya terasa sebagai kabar yang tidak jelas, tapi sekarang mereka bisa melihatnya langsung kalau itu adalah fakta. Tentu saja bisik-bisikan itu membuat Dewi tidak nyaman, sungguh dia tidak menyukai kalau ada seseorang yang menggosip tentang anaknya, bagi Dewi wajar sekali anaknya berselingkuh karena Mira dianggap tidak pantas sebagai seorang istri yang cukup baik untuk putranya. “Berhenti menangis, kau sengaja ya?! Kamu membuat mereka bergosip yang tidak baik tentang suamimu, apa kau ingin balas dendam sekarang?! Dengan membuat anakku menjadi bahan gosip di hari pernikahannya?!” maki Dewi pada Mira yang sedang menangis di sampingnya. Semua kesalahan Bima berikut penghinaan yang dia dapat sebagai suami buruk, semuanya dilimpahkan ke Mira oleh Dewi, bagi Dewi Mira yang bersalah atas segala hal buruk yang menimpa keluarganya. Tapi sayang, setelah makian yang Dewi lontarkan walaupun pelan membuat para tamu undangan makin berbisik, sekarang topiknya mengarah ke mertua yang tidak baik. “Apa Ibu tidak pernah berpikir rasanya jadi aku seperti apa?” tanya Mira dengan suara yang nyaris hilang tercekat. “Kau ini benar-benar ya! Tanyakan itu pada ibumu, ini semua karma yang kau petik karena ibumu yang menaburnya!” balas Dewi tidak mau kalah. Bukan pembelaan yang Mira dapat dari mertuanya karena Bima berselingkuh dan menikahi wanita lain, melainkan malah hinaan dan juga cercaan hanya karena dirinya lahir dari rahim ibunya sebagai istri kedua. "Jika aku bisa memilih, aku tidak akan memilih terlahir ke dunia jika nasibku seperti ini …," lirih Mira dalam hatinya. Tama makin kesal karena melihat Mira pingsan, segitu sakit hati yang dia rasakan, tapi tidak ada yang mencoba untuk menguatkan wanita itu, malah hardikkan dari mertua yang membuat Tama makin geram. "Akan aku hancurkan pria itu bersama ibunya yang tidak punya otak!" batin Tama. Pesta pernikahan jadi riuh setelah Mira pingsan, dengan cepat Bima menggendong istrinya dan membawanya ke kamar tanpa menoleh ke belakang lagi, walaupun Arum berteriak untuk kembali duduk bersamanya di pelaminan. 'Maafkan aku, Mir … aku benar-benar bersalah, ke depannya aku tidak akan menyakitimu lagi," batin Bima. Bima meletakan tubuh istrinya dengan sangat hati-hati, Bima juga mengucurkan air mata membayangkan betapa sakit hati istrinya melihat dirinya bersanding dengan wanita lain, sampai istrinya harus pingsan seperti ini, berarti memang sesakit itu Bima menyakiti istrinya. *** “Argh …! Br*ngs*k!” Tama membanting semua benda di hadapannya, dia benar-benar tidak terima wanita yang dia cintai mendapat perlakuan seperti itu. Jangankan ucapan menenangkan yang Mira dapatkan, dia malah mendapat perlakuan tidak mengenakan dari mertua yang melimpahkan semua kesalahan, itu membuat Tama merasa kesal. “Setidaknya ceraikan saja wanitaku! Jangan menyiksanya seperti ini, br*ngs*k!” Tama menggila mengingat bagaimana Mira pingsan tadi, tidak ada satu pun yang peduli padanya, mertuanya malah terlihat acuh, madunya malah memanggil Bima untuk tidak menolongnya, sedangkan Bima memang terlihat sedikit peduli, tapi tetap saja semua ini karena pria itu. Tama meninju cermin di hadapannya karena terbayang wajah Bima yang menggendong Mira. “Di saat sudah menyakitinya pun kau masih berani menyentuhnya, Bima! Akan aku ingat namamu baik-baik sampai batu nisanmu muncul nanti!” Tama langsung menyambar ponsel genggamnya dengan tangan berdarah-darah habis meninju cermin, ponselnya ikut terkena cairan merah yang keluar mengalir terus dari dalam kulitnya. “Halo, Pak. Tentang waktu itu, bagaimana kalau saya meminta pegawai Bapak