Tama jadi teringat waktu dia duduk bersama keluarga besar Mira, sedangkan Mira disuruh ke belakang hanya karena dia lebih cantik dari wanita yang akan dijodohkan dengannya.
“Beruntung waktu itu aku melihatmu sekilas dan bisa menolak perjodohan dengan kakakmu yang gila itu, benci sekali wanita itu selalu mengejarku setiap saat dan tidak sadar diri selalu menyalahkanmu karena perjodohan itu aku batalkan,” gumam Tama lagi.
Tiba-tiba saja ide licik terbesit di otaknya Tama, dia berpikir akan sedikit bermain-main dan menyiksa Bima sebagai bawahan yang penjilat itu, apalagi posisinya tinggi, akan sangat mudah untuk menginjak-injak harga diri Bima, bukan?
Tama meraih ponsel genggamnya dan segera menghubungi seseorang.
“Halo, Pak. Bagaimana kalau kerja samanya kita percepat dan saja akan memberikan investasi yang lebih besar dari yang anda minta, tapi dengan satu syarat ….”
***
“Sudah nikahi saja dia, Bima. Ibu tidak keberatan menambah menantu lagi,” ucap Dewi dengan entengnya.
Mira tidak berharap kalau ibu mertuanya membela, tapi dia juga tidak menyangka kalau Dewi merestui dan juga mendukung putranya yang berselingkuh, terlebih lagi Dewi mengatakan kalau dia sama sekali tidak keberatan kalau Bima poligami.
Sungguh Mira tidak punya harga diri di sini sebagai menantu, dia kehilangan wajahnya begitu mertuanya juga mendukung hal itu, sedangkan Arum tersenyum senang mendengar Dewi merestui hubungan mereka dengan tangan terbuka.
“Tapi Mira sedang hamil, Bu,” sanggah Bima.
“Arumi juga sedang hamil anakmu, kau harus berlaku adil, Bima. Nikahi Arumi juga, apalagi dia bekerja pasti bisa menambah pemasukan keluarga ini, tidak hanya bermalas-malasan saja di rumah,” ucap Dewi mencebik bibirnya sengaja menyindir Mira yang tidak bekerja dan hanya di rumah.
“Bisa-bisanya Ibu bilang seperti itu di depanku, Ibu keterlaluan! Ibu tidak pernah menghargai aku sebagai menantu Ibu, padahal Ibu juga wanita harusnya Ibu mengerti,” ujar Mira dengan mata yang berkaca-kaca serta suara tercekat hampir tidak keluar.
“Katakan itu pada ibumu bukan padaku, ibumu saja perusak rumah tangga orang dan kau tidak menasehatinya sebagai sesama wanita? Aku sudah sangat menghargaimu asal kau tahu, anggap saja ini karma dari ibumu yang jatuh padamu sebagai anak perempuannya, Tuhan menghukum ibumu lewat dirimu agar kau bisa tahu rasanya diduakan seperti apa!” ketus Dewi.
“Ibu …!” tegur Bima.
Hati Mira semakin sesak mendengarnya, keadaan ini seperti tidak memberinya pilihan lain selain merelakan suaminya untuk memadu dirinya.
Bima yang menjadi gugup setiap kali mendengar ancaman Arum akan memenjarakan dirinya, tapi dia tidak tega memadu istrinya yang sedang hamil itu.
“Biarkan aku bicara dengan istriku dulu,” ucap Bima penuh pertimbangan.
“Bicara apa lagi? Istrimu tidak berhak mengaturmu, dia tidak ada hak atas apa pun yang ada padamu karena laki-laki menentukan pilihannya sendiri, wajar saja kau berselingkuh darinya, dia tidak bisa menjadi istri yang baik,” ketus Dewi.
“Setidaknya aku ingin minta izin pada istriku, Bu,” ucap Bima.
“Duh, pakai minta izin segala, memangnya apa pentingnya izin dari dia? Wanita seperti itu sekali-kali harus diberi pelajaran agar mengerti hukum karma yang bertabur dalam hidupnya.” Sekali lagi Dewi mengatakan hal yang menyakitkan tanpa memikirkan bagaimana perasaan Mira saat ini.
Mira masih menatap mertuanya dengan terluka, dia tidak percaya mertuanya bisa mengatakan hal setega itu di depan wanita lain yang menuntut untuk dinikahi suaminya.
Kini Mira menatap suaminya yang terlihat ingin bicara dengannya, ada perasaan muak melihat wajah Bima yang hanya diam saja tidak bisa melakukan apapun untuknya malah dia juga ingin menikahi gadis itu.
Mira langsung bangun dan menuju ke kamarnya, meninggalkan mereka yang membuatnya emosi.
“Mir …,” panggil Bima mengikutinya menuju arah kamar.
Mira membanting pintu kamar sekuat tenaga untuk menunjukan pada mereka kalau dia benar-benar marah, tidak peduli cibiran apa nanti yang ibu mertuanya berikan.
Bima masuk membuka pintu kamar perlahan dengan perasaan bersalahnya terhadap Mira yang sudah menangis tersedu-sedu berjalan ke sana kemari seperti orang bingung.
“Mir, aku minta maaf.” Bima mencoba memeluk tubuh istrinya, tapi segera ditepis oleh Mira.
“Cukup, Mas. Maafmu tidak penting lagi di sini!” teriak Mira.
“Mau bagaimana lagi, Mir? Aku terpaksa harus menikahinya, kau tahu sendiri dia orang yang nekat, bahkan sampai ke sini,” jelas Bima pelan.
“Itu salahmu sendiri, Mas. Kau yang berselingkuh dan tidur dengan wanita lain seenakmu sendiri, sekarang sudah seperti ini kau malah menyuruh aku yang harus mengerti?!” teriak Mira pada suaminya.
“Iya, aku yang salah, Mir. Aku khilaf, maafkan aku. Tolong mengertilah untuk kali ini saja, aku janji akan memprioritaskanmu dibanding dia—”
“Lalu apa? Kau juga mau bilang ini karma dari ibuku?!” tanya Mira dengan berteriak kuat.
“Tidak, Mir. Aku bukannya mau bilang seperti itu, aku janji akan mengabaikannya dan hanya fokus padamu dan pada anak kita saja, aku mencintaimu, Mir.” Bima mencoba meraih lagi tubuh istrinya, tapi Mira menepis mengibaskan tangannya di depan.
“Apa …? Kau mencintaiku? Tapi tidak terlihat seperti itu! Kalau kamu mencintaiku, kamu tidak akan berselingkuh, Mas! Apalagi kau tahu kalau aku sedang hamil, kau malah membuatku semakin stress setelah Ibu!” teriak Mira disertai air mata yang terus mengalir.
“Aku khilaf, Mir … sungguh aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu, aku bisa berjanji untuk hal itu kalau hanya kau yang akan aku prioritaskan nantinya,” bujuk Bima.
“Kau telan rasa cintamu itu sendiri, aku tidak butuh pengakuanmu setelah kau menyakitiku seperti ini! Kau dan Ibu memang sama-sama tidak punya hati dan selalu menyalahkan aku atas semua yang terjadi karena masa lalu orang tuaku, selepas dari itu apa aku pernah berbuat salah pada kalian?! Sampai kalian bisa sejahat ini padaku!” maki Mira.
“Apa kau tidak mencintaiku, Mir …?” tanya Bima terlihat putus asa.
“Apa rasa cintaku sebegitu penting bagimu, Mas …?! Jika memang sepenting itu sekarang kau tidak mungkin berselingkuh dariku dan membohongi aku seperti orang bodoh! Aku sudah memaafkanmu karena kau berselingkuh, tapi kau memintaku mengerti lagi untuk pernikahan keduamu?! Jangan keterlaluan …! Kau begitu egois menuntut aku ini dan itu, apa selama ini aku pernah menuntut kau mengerti keadaanku?!” Mira menangis sejadi-jadinya, dia sama sekali tidak ingin dimadu, dia jadi teringat almarhum ibunya saat ini.
“Duh …! Sudah, kau ceraikan saja istri tidak tahu diri ini! Tiap hari kerjaannya hanya marah-marah dan bermalas-malasan di rumah, tidak pernah membantu suami menghasilkan uang!” Tiba-tiba Dewi ikut masuk ke kamar mereka dengan beraninya.
“Ibu, jangan masuk ke kamar kami seperti itu,” tegur Bima.
“Heh, Mira! Jika kau tidak terima dimadu, kamu bercerai saja dari anakku, sekarang Bima sudah menemukan calon yang tepat dan sepadan dengannya, setidaknya dia wanita yang sama-sama bekerja seperti Bima, tidak seperti kau yang hanya bisa makan dari uang suami! Aneh sekali, padahal ibumu juga menjadi madu bagi pernikahan orang, tapi anaknya malah tidak terima dimadu, benar-benar tidak berkaca diri!” hardik Dewi.
“Ibu …!” tegur Bima lagi.
“Baik! Aku akan meminta Mas Bima, anak Ibu, menceraikan aku sekarang juga …!” teriak Mira sekuat tenaga kalap dengan emosinya.
“Mir …."