yang bernama Bima untuk bekerja langsung di bawah saya sebagai syaratnya? Saya dengar dia orang yang kompeten,” ucap Tama santai berusaha mengontrol emosinya. … “Baiklah saya akan memberikan apa yang saya janjikan sebelumnya pada anda, tapi anda tidak boleh ikut campur dengan urusan saya karena anda sudah memberikan pegawai anda ke saya.” … “Saya anggap Bapak setuju sampai sini.” Tama langsung mematikan teleponnya secara sepihak dan membanting ponselnya ke kasur. “Kompeten apanya? Kalau kompeten tidak mungkin dia memberikannya semudah membalikan telapak tangan, dasar orang gila hormat!” umpat Tama seorang diri. Tama merebahkan dirinya di ranjang, dia masih membayangkan wajah Mira yang menangis tersedu-sedu, hatinya ikut teriris setiap kali air mata Mira jatuh melintasi pipinya. “Aku harus menghubungi Bagas untuk mencari tahu bagaimana keadaan Mira sekarang,” gumam Tama. *** “Mbak sengaja, ya?! Memanasi orang-orang yang bergosip, pakai pingsan segala di acara pernikahan kami!” gerutu Arumi pada Mira yang baru saja siuman. “Kau ini benar-benar mau suami dipandang jelek oleh orang lain, ya?! Sengaja kau terus-terusan menangis tadi?! Biar orang lain tahu kau paling tersakiti di sini, terus biar orang lain menyalahkan suamimu begitu?! Padahal yang jelas salah itu kau, tidak becus dan tidak punya harga diri sebagai istri!” cerca Dewi dengan segala hinaan dan makiannya. “Arum! Ibu! Mira baru saja bangun, jangan kalian tekan begitu,” bela Bima. Pembelaan Bima sama sekali tidak bisa menghapus luka yang diberikan Ibu dan istri keduanya lewat ucapan, juga tidak bisa menyembuhkan luka di hatinya yang semakin basah tidak kunjung sembuh karena selalu ditumpuk dan ditambah. “Jangan terus menyalahkan aku, aku sama sekali tidak berniat pingsan di acara tadi, kalian yang membuat aku sampai harus pingsan begitu, lagi juga tidak ada orang yang mau jatuh sakit,” kilah Mira. “Mbak itu keterlaluan, ya?! Coba kalau itu acara pernikahan Mbak sendiri dan ada orang lain yang merusaknya, bagaimana perasaan Mbak saat itu? Padahal sesama wanita, tapi tidak bisa mengerti perasaan wanita lain, itulah ajaran dari ibumu tidak bisa mengerti wanita lain, maunya hanya dimengerti terus!” ketus Arumi. “Arum, cukup …! Keluar dari kamar ini sekarang!” teriak Bima pada istri keduanya. Arumi tertegun mendapati teriakan Bima yang sebelumnya selalu bersikap lembut dan manis di hadapannya, tapi sekarang di depan istri pertamanya Bima benar-benar berbeda. “Tega kau membentakku, Mas ….” Arumi langsung meneteskan air mata berlari keluar kamar itu. “Bima, apa-apaan kau membentak Arum? Harusnya kalian melakukan malam pertama bukannya malah mengurusi Mira yang habis pingsan ini! Kau beruntung mendapatkan Arum sebagai istri kedua, selain dia dari keluarga baik-baik, dia juga bekerja menghasilkan uang, tidak seperti istrimu yang pemalas ini!” hardik Dewi berkali-kali. “Ibu lebih baik keluar juga, jangan memperkeruh keadaan,” usir Bima. Mata Mira mulai memanas kembali mendapat makian yang tiada henti dari ibu mertuanya, selama ini dia selalu diam berusaha memaklumi dengan segala hormatnya, tapi belakang ini ibu mertuanya sangat keterlaluan terus membawa riwayat orang tuanya terus-menerus. “Bu, apa salahku pada Ibu? Sampai Ibu begitu membenciku seperti ini dan tidak pernah menghargai aku …?” lirih Mira di tengah sakit hatinya. “Heh, Mira! Aku kurang menghargaimu bagaimana?! Sudah bagus aku biarkan anakku menikahimu dan kau tinggal di sini, kalau kau bertanya apa salahmu, salahmu adalah menikah dengan putraku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN